Apa yang harus dilakukan masyarakat jika menolak sebuah undang-undang?
Pada dasarnya, penyelenggara Negara memiliki kewenangan melahirkan suatu produk hukum atau peraturan perundang-undangan dalam rangka mengubah tatanan hidup masyarakat dan ketertiban sosial yang dikehendaki oleh negara. Persoalan yang seringkali muncul selama ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah selaku pemilik kewenangan pembentuk undang-undang dinilai kurang aspiratif dan tidak partisipatif.
Padahal, bagaimanapun juga tujuan dibentuknya undang-undang untuk kesejahteraan umum seluruh rakyat Indonesia.
Bertitik tolak dari tujuan konstitusi dalam pembukaan (preambule) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea keempat dengan tegas menyatakan bahwa; “untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”. Landasan tersebut menegaskan adanya “kewajiban negara” dan “tugas negara” untuk melindungi dan melayani segenap kepentingan masyarakat guna terwujudnya kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu secara filosofis, yuridis, dan sosiologis pembentukan perundang-undangan merujuk kepada tujuan negara yaitu: “memajukan kesejahteraan umum”, sebagaimana dimaksud dalam pembukaan alinea keempat UUD 1945.
Peraturan perundang-undangan sebagai resultan dari perkembangan sosial, senantiasa mengalami perkembangan secara terus menerus, baik perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, bahkan iptek (informasi dan teknologi). Perkembangan yang terjadi sesungguhnya, disebabkan oleh beberapa faktor yang sangat kuat, antara lain: adanya cara berpikir/ pandangan hidup masyarakat, aspirasi dan tuntutan masyarakat akan suatu keadilan, kepatuhan kenyataan (kewajaran), tata nilai, struktur sosial, pengelompokan sosial, dan cita-cita hukum untuk membawa masyarakat menuju suatu keadaan yang baik.
Cita-cita hukum yang dimaksud disebut dengan ius contituendum. Ius contituendum merupakan suatu produk perkembangan masyarakat, yang menjadi cikal bakal peraturan perundang-undangan di masa mendatang dan diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan. Undang-undang sebagai produk pertimbangan politik hakikatnya merupakan kesepakatan politik yang didalamnya mempunyai konsekuensi yang mengatur hak dan kewajiban.
Dalam konteks inilah, maka negara berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan kebijakan yang dibuat melalui peraturan perundang-undangan.
Uji Materi
Berdasarkan teori perundang-undangan, sebuah peraturan perundang-undangan hanya dapat dibatalkan oleh peraturan perundang-undangan yang setingkat atau yang lebih tinggi atau melalui putusan pengadilan. Pertanyaannya adalah apabila terjadi penolakan terhadap suatu Undang-Undang, bentuk hukum atau langkah hukum apa yang akan dipakai untuk membatalkan Undang-undang tersebut?
Bagi para pihak yang keberatan atas terbitnya suatu Undang-Undang bisa melakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal itu, sudah diatur dalam Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 24 huruf C UUD 1945 itu mengatur mengenai Mahkamah Konstitusi, salah satunya melakukan uji materi terhadap UU yang bertentangan dengan UUD 1945.
Judicial review atau hak uji materi merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktiknya, judicial review Undang-Undang terhadap UUD 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Dalam hal adanya suatu Undang-Undang yang merugikan masyarakat ataupun badan hukum, maka pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yaitu;
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Apabila pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat menguji dan menafsirkan apakah suatu Undang-Undang tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan norma-norma di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, pertama harus melihat dahulu aspek-aspek kerugian konstitusional yang diderita/dirasakan oleh para pihak yang merasa dirugikan atas terbitnya suatu Undang-Undang tersebut.
Kerugian konstitusional tersebut dapat menyangkut sesuatu yang bersifat langsung, artinya, kalau ada pasal atau ayat di dalam Undang-Undang tersebut secara langsung merugikan atau menimbulkan dampak kerugian terhadap hak seseorang.
Kedua, kerugian potensial, artinya apabila kerugian itu belum nyata, tetapi kalau nanti Undang-Undang tersebut disahkan dan diundangkan, ada masyarakat atau badan hukum yang dirugikan dapat melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi yang dimana terdapat dua prinsip uji materi.
Pertama, pengujian terhadap Undang-Undang tersebut yang diuji bisa bersifat formil, artinya, apakah Undang-Undang tersebut secara hukum acara pembuatannya sudah sesuai seperti yang diatur dalam Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedua, pengujian terhadap Undang-Undang tersebut yang diuji bisa bersifat materil. Dengan kata lain meminta Mahkamah Konstitusi untuk menguji apakah isi pasal-pasal dan ayat-ayat di suatu Undang-Undang tersebut apakah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak.
Meskipun kekuasaan membuat undang-undang merupakan kekuasaan negara tertinggi karena telah mendapat mandat dari rakyat. Namun demikian, hal itu tidak berarti kekuasaan membuat undang-undang dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan fungsinya. Kekuasaan perundang-undangan juga harus dibatasi. Cara yang efektif untuk membatasi kekuasaan tersebut adalah dengan menyusun konstitusi atau UUD. Sistem pengujian undang-undang yang dilembagakan untuk mengontrol kekuasaan pembuat undang-undang agar tidak menghasilkan undang-undang yang melanggar UUD. [b]