Pepatah klasik ‘bahasa menunjukkan bangsa’ bisa mengandung arti bahwa watak seseorang bisa dikenali lewat bahasa yang digunakannya. Namun mengenal bangsa sendiri dan mempelajari bahasa sendiri itu tidak semudah yang dibayangkan, sebagaimana kita mengenal diri. Karena bahasa senantiasa berevolusi sesuai arah politik kebudayaan dari penguasanya. Biar bagaimanapun bahasa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan, dan kebudayaan tidak pernah lepas dari kekuasaan.
Memahami istilah-istilah dalam bahasa hukum adalah salah satu langkah untuk mencoba mengenal baik karakter penguasa sambil mengkaji muatan-muatan di dalamnya dan juga menelisik modus-modus di belakangnya. Seorang ahli bahasa akan lebih berhati-hati dalam menyepakati suatu istilah baru yang terasa janggal, terutama yang sering dipakai dalam doktrin-doktrin, kampanye, propaganda. Demikian pula halnya dengan seorang pengamat kebudayaan atau pengamat kebijakan publik. Mereka akan mempertimbangkan juga dampak-dampaknya bagi masyarakat.
Seperti kita ketahui, kebudayaan dan pariwisata telah menjadi sebuah identitas yang melekat pada Bali. Meskipun masih banyak hal lain yang mungkin lebih penting dari itu, misal lingkungan hidup dan kemanusiaan, namun membicarakan kebudayaan dan pariwisata sama dengan mengurai benang kusut kedaulatan bangsa bahkan kedaulatan berpikir. Dan seolah-olah tidak pernah ada kata ‘usang’ untuk mempersoalkannya.
Lika-liku panjang yang dilalui Bali hingga mencapai pengakuan dunia tidaklah muncul begitu saja, bukan pula karena faktor lucky, atau mungkin juga bukan karena kehendak dari Sang Hyang Widhi. Akan tetapi di balik itu, kebijakan-kebijakan politik dan tangan-tangan asing telah andil dalam menggiring nasib Bali menjadi seperti sekarang ini, baik yang berdampak positif maupun negatif.
Tulisan saudara Made Supriatma tentang Populisme (Hari) Arak yang dimuat di portal Balebengong pada 30 Januari 2023 menunjukkan kegundahan seorang peneliti. Terutama pada bagian kalimat “apakah pariwisatanya yang harus berbudaya ataukah kebudayaan yang dipariwisatakan?” Cukup menohok! Dan jawabannya sudah jelas. Meskipun dia hanya mengambil satu contoh kasus, tetapi efeknya bisa menjalar ke kasus-kasus lain. Hal ini mengingatkan pada tulisan I Ngurah Suryawan, Genealogi ‘Kuasa’ Pariwisata Bali dan tulisan saya sendiri dengan judul Mana Yang Lebih Penting: Kebudayaan atau Pariwisata? yang juga pernah ditayangkan di Balebengong beberapa tahun lalu. Tentu semua itu ada korelasinya dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali yang hampir empat tahun ini diberlakukan.
Ketika orang-orang membatasi diri untuk ke luar rumah. Ketika pekerja dan pengusaha pariwisata cemas terhadap apa yang akan terjadi. Ketika mereka fokus mencari peluang alternatif. Ketika mereka sibuk mencari pendapatan baru. Ketika mereka tak sadarkan diri menghabiskan sisa tabungannya. Ketika mereka gencar melelang propertinya. Ketika mereka sibuk mencari pinjaman uang ke sana ke mari. Ketika mereka memutuskan pulang kampung dan bercocok tanam. Sementara pada 8 Agustus 2020, di Puri Ubud Gianyar, Perda Bali no. 5 tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali dikumandangkan.
