Teks I Putu Eka Juni Artawan, Foto Anton Muhajir
Adanya banganan membuat proses pengairan sawah jadi terganggu. Konon bangunan itu akan dijadikan toko swalayan ternama.
Di tengah kota, di antara hingar bingarnya bangunan mewah yang kokoh berdiri bak jamur di lahan subur. Nampak jumlah sawah yang terisa tidak seberapa dibandingkan jumlah bangunan di sekitarnya. Pemandangan seperti ini jelas ada di Jalan Noja Saraswati, Denpasar.
Ketika saya berada di sana, yang jelas tergambar hanyalah pemukiman penduduk yang berbaur dengan bangunan mewah yang baru berdiri. Sesekali saya melihat beberapa sawah kekeringan seakan haus akan datangnya air. Kondisi seperti ini nampaknya mewarnai sisi jalan yang menghubungkan ke Badung Utara.
Setelah berkeliling menghampiri setiap lahan yang ada, tak satupun para petani yang ada beraktivitas. Kegiatan layaknya seorang petani mengolah lahan tidak tergambar. Ironis memang sawah yang semestinya mampu menghasilkan padi justru tebengkalai begitu saja.Jauh dengan kondisi di desa.
Lantaran tidak menemukan petani untuk diajak ngobrol, saya berusaha menemui warga yang kebetulan berdekatan dengan lahan kosong. Ia adalah seorang ibu yang kebetulan menjaga warung. Namanya Ni Nyoman Pujiati (65).
Dengan sopan ibu itu mempersilakan saya duduk di depan warungnya. Sambil merapikan warungnya. Ia mulai menceritakan perihal akan kondisi sawah di sebelah rumahnya.
”Sejatinya sawah yang ada di sebelah rumah itu merupakan laba pura,” ungkapnya. Dia menambahkan, “Dulunya sawah itu tidak seperti sekarang.”
Saya kembali bertanya tentang status pengolahan sekarang.
“Sekarang lahan itu diurus orang lain. Istilah Bali-nya “nandu”, kebetulan sekarang dia pulang ke Ubud karena ada upacara adat,” tuturnya lagi.
Saya kembali bertanya lebih jauh lagi tentang alasan kenapa lahan itu sampai tak terururs bahkan yang mengurus justru orang lain. Kembali ibu yang fasih Bahasa Indonesia itu mengungkapkan akan keterbatasan suplai air yang mengalir dari hulu seroja. Aliran itu dulunya memang menjadi andalan bagi petani untuk memberi supply ke tiap-tiap petak sawah.
Satu persatu ia menjelaskan alasan yang mendasar akan matinya lahan.
Menariknya yang menjadi kuat dugaaan akan perihal terpotongnya aliran tadi lantaran kokohnya sebuah bangunan yang baru berdiri. Sebuah pusat perbelanjaan ternama menjadi biang kerok atas terputusnya irigasi yang memblokir aliran tersebut.
Warga sempat mencarikan solusi dengan membuat irigasi buatan dari pipa paralon. Keterbatasan biaya menjadikan kendala dalam upaya itu .Keinginan masyarakat pun jadi surut.
Dari hal atas aturan tentang alih fungsi lahan, saya pun mencari acuan apakah aktivitas pembangunan yang mengakibatkan alih fungsi lahan itu sebuah pelanggaran. Ternyata memang benar.
Pelaku alih fungsi lahan pertanian di seluruh wilayah Indonesia bakal terkena pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rpl miliar. Hal ini akan ditentukan dalam peraturan pemerintah (PP) yang menjadi amanat Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian menurut koran Bisnis Indonesia edisi 5/3 2010.
Tapi, bagus di aturan memang belum tentu bagus dalam pelaksanaan. [b]
ayo kita beli tanah sebanyak-banyaknya. walaupun urus sertifikatnya ribet dan mahal 🙁
Peraturannya memang bagus, tapi pelaksanaannya parah. Pengalaman kerja selama 2 bulan di konsultan property membuat saya sedikit tau tentang hal itu.
Peraturan tinggal peraturan, petani tetep saja sengsara (khususnya petani pertanian tanaman pangan). Ketika mereka yang bernama CALO bermain, segalanya bisa diatur, mereka petantang petenteng dengan beberapa hp merayu petani menjual lahan sawahnya..kasian juga petani kita, karena sebagian dari lahan yang mereka olah harus disisihkan untuk mbayar pajak yg relatif mencekik…saya hanya bisa berkata “kasihan”