
Perjalanan memulangkan arsip kebudayaan Bali bukan perkara mudah.
“Bali is the last paradise”. Julukan yang mencuat sejak 1910-an ini menjadi daya tarik orang asing untuk berbondong-bondong menelusuri dan mengamati daerah yang kaya tradisi dan budaya ini. Setiap tradisi tak luput dari jepretan kamera.
Lantas, bagaimana nasib hasil dokumentasi budaya di era lalu tersebut? Malangnya, nasib hasil dokumentasi budaya pada era 1910-an itu masih jauh berada di negeri orang.
Jalan untuk memulangkan hasil dokumentasi amatlah rumit dan panjang. Demikian penuturan Marlowe Bandem, penggiat seni sekaligus relawan dalam Arsip Bali 1928. Kendala-kendala dalam memulangkan arsip tersebut di antaranya soal perizinan dari pihak luar negeri yang menyimpan hasil dokumentasi.
Marlowe menuturkan kesulitannya di perizinan karena orang luar itu melihat kualitas museum di Indonesia khususnya Bali. Mereka berpikir puluhan kali untuk menyerahkan arsip yang asli ke Bali.
“Makanya saat ini mitra kami dari luar negeri sebagian besar menyerahkan salinannya saja,” keluh Marlowe.
Tahun 2013 menjadi awal pergerakan Marlowe dan segenap relawan untuk berjuang memulangkan arsip kebudayaan Bali. Meskipun masih asing gaungnya di tengah masyarakat, tetapi Bali dan repatriasi budaya dapat mengobati kerinduan krama (masyarakat) Bali akan khas dan uniknya Bali tempo doeloe.
Repatriasi sendiri bukanlah suatu kebijakan yang digeluti pihak pemerintah. Namun, sejak 2013 itu, Marlowe dan timnya menggali sendiri rekam jejak hitam putih gulung demi gulung film dan piringan demi piringan kebudayaan Bali. Ibarat sebuah magnet, tradisi dan budaya Bali menarik ilmuan sejarah maupun penggiat seni dari negeri seberang untuk datang berkunjung, meneliti, bahkan menetap.
Berhasil Pulang
Meski sebagian hanya berupa salinan, tetap ada arsip dan dokumentasi Bali tempo doeloe yang berhasil dipulangkan. Pada 12 Juli 2015 lalu mereka dipamerkan di Bentara Budaya Bali, Gianyar. Pameran dengan slogan Menggali Masa Lalu Demi Masa Depan Kreatif itu merangkum hasil pemulangan kembali, pemugaran, dan penyebaran warisan pusaka seni dan budaya Bali dari tahun 1930-an.
Berikut sebagian dari arsip dan dokumentasi tersebut.
Pertama, digitalisasi 111 rekaman ‘long lost recordings’ piringan-piringan hitam karya label rekaman Jerman, Odeon & Beka yang dilakukan secara komersial pertama kalinya di Bali pada tahun 1928-1929.
Kedua, digitalisasi cuplikan-cuplikan film 16 mm yang dilakukan peneliti-peneliti berpengaruh Colin McPhee, Miguel Covarrubias, dan Rolf de Maré.
Ketiga, reproduksi puluhan foto-foto terkait masa kesejarahan Bali tahun 1930-an oleh Colin McPhee, Walter Spies, Arthur Fleischmann, Jack Mershon dan lain-lain.
Adapun hasil kebudayaan yang berhasil dipulangkan di antaranya Cuplikan Barong Kebon Kuri, Gambang di Pura Kawaitan Kelaci, Légong Saba, Gamelan Gong Luang Singapadu, Baris Goak Jangkang, Nusa Penida, Jangér Kedaton, Gamelan Geguntangan Batuan, Barong Landung, Jangér dan lain lain.
Beberapa ritual penting seperti upacara Nangkluk Mrana, Pura Beda, Tabanan dengan Jogéd Bungbung Déwa, Méndet di Pura Dalem Sayan, Ubud, pelbagai upacara piodalan dan ngabén pun termasuk dalam koleksi ini.
Tokoh legendaris dari kalangan spiritual, seniman, dan sekaa tabuh era 1930-an juga berhasil dilacak dari hasil repatriasi. Ada Ida Boda, I Marya, I Sampih, I Gede Manik, Gong Jineng Dalem, Ida Pedanda Made Sidemen, I Gusti Ketut Kandel, I Made Sarin, Ni Nyoman Polok & Ni Luh Ciblun (Légong Kelandis), Gamelan Palégongan Kapal, Ni Gusti Made Rai & Ni Gusti Putu Adi (Légong Belaluan), I Wayan Lotring (Gamelan Gendér Wayang Kuta), Ida Bagus Oka Kerebuak, Marya, Kaler, Lotring, Ni Gusti Putu Rengkeg, Ni Pempen, dan lain-lain.
Tokoh-tokoh terkemuka di eranya ini, sungguh-sungguh mengharukan dan membangkitkan kenangan terhadap masa ‘renaissance’ kesenian Bali yang teguh sepanjang zaman. Repatriasi sendiri membawa memori mereka kembali ke dalam indah dan sakralnya Bali di masanya.

Lebih Peduli
Kendati sebagian besar belum dalam bentuk aslinya, Arsip 1928 tak selamanya risau. Sebab, uluran tangan berbagai pihak untuk mendorong repatriasi cukuplah banyak. Sayangnya, sebagian besar mitra strategis tersebut berasal dari luar negeri. Akibatnya, keberadaan pemerintah Indonesia khususnya Bali yang menangani pengarsipan budaya terhadap pemulangan arsip Bali tempo doeloe perlu dipertanyakan.