Mungkin sosialisasinya terbatas sehingga sebagian orang belum banyak tahu atau lambat mendapatkan informasinya. Atau ada juga yang sudah tahu tapi kurang menanggapinya. Tetapi semoga penegakkannya tidak dilakukan dengan cara memanfaatkan ketidaktahuan orang. Selama masa pandemi tersebut mungkin kita tidak bisa fokus ke masalah-masalah yang sifatnya formal dan regulatif. Sensifitas kritis kita seperti dibuyarkan oleh teror kelaparan dan kematian. Namun pemberlakuan Perda yang diprakarsai oleh Dinas Pariwisata Provinsi tersebut, mengindikasikan bahwa mesin pariwisata -tanpa kompromi – harus terus berputar di tengah musibah. Dan seakan-akan sudah tahu bahwa kondisi menjelang KTT G20 itu akan segera kondusif.
Bila dicermati, Perda Bali no. 5/2020 itu sejenis Omnibus Law dimana metodenya dilakukan dengan cara membatalkan, mencabut dan menggabungkan sejumlah aturan menjadi satu paket peraturan. Adapun peraturan-peraturan sebelumnya yang dicabut mencakup empat peraturan daerah dan satu peraturan gubernur. Yaitu, Perda Bali no. 7/2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta; Perda Bali no. 1/2010 tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata; Perda Bali no. 2/2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali; Perda Bali no. 5/2016 tentang Pramuwisata; dan Pergub Bali no. 41/2010 tentang Standardisasi Pengelolaan Daya Tarik Wisata.
Namun apabila dirunut ke belakang, Perda tersebut merupakan penularan dari Keputusan Menteri Parpostel no. KM 94/HK.103/MPPT-87, no. KM 82/PW.102/MPPT-88 dan Keputusan Dirjen Parpostel no. Kep-17/U/IV/1989 plus UU RI no. 9/1990 di era rezim Orde Baru (Taher – Sudarman – Ave). Meski demikian, secara garis besar mengacu pada UU RI no. 10/2009 tentang kepariwisataan, PP no. 50/2011 tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, PP no. 52/2012 tentang sertifikasi kompetensi dan sertifikasi usaha bidang pariwisata, Permenpar no. 11/2015 tentang pemberlakuan SKKNI bidang pariwisata, dan peraturan- peraturan lain yang masih berlaku.
Mengapa selama kurun 25 tahun berlalu akar-akar Orde Baru masih belum tercerabut, dan sebagian dari spirit hukumnya seakan-akan luput dari reformasi? Di sini saya akan menyoroti 5 poin dari Perda yang dimaskud, yaitu standardisasi, kompetensi, sertifikasi, portal satu pintu, dan sanksi.
STANDARISASI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), standar adalah ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan; ukuran atau tingkat biaya hidup; sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sebagai ukuran nilai (harga); baku.
Adapun definsi standar menurut UU no. 20/2014 adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/pemerintah/keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sedangkan dalam PP no. 102/2000, redaksinya menggunakan kata ‘spesifikasi teknis’, bukan ‘persyaratan teknis’ tanpa ada batasan pihak dalam pendefinisiannya. Namun pada kalimat selanjutnya tidak ada perbedaan.
Suatu standar dapat juga dikembangkan dengan cara tersendiri atau unilateral, misalnya oleh suatu perusahaan, organisasi, persekutuan, asosiasi, kelompok, dan lainnya yang memiliki visi yang sama. Contoh hasilnya adalah Standar Operating Procedure (SOP). Standar-standar ini bisa menjadi suatu keharusan jika diadopsi oleh suatu pemerintahan, terutama jika ada kontrak bisnis. Jika suatu standar berhasil diterima banyak pihak dan menjadi dominan, standar tersebut dapat menjadi standar de facto untuk suatu industri. Misalnya pemakaian huruf Times New Roman pada standar percetakan atau dalam hal korespondensi formal.
Setiap negara memiliki badan standardisasi. Di Indonesia ada Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang merupakan lembaga pemerintah non-kementerian. Salah satu tugas dan wewenangnya adalah membina dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian, serta menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Badan ini terlibat aktif di berbagai organisasi internasional terutama dalam sidang-sidang perumusan standar internasional. Ia juga tergabung ke dalam Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang bertugas mengembangkan skema akreditasi dan sertifikasi sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan di internasional.
