Seks barangkali hanya latar bagi menyuguhkan cerita sadistis.
Saya pertama kali bertemu Juli Sastrawan dalam suatu aksi Bali Tolak Reklamasi di Renon pada penghujung 2017. Namun, kami sudah berteman di media sosial sejak cukup lama.
Dalam perkenalan di dunia maya itu, saya mengenal Juli sebagai aktivis gerakan gemar membaca dan pendiri Literasi Anak Bangsa. Juli termasuk manusia langka di Bali. Dia begitu gigih menyebarkan virus-membaca-buku di tengah banjir bandang informasi di platform digital.
Dedikasi Juli terhadap dunia literasi tidak sekadar mengajak anak-anak untuk giat membaca. Dia juga menulis. Ia menulis esai dan karya fiksi.
Baru-baru ini, Juli meluncurkan buku kumpulan cerpen pertamanya yang bertajuk Lelaki Kantong Sperma. Meskipun awam terhadap karya sastra, dan tentunya saya bukan kritikus sastra, saya ingin mencoba mengulas buku yang merangkum sembilan cerpen tersebut. Anggaplah tulisan ini sebagai wujud apresiasi saya terhadap cerpen-cerpen Juli.
Antologi cerpen Lelaki Kantong Sperma dibuka dengan kisah Setia yang bermukim di Rumah Sakit Jiwa. Cerpen pertama ini berjudul Menggiring Belia. Setia, tokoh utama yang dulunya seorang guru PAUD itu, dijebloskan ke RSJ lantaran kepergok telanjang bulat di kamar mandi sekolah bersama muridnya yang mungil.
Setia berusaha menjelaskan bahwa dirinya hanya mengantar anak itu untuk buang air. Namun, tak satupun yang percaya.
Dalam cerpen ini, Juli tidak membiarkan Setia terpojok sebagaimana pandangan orang pada umumnya tentang orang gila. Juli seolah memberi ruang kepada narator untuk pembelaan diri Setia, si gila pedofilia: “…Ia ditafsir gila oleh banyak orang, tapi baginya, orang tersebutlah yang sebenarnya gila. … pada dasarnya memang semua orang di dunia ini gila, cuma yang membedakan hanyalah level gilanya. Ada yang gila ingin membela Tuhan… Ada yang gila membunuh keluarga dan saudara hanya karena warna bendera politik yang berbeda. Dan ada yang gila…”
Cerpen Menggiring Belia cukup berhasil menggiring pembaca untuk merasakan pergulatan batin Setia yang dituduh gila. Suatu hari di RSJ, Setia berencana kabur. Sebelum minggat secara diam-diam, Setia membayangkan dirinya bercinta dengan seorang gadis 13 tahun bernama Belia.
Gadis dengan mata berbinar itu juga penghuni RSJ yang sama dengan Setia. Belia menjalani perawatan karena mengalami rasa cemas dan ketakutan yang mendalam. Ia sempat diperkosa oleh 11 orang pemuda sepulang bermain dari rumah temannya.
Malam saat akan minggat, Setia berencana untuk merasakan tubuh Belia. Diam-diam, dia melangkah ke ruang tempat Belia biasanya berbaring. Tetapi, Juli sang pengarang tidak menampilkan apakah kemudian Setia benar-benar ‘menyetubuhi’ Belia atau tidak. Juli menampilkan bahasa yang agak samar saat kedua tokohnya itu berusaha kabur dari RSJ.
Memang, sebelum mengakhiri cerita ini, Juli menulis: “…Waktu hanya bisa menjawab, betapa ganasnya nafsu seseorang pria berumur tiga puluh tahun yang dianggap gila karena hasrat bercinta yang memuncak.”
Kalimat itu tak cukup untuk meyakinkan pembaca bahwa di luar RSJ Setia benar-benar akan menyetubuhi Belia. Seperti kata Barthes, pengarang telah mati! Bisa saja Setia menaruh cinta yang sesungguhnya, dengan segenap perasaan dan kasih sayang tulus tanpa pretensi nafsu birahi terhadap Belia. Sebab, ending cerpen ini cukup mencengangkan: Belia adalah anak Setia!
