“Sekarang sepi, Mas. Tidak ada yang lewat ke atas soalnya. Kalau dulu lantai atas masih ada kan ada saja orang lewat,” kata Wayan, penjaga toko kerajinan Hawaii di lantai dua Pasar Kumbasari Denpasar Sabtu kemarin. Wayan pun lebih banyak bersantai di depan toko yang menjual souvenir beraneka ragam itu: ada patung asmat, gantungan kunci, ijuk hiasan, dan lain-lain.
Sekali-kali Wayan membersihkan beberapa jualannya. Satu dua orang yang melintas hanya tersenyum padanya, tidak mampir apalagi membeli jualannya. “Kalau sebelum terbakar, kami bisa lah dapat tiga juta per hari. Sekarang dapat saju juta saja sudah syukur,” lanjut Wayan.
Sore itu Pasar Kumbasari memang lengang. Padahal Juni biasanya musim puncak liburan terutama bagi anak-anak sekolah. Banyaknya orang liburan tentu saja berdampak pada banyak tidaknya jualan yang laku di Kumbasari, pasar souvenir terbesar di Denpasar. Tapi meski musim liburan sudah tiba, suasana Pasar Kumbasari terasa sepi. Hanya ada satu dua turis lokal jalan-jalan. Selebihnya, penjaga toko yang pada melongo.
Terbakarnya Pasar Kumbasari awal Mei lalu jadi penyebab utama sepinya pasar yang terletak di Jl Gajah Mada ini. Sebelum terbakar, Pasar Kumbasari menjual beraneka ragam souvenir di berbagai lantainya. Maka pasar pun hiruk pikuk dengan orang yang lalu lalang memberi barang kenangan. Tapi pasar menjual kenangan itu malah tinggal kenangan bagi pedagang di sana setelah terbakar.
Saat ini memang masih ada toko-toko souvenir di Pasar Kumbasari tapi hanya di lantai dua. Lantai tiga dan empat habis terbakar. Hanya tinggal arang menghitam memenuhi seluruh bagian. Dulu pedagang di lantai dua mungkin yang paling ramai karena lantai ini yang pertama dituju pembeli setelah dari tempat parkir di bagian depan pasar. Kalau ke lantai tiga dan empat, pembeli pasti lewat lantai ini. Kecuali pembelinya bisa terbang ya lain lagi.
Tapi kini tidak ada lagi lantai tiga dan empat. Pembeli yang sekadar jalan di lantai dua pun jarang.
Penjual souvenir di lantai tiga dan empat kini beralih di depan Pasar Kumbasari, pasar kebutuhan pokok yang terpisah kali Badung dengan Pasar Kumbasari. Mereka membuat toko semi permanen. Sebagian pedagang menempati toko yang sama sepanjang jalan masuk Pasar Kumbasari di depan tokoh-toko di lantai dasar.
Toh, meski di pinggir jalan, toko-toko itu juga sepi. Pembeli jarang yang datang. Siang itu, sekitar pukul 14.00 Wita sebagian penunggu toko, yang rata-rata perempuan, malah terlelap di antara deru suara kendaraan. Mungkin bermimpi Pasar Kumbasari segera ramai kembali. [+++]