Lembaga resmi yang berkaitan dengan kegiatan standardisasi nasional di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1928 pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dengan didirikan Stichting Fonds voor de Normalisatie in Nederlands Indie (Yayasan Normalisasi di Hindia Belanda) dan Normalisatie Road (Dewan Normalisasi) yang berkedudukan di Bandung. Saat itu, standardisasi digunakan sebagai sarana pendukung kegiatan ekonomi kolonial. Pada awalnya, para insinyur sipil Belanda hanya menetapkan standar untuk bahan bangunan, alat transportasi, instalasi listrik dan saluran luar.
Sedangkan Organisasi Standar Internasional atau International Organization for Standardization (ISO) didirikan pada 23 Februari 1947. Ia merupakan sebuah lembaga nirlaba internasional yang pada awalnya dibentuk untuk membuat dan memperkenalkan standardisasi internasional dalam semua bidang. ISO menetapkan standar-standar industrial dan komersial dunia. Produk-produk standar yang sudah kita kenal antara lain film fotografi, ukuran kartu telepon, kartu ATM Bank, panjang lebar dan ketebalan kertas.
Pasca kemerdekaan RI, pada 1951 diadakan perubahan anggaran dasar Normalisasi Raad dan terbentuk Yayasan Dana Normalisasi Indonesia (YDNI). Pada 1955 YDNI mewakili Indonesia menjadi anggota ISO, hingga pada 1966 YDNI berhasil mewakili Indonesia menjadi anggota IEC (International Electrotechnical Commission). Saat itu telah disusun UU no. 10/1961 yang dikenal dengan nama Undang-Undang Barang. Kegiatan standardisasi ketika itu masih bersifat sektoral yang hanya dilaksanakan oleh beberapa departemen, antara lain Departemen Perindustrian (Standar Industri Indonesia), Departemen Perdagangan (Standar Perdagangan), Departemen Pekerjaan Umum (Standar Konstruksi dan Bangunan Indonesia), Departemen Pertanian (Standar Pertanian Indonesia-Pertanian; Standar Pertanian Indonesia-Peternakan), Departemen Kehutanan (Standar Kehutanan Indonesia).
Pada 1984 dibentuk Dewan Standardisasi Nasional (DSN). Namun pada 27 Maret 1997, pemerintah membubarkan DSN yang selanjutnya berganti menjadi BSN. Pemerintah menetapkan PP no. 102/2000 tentang standardisasi nasional, menggantikan PP no. 15/1991. Pada 14 September 2014, UU no. 20 Tahun 2014 tentang standardisasi dan penilaian kesesuaian juga ditetapkan. Sejak saat itu, untuk memenuhi persyaratan SNI diharuskan melalui kegiatan pengujian, inspeksi, atau sertifikasi.
Jika melihat kronologi di atas, maka setiap pergantian lembaga dan perubahan kebijakan disesuaikan dengan kebutuhan dan tergantung siapa yang berkuasa. Artinya, standar yang diterapkan adalah produk dari kesepakatan politik yang bisa jadi disisipi selera. Benar atau salah suatu standar tergantung bagaimana mendapatkannya. Jika standardisasi itu didapat dari hasil kesepakatan dari kelompok mayoritas, maka ia masih bisa dipertanyakan, karena kebenarannya masih diragukan. Dalam hal ini mayoritas tidak harus dijadikan neraca kebenaran. Kecuali jika itu didapat dari kajian ilmiah hingga menghasilkan argumentasi logis walau berasal dari kelompok minoritas, maka itu patut dipertimbangkan.
Standardisasi bisa juga diperoleh dari sebuah usulan, permintaan, bahkan pesanan yang sarat akan muatan kepentingan. Oleh sebab itu standardisasi di setiap pergantian kekuasan bisa berbeda, disesuaikan dengan kepentingan penguasa, sponsor atau investor. Ini suatu pertanda bahwa standardisasi pada dasarnya tidak stabil atau labil. Apalagi jika standardisasi itu dijadikan sebuah doktrin, lalu dibuatkan aturan-aturan yang memuat ancaman-ancaman. Maka hal itu justru menunjukkan titik kelemahannya.
