Kenapa harga tanah di Bali melambung tinggi? Bahkan diperkirakan anak muda Bali makin sulit membeli tanah dan rumah sendiri. Padahal tanah sangat lekat dengan tradisi keseharian Bali.
Keresahan ini coba dibedah dalam FGD #LestaridalamTradisi yang dihadiri 19 orang terdiri dari pewarta warga, film maker, dan akademisi berkumpul membahas persoalan tanah di Bali pada 7 Januari 2023 di Denpasar.
Kegiatan yang difasilitasi ICW dan BaleBengong dalam program Lestari dalam Tradisi mendorong peserta menyampaikan kegelisahaannya terkait beragam persoalan tanah. Sebelum bertindak lebih jauh, tim ICW membekali para peserta memperkenalkan materi secara umum tentang hasil riset kasus korupsi-korupsi di lingkup desa. Warga bisa menggunakan haknya untuk perencanaan program desa dan melakukan pengawasan dana desa dengan berbagai cara misalnya meminta transparansi penggunaan secara terbuka atau mengikuti Musrenbang.
ICW menghimpun tren korupsi di Indonesia, dan salah satu korupsi tertinggi terjadi pada pengelolaan dana desa. Dari tahun 2022, kementerian keuangan menggelontorkan dana Rp68 triliun. Padahal jika dilihat dua tahun ke belakang, justru 466 perangkat desa menjadi tersangka kasus korupsi (2019-2021). Mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 315,4 miliar.
Bentuk-bentuk korupsi dana desa banyak ditemukan akibat penyalahgunaan anggaran, mark-up anggaran, dan pengadaan proyek fiktif. Fitri dari divisi kampanye publik ICW memberi contoh proyek yang memakan dana besar tapi penggunaan tidak efektif. Salah satunya pengadaan aplikasi digital. Ketika pemerintah desa didorong merealisasikan desa berbasis digital, sebagian besar membuat aplikasi digital. Ditemukan 24 ribu aplikasi yang dibuat pemerintah tidak terpakai. Dalam hitungan ICW pada 10 aplikasi saja memakan anggaran sekitar Rp25 miliar. Bagaimana dengan jumlah anggaran yang sudah dihabiskan untuk puluhan ribu aplikasi tidak terpakai lainnya?
Kenapa korupsi dana desa terus terjadi? Bukan hanya karena anggaran yang besar menjadi para oknum tergiur. Fitri menggarisbawahi karena minimnya pengawasan. Minimnya pengawasan publik terhadap pengelolaan dana desa menyebabkan oknum membuka peluang korupsi.
Ada kesempatan-kesempatan kecil yang bisa dijangkau warga di desa dan anak muda untuk terlibat dalam pengawasan dana desa. Dengan turut aktif ketika musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) yang wajib dilakukan secara berkala oleh desa sebagai bentuk transparansi.
“Kenapa musrenbang menarik? Karena forum musyawarah ini adalah wadah untuk warga turut andil menentukan pendanaan desa mau dibawa untuk mengelola apa saja,” tambah Fitri.
Pesertanya, tokoh adat/agama, wakil wilayah, pemerintah desa, perwakilan berbagai sektor (petani, pemilik UMKM, dll), perwakilana berbagai generasi. Nyoman Nadiana, pewarta warga dari Desa Les berbagi tentang keterlibatannya dalam Musrenbang di desa. Menurutnya sudah ada perdebatan untuk akses dana desa, namun tekendala ketika sebagian besar dana harus dialokasikan untuk penanganan Covid.
“Waktu saya ikut, saya fokus memperjuangkan program yang menjadi concern wisata di desa. Yang hadir adalah bidan desa, tokoh masyarakat. Diskusi berjalan normal, kadang cenderung alot ketika tidak diakomodasinya sebuah usulan karena ada kemungkinan tidak ada dana, misal waktu ada Covid,” katanya.
