Oleh I Nyoman Winata
Bali nampaknya mulai menuai buah dari sikap masyarakatnya yang begitu permisif atas beberapa perbuatan yang dianggap sangat bertentangan dengan norma dan etika. Apa yang terjadi beberapa waktu belakangan menyangkut maraknya tindakan kekerasan bahkan sudah sampai pada pembunuhan adalah hasil dari sikap bermalas-malasan mayarakat Bali untuk menjaga dirinya agar bisa menjadi manusia yang memegang teguh kejujuran dan kebajikan. Orang-orang Bali adalah para pemalas yang membiarkan sampah-sampah pragmatisme memenuhi pikiran-pikiran mereka.
Saya ingat ketika masih kecil, betapa seorang bebotoh begitu dicemooh oleh lingkungan masyarakat sekitarnya. Tetapi lihat kini, bebotoh justru sudah dianggap orang-orang normal dan bahkan tidak sedikit yang dipilih jadi anggota DPRD. Para bebotoh dan preman tidak sedikit pula yang menjadi kepala desa, kelian banjar atau mungkin bahkan bendesa adat. Alahsil preman dan bebotoh lebih dihormati dan ditakuti daripada polisi. Akibatnya banyak prilaku yang tidak pantas karena menentang etika dan norma, kini menjadi hal yang diangap lumrah.
Misalnya dulu, bazzar dibalai banjar dilaksanakan tanpa terlalu banyak menjual bir, karena meminum minuman keras juga adalah hal yang sangat tabu. Saya masih ingat ibu saya, yang meski hanya lulusan SD sangat marah ketika saya minum tuak manis. “Minum tuak itu perbuatan setan!” katanya tegas. Tetapi kini, Bazzar kurang afdol tanpa minum bir berkrat-krat. Bazzar tidak akan menuai untung belasan hingga puluhan juta rupiah, jika tidak bisa menjual berpuluh-puluh krat bir. Ironisnya untung bazzar dari menjual bir itu dipakai membiayai upacara mlaspas balai banjar atau pura. Saya ragu untuk memastikan apakah uang dari bazzar menjual “Air setan”—bir—itu memiliki kelayakan digunakan untuk sesuatu ritual mulya pengorbanan suci?.
Orang Bali mungkin sudah dikutuk oleh para leluhur, karena banyak tanah-tanah pelaba pura—yang merupakan warisan leluhur untuk menjaga dan merawat pura—dijual. Uang dari menjual tanah-tanah pelaba pura itu, banyak yang dihabiskan untuk berfoya-foya dan menenggelamkan diri mereka dikubangan konsumerisme.
Orang Bali telah kehilangan martabat dan harga dirinya. Tidak tersisa kebijakan dan kebajikan dalam tatanan berpikirnya. Terlebih lagi para pemimpinnya disemua lapisan, baik adapt maupun dinas. Mereka adalah sosok-sosok yang justru berada dipusaran paling kencang kekuatan menghancurkan tanah Bali. Merekalah yang mendorong-dorong dengan kuat agar Bali melaju kencang menuju jurang kehancurannya. Tiada keteladanan dari para tetua dan elite orang Bali untuk tetap rajin dan giat menjaga pikiran dan hati mereka atas nilai norma etika dari kebaikan dan kejujuran. Sementara itu yang muda dibiarkan mati muda baik fisik maupun pemikirannya dengan membiarkan racun memenuhi relung-relung otak anak-anak mereka.
Terkikisnya budaya Bali salah duanya disebabkan karena kepentingan materi yang lebih menguasai pola pikir masyarakat Bali.Bali kini sudah seperti kehilangan roh.
Apa jaman kaliyuga itu seperti ini ya..??
“Orang-orang Bali adalah para pemalas yang membiarkan sampah-sampah pragmatisme memenuhi pikiran-pikiran mereka”
sedikit tersinggung sih ngebaca ini, tapi…itu benar sekali!!
ada lagi :
“Orang Bali mungkin sudah dikutuk oleh para leluhur, karena banyak tanah-tanah pelaba pura—yang merupakan warisan leluhur untuk menjaga dan merawat pura—dijual. Uang dari menjual tanah-tanah pelaba pura itu, banyak yang dihabiskan untuk berfoya-foya dan menenggelamkan diri mereka dikubangan konsumerisme”
di keluarga besar saya sekarang sudah merasakan pahitnya.., bagaimana untuk warisan yang tinggal seujung kuku pun sempat2nya untuk saling mengakui.
yuk nikmati air kehidupan….
Oh my god”
bebrapa orang mengatakan orang bali terlalu sibuk dengan aktifitas budayanya. But, saya menjelaskan itulah exotika bali”!!!,
Well, menurut saya ini kurangnya filter pemikiran dari mereka tersebut”;
they forget obout bali booming, mereka lupa bali hampir secara fundamental bali sudah dikuasai oleh orang luar bali, mereka lupa betapa mempesonanya bali dimasa lalu, pantai yang sudah rusak, kriminalitas meningkat, semaraknya anak muda yang pergi kekapal pesiar, datag kebali nyatanya pemikiranya masih kerdil dangkal” apakah mereka berpikir exotika cultural bali yang nan menawan jatuh dari langit, bukankah itu diciptakan oleh leluhur orang bali yang begitu bersatunya untuk mencapai kemuliaan kehidupan dibali.
Ohhh my god” dam-it” some time I hate that””= bukan saatnya kita selalu demikian” terkadang waktu kita perlu lihat dunia luar” mereka semakin bergerak untuk maju, yang ujung2nya akan menindas”!!!, stop them now”!!!,
apakah kita menunggu booming three version from f**ck terorisem”===
come on boy, make a brand new days, in your life” and give something for your earth”===
beberapa hari yg lalu di jalan arah gatzu sodara saya dihadang oleh 4 motor!! sodara saya cwok,, tiba2 ada 4 motor yg mengikutinya, lalu ke 4 motor itu menghadang dr dpan, belakang, kanan n kiri!! mereka ber 8, jd gmn ini??? apa bali sudah tdk aman, kita sama2 orang bali, tp kenapa tdk bisa saling menghargai!!! masih untung sodara saya bs melarikan diri, klo tidak bagaimana??? siapa yg akan bertanggung jawab????!!!!! tolong bali lebih di amankan!!!!
Persinggungan budaya di bali antara budaya Bali asli dan budaya luar bali itu amat keras,sehingga sebagian besar masyarakat Bali khususnya dan Indonesia sudah hampir hilang kearifan lokal dan sifat2 asli masyarkat,mungkin hal ini karena dunia informasi yang keras persebarnnya jaman kini
Pengkotakan pikiran sehingga tenggelam dalam budaya consumerism dan berjudi membuat citra orang bali terpuruk,sifat iri,dengki,dan serakah kini selalu mewarnai kehidupan orang bali,saya terkejut sekali ketika ada anak kecil yang mengejek temannya (luar bali) dengan kata2 rasis dan perebutan warisan misalnya
Tapi dibalik itu semua,masih ada orang bali intelektual(banyak) yang masih memegang teguh kearifan lokal dan ajaran Hindu,dan banyak pula yang sukses di luar bali maupun di dalam Bali
wah, kalau tetangga sebelah baca…. sepetinya akan memberi cap yang sama kepada nyoman winata… pesimistis 😉
tahun 2005, dalam sebuah pertemuan di UNHI saya pernah menyalahkan pariwisata yg ke bablasan dn sifat overtoleran dr orang Bali terhadap segala hal baru dan orang baru sebgai biang keroknya….tetapi kini .. sudah tidak lagi