Negara-negara kolonial dan ‘pemenang’ perang dunia adalah pelopor penyelenggaraan standardisasi dunia. Mereka mengadakan pembakuan dan merancang hukum-hukum internasional guna mendapatkan pengakuan dunia sehingga semua negara mengacu dan bergantung padanya. Termasuk globalisasi hingga tercipta pasar global. Sebagaimana WHO yang menerapkan standar protokol kesehatan dan standar vaksin. Apakah lembaga internasional tersebut layak dijadikan acuan? Mengapa vaksin Pfizer atau Astrazeneca sangat direkomendasikan daripada merk lainnya? Mengapa bukan vaksin Sputnik atau Sinopharm, atau vaksin buatan sendiri misalkan? Tentunya diperlukan jawaban yang transparan di samping uji coba produk: kualitatif ataukah ideologis.
Bagaimana jika standardisasi itu diterapkan dalam bidang kebudayaan, apakah bisa diukur? Dalam kebudayaan Bali, apa tolok ukur atau siapa acuannya? UNESCO kah? Rezim pra-kerajaan kah, rezim kerajaan kah, rezim kolonial kah, rezim Orde Lama kah, rezim Orde Baru kah, ataukah rezim reformasi? Lantas apa Era Bali Baru yang dimaksud dalam Perda itu, bagian dari gerakan The New World Order-kah? Namun dari gelagatnya, pemerintah daerah Bali ini ada upaya ingin membangkitkan kembali kejayaan pada masa pemerintahan Waturenggong -yang berdasarkan selera pasar- dianggap sebagai jaman keemasan oleh sebagian peneliti asing.
Menyinggung masalah kebudayaan, adakah selama ini kesepakatan pemahaman budaya, baik dilihat secara konsep maupun definisi? Sebagian orang mungkin mengkaitkannya pada perihal cocok tanam dan pemujaan. Namun jika kecenderungan pada ‘akal murni’ yang natural dan rasionil lebih mewakili maknanya dan disepakati, maka semestinya hal itu bisa lebih diprioritaskan dan ditonjolkan dalam kebudayaan. Menurut referensi Dr. Ida Bagus Gde Pujaastawa, kebudayaan termasuk ilmu pengetahuan yang bersifat ideografis (dapat melukiskan, membuat analisis dan sintesis), tetapi tidak berwenang untuk menetapkan kaidah, norma dan pedoman. Kecuali jika dilihat sebagai filsafat, maka kebudayaan memiliki tanggung jawab moral.
Adakah pula kesepakatan sejarah peradaban maupun segenap isi kebudayaannya? Selama ini mungkin yang dipahami, terlihat dan diekspos hanya unsur-unsur atau cangkangnya saja, misalnya masa kejayaan suatu kerajaan, tradisi, adat dan seni. Sedangkan pengetahuan tentang tahapan perubahan suatu masyarakat, jarang dan nyaris tidak tersentuh. Apalagi sosok-sosok yang membawa ajaran peradaban dan pembaharuan. Sementara nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang diagung-agungkan masih berada pada tingkat yang paling abstrak tetapi mengarah pada komersialisasi filosofis yang lepas dari budi pekerti.
Dalam disiplin cultural studies, counter-culture (budaya tanding) berpeluang menciptakan kebudayaan underground. Ia berjalan mulus, meskipun ada penyusupan ideologi ‘kiri’ di dalamnya, tetapi kadangkala menyenangkan korbannya. Namun di situ tiada norma-norma bahkan standar yang mengikat. Seperti trend musik underground yang menjalar ke fashion hingga gaya hidup. Dan masyarakat terpinggirkan -yang haus pembaharuan- menerimanya dengan tulus, tanpa paksaan. Sehingga kreatifitas dan eksistensinya masih diakui walau berangkat dari komunitas-komunitas marjinal yang independen dan anti-mainstream. Terlepas dari pandangan negatif terhadapnya, di satu sisi pergerakannya telah membangkitkan spirit revolusioner yang inspiratif.
