Ingar bingar pesta besar KTT APEC di Bali pun selesai.
Pertemuan yang menghabiskan biaya sekitar Rp 365 miliar, artinya Rp 12 miliar lebih banyak dibandingkan pendapatan asli daerah (PAD) Denpasar pada tahun 2012, itu ditutup Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 8 Oktober lalu. Maka berakhir pula pesta besar para pengusaha dan penguasa tersebut di Pulau Dewata.
Ada tujuh poin kesepakatan dalam pertemuan yang dihadiri 1.200 pebisnis dunia plus 21 kepala negara tersebut. Detail hasil Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Kerja Sama Asia Pasifik tersebut bisa dibaca di situs resmi APEC 2013.
Seperti biasa, bahasanya agak njelimet. Saya hanya bisa menangkap beberapa kata atau frasa yang menarik digaris bawahi, seperti perdagangan multilateral, people-to-people connectivity, pertumbuhan global, kerja sama regional, dan investasi bebas terbuka. Ini memang bahasa-bahasa langit yang biasa bagi para pebisnis dan birokrat tapi terlalu susah dipahami orang-orang awam, termasuk saya.
Bagi saya, frasa-frasa tersebut memang mengarah pada satu hal, pertumbuhan ekonomi. Saya sama sekali tidak mengerti soal ekonomi. Tiap kali baca koran, bagian ini malah saya abaikan.
Namun, di kepala saya terbayang bagaimana frasa-frasa tersebut akan terwujud di lapangan.
Karena perdagangan multilateral, maka sesama negara-negara anggota APEC bebas untuk melakukan perdagangan di antara mereka. Kurang lebih China bebas berdagang di Indonesia, Amerika bebas berdagang di India, dan begitulah kurang lebihnya.
Di kepala saya terbayang kemudian bagaimana barang-barang murah dari China akan makin banyak menyerbu Indonesia. Apa saja. Maka, buah-buah lokal akan makin tergusur oleh buah-buah impor dari China.
Kita dengan mudah akan melihatnya di Denpasar. Tak hanya menjelang hari raya, tapi kapan saja, buah-buahan impor ini akan menyerbu Indonesia, termasuk Bali. Saya ingat beberapa minggu lalu ketika membeli buah untuk teman yang sakit. Hanya ada satu buah lokal di toko buah yang saya kunjungi, apel malang. Sisanya kiwi dari Selandia Baru. Apel dari Amerika. Buah pir dari China. Dan seterusnya. Inilah tuntutan perdagangan multilateral.
Atas nama perdagangan multilateral, maka daging-daging dari Australia akan makin banyak menyerbu pasar-pasar lokal ketika sapi di negeri sendiri justru dilupakan.
People to people connectivity pun tak jauh beda. Saya bayangkan, atas nama mantra ini, maka tenaga-tenaga kerja asing dari luar negeri akan makin banyak menyerbu negeri ini. Mereka lebih siap karena pendidikan lebih bagus. Kapasitas mereka lebih baik.
Maka, pekerja di negeri ini harus bersaing dengan lebih banyak manusia lagi. Saat bersaing dengan sesama pribumi saja sudah jungkir balik, kini harus ada lagi tambahan pesaing, tenaga-tenaga kerja asing dengan kompetensi lebih baik dan lebih tinggi.
Buktinya, saya sendiri salah satu korbannya. Atas nama people to people connectivity, maka jurnalis asing bebas merdeka untuk tinggal dan menulis tentang Bali. Mereka punya koneksi. Fasih berbahasa Inggris. Jadi, gampang menembus media-media berkelas. Lha, saya dan teman-teman sesama jurnalis di Bali pada umumnya yang megap-megap karena kemampuan pas-pasan.
Di dunia pariwisata, saya yakin persaingannya akan lebih sengit lagi. Atas nama hubungan orang per orang ini akan makin banyak tenaga kerja asing menyerbu Bali. Seharusnya Negara kalau memang tidak bisa mendidik warganya agar siap, tidak usahlah dulu membuka peluang makin banyaknya tenaga kerja asing.
Lalu, atas nama investasi bebas terbuka pula, maka semua perusahaan jaringan internasional bebas merdeka untuk membuka usaha di negeri ini, termasuk Bali.
Maka, hotel-hotel milik orang lokal di Bali akan makin tergusur oleh hotel-hotel jaringan nasional ataupun internasional. Maka, tidak ada lagi Hotel Made, Hotel Ketut, dan semacamnya. Semua berganti dengan Harris, Ashton, JW Marriot, Grand Hyatt, dan semacamnya. Lihatlah di Denpasar, Kuta, Jimbaran, dan seterusnya. Hotel Harris saja makin bertebaran di Denpasar, Kuta, Jimbaran, dan seterusnya. Begitu pula hotel-hotel murah meriah serupa Pop, Amaris, dan lain-lain. Sementara itu hotel kecil kian tersingkir.
Hal lainnya adalah kian banyaknya toko-toko jaringan hingga pelosok kampung. Indomart, Alfamart, Circle K. Mereka kian banyak ketika warung-warung milik dadong, meme, dan mbok di Bali kian sepi pembeli.
Maka, pesta pora bernama KTT APEC yang baru saja usai, pada akhirnya hanya akan membuat orang-orang kecil lebih sengsara.
Maafkan saya jika pemahaman ini salah. Maafkan pula jika saya terlalu pesimistis dan skeptis.