Keterlibatan warga desa dan keterbukaan informasi adalah 2 hal yang harus ada dan beriringan. Keterbukaan ini menjadi minim, karena mungkin warga desa tidak tahu bahwa mereka bisa terlibat dalam pengawasan pengelolaan anggaran. Hak warga ini dilindungi oleh UU Desa, UU Pelayanan Publik, dan UU Keterbukaan informasi Publik. Beberapa bentuk transparansi informasi dana desa bisa diakses melalui website desa, spanduk atau banner berisi laporan kerja desa secara berkala dan sosialisasi.
Jika musrenbang gagal menjadi ruang menyampaikan keresahan warga, kampanye menjadi jalur lain yang bisa ditempuh. Begitulah Mima, memulai sesi Pengantar Kampanye dalam FGD #LestaridalamTradisi. Ada banyak masalah sosial yang terjadi. Salah satu penyelesaian bisa dilakukan melalui advokasi. Ada 8 langkah untuk memulai advokasi, yaitu merumuskan masalah, membuat perencanaan, melakukan pengorganisasian, mengumpulkan data, menyampaikan laporan/pengaduan, kampanye, memantau laporan/aduan, evaluasi.
Menyusun strategi kampanye diandaikan seperti permainan potong roti. Fitri dan Mima memberikan sebungkus roti ke peserta FGD untuk memahami konsep kampanye. “Setiap kelompok harus menghabiskan roti yang ada du hadapannya. Habiskan dengan cara paling efektif,” instruksinya.
Kelompok Wawan berbagi strategi menghabiskan roti dengan kelompoknya. Pewarta warga dari Ngis, Karangasem membagikan roti sesuai postur tubuh anggotanya.
Mima menyimpulkan, menyusun strategi kampanye di sebuah tim sama seperti strategi menghabiskan roti. Berkaitan dengan menentukan siapa audiens kampanye. Jika tidak suka roti,atau kenyang jangan banyak diberikan. Selain itu manajemen konflik, isu, dan persoalan yang disuarakan.
“Dalam penyelesaian konflik tidak mungkin jika satu persoalan besar diselesaikan oleh satu orang saja, kan?” begitu pertanyaannya memberi penjelasan.
Salah satu cara advokasi adalah kampanye. Kampanye harus menentukan target. Kalau salah target, advokasi tidak selesai. Pembagian target sesuai kemampuan. Dipengaruhi waktu. Terlebih lagi saat melakukan kampanye digital.
Cara menyusun pesan kampanye digital bisa dengan membentuk rumah atap segitiga dengan susunan 3 pondasi horisontal. Rumah ini bisa disusun dengan pondasi paling bawah terdiri dari fakta pendukung, poin pembuktian, statistik. Pondasi horisontal dikokohkan dengan pesan pendukung 1 terdiri dari solusi. Pondasi 2 berisi pesan pendukung 2 dengan narasi tandingan. Pondasi 3 dibangun dengan pesan pendukung 3 yaitu ajakan bertindak. Bagian atap, adalah poin utama yang diisi dengan pesan kunci.
“Kampanye tidak harus berbentuk serius, tapi bisa santai melalui media sosial, karena lebih mudah dan murah,” lanjutnya.
Fakta-fakta inilah yang selanjutnya menjadi pemantik pada isu pertanahan di Bali. Mengajak para peserta FGD Lestari dalam Tradisi memberi fokus pada isu tanah di Bali. Ada banyak kerisauan selain tanah mahal. Misalnya perjuangan mengakses hak milik tanah pertanian untuk warga eks transmigran TimTim di Banjar Bukit Sari, Sumberklampok. Jalan melasti ke pantai tertutup hotel, tanah pertanian yang sudah tak subur lagi dan membuat Jeruk Keprok Tejakula yang masyur itu punah dan susah dibudidayakan lagi. Banyaknya jenis pengelolaan tanah oleh desa adat, penyewaan tanah pelaba pura yang tidak transparan, alih fungsi lahan hijau jadi berbagai pembangunan fisik, dan lainnya.
Warga didorong mau mengakses informasi publik untuk memetakan pengelolaan tanah dan lahan di Bali. Hal ini untuk mencegah hal-hal mengejutkan dan jadi konflik di masa depan.