Konon, revolusi budaya abad XIX identik dengan gerakan Mao Zedong (1966-1976). Namun itu belumlah cukup mengantarkan manusia pada kebudayaan yang adil dan beradab. Dan Cina, tidaklah cukup dijadikan satu acuan untuk melakukan perubahan total. Akan tetapi, semangat untuk merubah nasib perlu dicatat sebagai bagian dari nilai-nilai kebudayaan dan perwujudan akan kesadaran berbudaya.
Di Indonesia era 60-an, perseteruan antara Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) vs Manikebu (Manifes Kebudayaan) menggambarkan betapa peliknya pembakuan suatu politik kebudayaan dalam demokrasi terpimpin jika masing-masing pihak memiliki acuan dan afiliasi. Karena kebudayaan itu idealnya bersifat lentur atau luwes. Namun hal itu sangat mengganggu kekuasaan. Akan tetapi, ketika pemerintah terlalu mengatur dan mendominasinya, maka sebuah kebudayaan itu akan menjadi kaku. Dan kasus itu terjadi pada kebudayaan Bali di tengah ‘keeksotisan’ pariwisatanya.
Asal tahu saja, konsep Tri Hita Karana (THK) itu mulai tercetus dalam suasana tahun kelam dimana sekitar 80 ribu jiwa manusia Bali yang tertuduh PKI melayang dibantai. Konferensi Daerah I Badan Perjuangan Umat Hindu Bali di Perguruan Dwijendra Denpasar pada 11 Nopember 1966 yang memfasilitasi pencetusannya itu seolah berupaya mencairkan suasana. Kemudian konsep tersebut dipublikasikan oleh seorang tokoh, I Gusti Ketut Kaler, dalam sebuah seminar di Fakultas Sastra Udayana tahun 1969. Selanjutnya THK berkembang, meluas, memasyarakat, dan didengungkan berulang-ulang bagai burung beo oleh pemangku kepentingan hingga kini. Peristiwa ini mirip dengan gerakan Ajeg Bali yang diproklamirkan setelah tragedi bom Bali.
Jadi, yang namanya casing (kemasan) itu tidak selalu menunjukkan isinya. Seperti halnya pencitraan, pada dasarnya adalah cangkang. Ketika sebuah kebudayaan dicitrakan sebagai sesuatu yang luhung dan sakral, maka ia harus dikupas terlebih dahulu untuk membuktikannya. Begitu pula ketika kata ‘pariwisata’ dilekatkan pada kata ‘budaya’ maka ia ibarat telur busuk yang diletakkan di sebuah keranjang anyaman. Ia akan nampak indah walaupun sudah kadaluarsa. Mungkin kita bisa membedakan kemasan produk oleh-oleh dengan produk harian. Seperti itulah perumpamaan perbedaan antara pariwisata budaya dengan budaya.
Sebuah simposium bertemakan Seabad Pariwisata Budaya Bali pernah digelar di balairung Soesilo Sudarman Kemenpar RI Jakarta pada 28 Januari 2017. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 15-17 Desember 2017, diselenggarakan pula sebuah event MICE ‘Seabad Pariwisata Bali’ di Taman Nusa Gianyar. Entah kapan persisnya penetapan waktu kelahirannya itu. Tentu banyak versi jawaban, mulai dari pendirian perhimpunan pariwisata (VTV), penerbitan buku panduan wisata oleh KPM dan VTV, penerbitan brosur promosi Bali oleh KPM, catatan perjalanan Raden Sasrawijaya dalam Serat Poerwotjarito Bali, pendirian perwakilan Official Tourist Bureau di Singaraja, pembagunan Bali Hotel oleh KPM, praktik Baliseering, kunjungan pertama Covarrubias, hingga pameran kolonial di Paris.