Cara Juli mengakhiri cerita dengan sesuatu yang mengejutkan seperti itu juga terasa dalam cerpen keempat berjudul Bipolar. Cerpen ini adalah kisah tentang karma. Ada sisi eksistensial dari seorang anak laki-laki keenam dari sebuah keluarga. Ia bernama Ewa, yang sejak lahir diperlakukan diskriminatif oleh ayahnya. Ayahnya menginginkan anak perempuan, tapi Tuhan memberikan kelamin laki-laki pada tubuh Ewa.
Karena tekanan batin dan terus diperlakukan tidak adil, suatu hari Ewa memilih untuk tinggal bersama laki-laki kenalannya bernama Endru. Keputusan itu diambilnya pada suatu malam saat Endru mabuk. Ia berterus terang menyayangi Ewa yang juga sesama lelaki.
Awalnya Ewa kaget dengan pengakuan Endru. Namun, setelah bercinta dan berhubungan badan dengan Endru, Ewa menjadi sosok yang masokhistis. Ewa mengaku telah mendapatkan kenyamanan yang tak pernah dia dapat di keluarganya. “…Aku lebih memilih tinggal bersama Endru, pria yang mencintaiku sebenar-benarnya dan senyata-nyatanya.”
Serupa Menggiring Belia, Juli mengakhiri Bipolar dengan cara yang nyaris sama: menyudahi cerita dengan hal tak terduga saat konflik sedang enak dinikmati oleh pembaca. Cerita ini berakhir ketika Ewa dikejutkan dengan kabar bahwa ayahnya telah ditahan di Polres. Ia ditangkap seusai kepergok melakukan pesta seks bersama 125 gay lainnya!
Selain itu, cerpen-cerpen Juli juga banyak yang berangkat dari persoalan keluarga para tokohnya yang broken home. Situasi tersebut kemudian menyebabkan guncangan psikologis, baik menyisakan trauma ataupun menjadikan tokohnya sebagai aktor penyimpangan seksual. Hal itu tercermin dalam beberapa cerpen seperti Lelaki Kantong Sperma, Bipolar, Di Ujung Percakapan Kontemporer, dan Parafilia.
Dugaan saya salah. Beberapa ulasan tentang buku ini menyimpulkan kentalnya muatan seksual.
Sebelum membaca antologi cerpen Lelaki Kantong Sperma, saya sempat membayangkan Juli akan membikin pembacanya berfantasi mengenai seks yang nikmat. Tetapi dugaan saya salah. Beberapa ulasan tentang buku ini menyimpulkan kentalnya muatan seksual. Mungkin bisa saja ya. Namun, saya cenderung beranggapan unsur sadisme lebih kuat dalam cerita-cerita Juli.
Seks barangkali hanya menjadi latar bagi Juli untuk menyuguhkan cerita yang sadistis. Saking menggebu-gebunya, beberapa cerpen Juli terkesan terlalu meluap-luap. Misalnya, saya menemukan kata ‘persetan’ dia sebut sebanyak tiga kali; yaitu dalam cerpen Menggiring Belia, Aurat Si Mayat, dan Bipolar. Demikian pula cara Juli menggambarkan kekerasan seksual yang terkesan sangat benderang dan vulgar.
Andai saja Juli membahasakannya dengan metafora atau diksi yang lebih halus, pembaca mungkin tidak akan merasa jijik sehabis melahap satu per satu cerpen dalam antologi ini.
Terlepas dari itu, kita patut bersyukur sebab Juli sudah berusaha membuat karya yang tidak sekadar meletup-letup. Pada cerpen Menggiring Belia dan Aurat Si Mayat, Juli menyebut istilah-istilah medis seperti valdimex diazepam dan nekropsi. Itu menunjukkan dia cukup serius menggarap cerita-ceritanya.
Sekali lagi, selamat untuk kawan saya, Juli Sastrawan! [b]
Mungkin sang penulis artikel masih awam dengan hal-hal berbau seks