Mitra strategis yang mendorong kegiatan repatriasi ini adalah Dr. Edward Herbst dari City Univerity of New York (CUNY), Allan Evans dari Arbiter of Cultural Traditions New York dan Prof. Dr. I Made Bandem, MA sebagai penasihat ahli. Tahap pertama program ini didukung Andrew W. Mellon Foundation, Amerika Serikat. Mengemban tanggung jawab selaku penasihat ahli, Prof. Dr. I Made Bandem, MA sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan untuk memulangkan satu per satu arsip dan dokumentasi kebudayaan Bali.
Prof Bandem yang merupakan Mantan rektor ISI Denpasar dan ISI Yogyakarta ini, mengutarakan semakin banyak arsip yang berhasil dipulangkan, semakin besar pula manfaat yang dapat didulang. Apalagi dengan munculnya Undang-Undang Kebudayaan Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menandakan kepekaan pemerintah mulai membuncah terhadap pentingnya kebudayaan guna kesejahteraan masyarakat.
“Melihat gaya tarian yang ada misalnya dari Tari Baris Jangkang kita bisa membuat tarian yang baru (baris baru) untuk sumber mencipta yang tak lepas dari akarnya,” ucap Bandem tegas.
Langkah ini murni untuk menyejahterakan masyarakat Bali baik dari segi pendidikan maupun untuk melepas rasa angen (rindu-red) masyarakat terhadap pesona Bali di masanya. Adanya arsip yang berhasil dipulangkan, seniman legendaris Bali di era-nya kelangen (kagum-red). Sebab, di masanya mereka hanya dapat merasakan gerak tari dan gamelan. Sekarang mereka dapat melihat bagaimana tari dan tradisi yang mereka lakoni mampu mengeksiskan Bali hingga kini.

Menggantungkan Asa
Pada tahun 2013, boleh saja Marlowe dan segenap relawan dalam Arsip Bali 1928 merasa tertatih dalam memulangkan kebudayaan Bali. Namun, kali ini harapan Marlowe dan segenap relawan semakin besar. “Memulangkan sesuatu itu tidak selalu harus mutlak dari luar negeri,” jelas Marlowe.
Marlowe menegaskan kembali soal repatriasi bangunan di kawasan Gajah Mada, Denpasar yang dapat membangkitkan memori masyarakat terhadap unsur historis dan kekhasan Kota Denpasar yang murni. Proses repatriasi dalam ranah internal Bali khususnya di Kota Denpasar ini nantinya akan dikawal tim ahli.
Ide itu mencuat dalam sebuah talkshow pada serangkaian 12 tahun Denpasar Festival akhir Desember lalu. Talkshow bertajuk Gathering Old Town Gajah Mada: “Menghormati Kepusakaan untuk Memajukan Kreativitas” ini menghadirkan para narasumber yang mumpuni di bidangnya.
Mereka adalah Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra (Wali Kota Denpasar), Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Akademisi, Universitas Udayana), I Ketut Siandana, ST., IAI. (Sian ‘D’ Sain Arsitek), Ida Bagus Ngurah Wijaya (Praktisi Pariwisata), I Putu Yuliartha, SS. (BEKRAF Denpasar), dan Marmar Herayukti (Seniman). Marlowe Bandem menjadi moderator.
Talkshow di Graha Alaya Dharma Negara, Lumintang Denpasar ini diharapkan mampu menjadi pemantik dalam membangkitkan historis pesona Kawasan Kota Tua Gajah Mada. Pada saat talkshow berlangsung, Sekda Kota Denpasar mengungkapkan revitalisasi Kawasan Gajah Mada telah didanai sejumlah 9 miliar dan mutlak untuk dikawal oleh tim ahli tersebut.
“Repatriasi yang sesungguhnya lebih penting yaitu repatriasi berbasis komunitas, memulangkan kembali kenangan-kenangan dari masyarakat Denpasar sendiri dan itu yang telah hadir disini jadi itulah yang dimaksud dengan memulangkan kembali dari perspektif kita sendiri,” papar Marlowe.
Menjalin pertemanan yang berlanjut dalam kerja sama repatriasi budaya dengan Marlowe, Arief Budiman yang turut menghadiri talkshow tersebut mengungkapkan Graha Alaya sendiri sejatinya merupakan konsep dari Wali Kota Denpasar yakni Rai Mantra. “Ini sebenarnya konsepsi beliau adalah bagaimana ekosistem di Kota Denpasar baik itu pemerintah, komunitas, bisnis, dan akademisi itu mampu menjadi sinergi yang menarik dalam mengelola kreatifitas masyarakat Kota Denpasar,” jelas Arief.
Pria berambut gondrong ini pun menambahkan, “Selama ini kita punya stigma bahwa fasilitas pemerintah itu relefansinya hanya dengan projek.” Hadirnya Graha Alaya adalah jawaban dari para penggiat budaya yang mencari rumah untuk berkarya sekaligus bernostalgia.
Tak hanya menjadi harapan dalam keberlangsungan repatriasi budaya. Adanya Alaya turut melahirkan tantangan, “Jadi ada tantangan bagaimana Alaya ini agar bisa menjadi sesuatu yang dampak utamanya ke masyarakat lalu juga dikelola dengan baik sehingga semua unsur yang dicita-citakan tercapai,” jelas Arief. [b]