Terlepas dari titik tolaknya tersebut, kemunculan istilah ‘pariwisata budaya’ yang disepakati oleh segelintir kelompok itu masih tanda tanya, walaupun istilah tersebut pernah dipakai dalam beberapa buku pelajaran pariwisata. Akan tetapi yang tersirat dari acara tersebut justru bagaimana pariwisata itu diperingati sebagai suatu industri yang bermodalkan kebudayaan atau asal mula kebudayaan menjadi produk pariwisata. Tentunya kita tidak cukup hanya dengan mengandalkan karya populer Adrian Vickers dan Michel Picard.
Jika dikaitkan dengan Perda di atas, maka kalimat ‘standar penyelenggaraan kepariwisataan budaya Bali’ memiliki standar ganda, yang pada hakekatnya berisi tentang aturan main industri perdagangan yang dikemas dalam culturepreneurship (kewirausahaan budaya). Karena di dalamnya memuat juga tentang standar produk, standar destinasi pariwisata, standar usaha pariwisata, standar kualitas industri pariwisata, standar pengusaha pariwisata, standar pemasaran pariwisata, standar segmen pasar, standar kerjasama/kemitraan, standar operasional prosedur, standar pelayanan pariwisata.
Selain itu, akan ditemukan juga hal-hal yang berurusan dengan ketenegakerjaan, seperti standar kompetensi kerja, standar SDM pariwisata, standar pembangunan SDM dan pelatihan. Ada juga beberapa standardisasi yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan tata ruang. Selebihnya, ada standar sarana dan prasarana, standar keamanan, standar kesehatan, standar kebersihan, standar kenyamanan, standar kelembagaan pariwisata, standar organisasi kepariwisataan, standar regulasi, standar penelitian dan pengembangan dan lain-lain. Akan tetapi, berapapun jumlah bidang yang distandardisasi oleh pariwisata, pada ujungnya segala masalah akan diselesaikan dengan angka-angka: perijinan, persentase, sidak dan sanksi.
Embel-embel kata ‘standar’ dan ‘budaya’ yang cukup mengganggu itu memunculkan pertanyaan: bila ada seseorang yang melanggar standar-standar tersebut, apakah ia layak dituduh telah menodai kesucian? Mungkin ya, dengan tampil bak pahlawan pelindung kebudayaan. Bagi penjaga citra pariwisata budaya, bentuk pelanggaran tersebut adalah suatu penistaan bahkan suatu tindak pidana. Dan sanksi adat hanyalah kalimat halus untuk menjebak pelanggar masuk ke perangkap sakralitas turistik. Kalau begitu, apa bedanya dengan hukum syari’ah yang diterapkan di beberapa negara dan daerah muslim?
Mereka tidak mau juga disalahkan juga oleh para pelaku budaya sesungguhnya. Sementara bagi pelaku budaya, hal itu mungkin dianggap sebuah aksiden yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan demokratis sebagai manifestasi dari kearifan lokal. Akibatnya ada kesan bahwa ketika orang taat menjalankan Perda no. 5/2020, maka pada dasarnya ia takut terjerat hukum, bukan dilandasi kesadaran berbudaya.
Kalau pun ada kesadaran berbudaya dalam pariwisata, sifatnya hanya kamuflase, yang tiba-tiba muncul karena ada nilai ekonomis di dalamnya dan sangat menguntungkan. Bukan juga karena disiplin murni, melainkan ada pujian-pujian semu yang bertubi-tubi. Walau mungkin dirasakan keliru, sekedar bernostalgia, atau tampak dibuat-buat, bahkan membosankan. Tetapi hal itu segera ditutupi dengan memproklamirkan kampanye ‘darwis’ (sadar wisata). Dan ketika pihak pendukung pariwisata takut kehilangan aset budayanya, maka dikeluarkanlah alokasi anggaran besar untuk melestarikannya bahkan sampai berencana melakukan pungutan khusus kepada wisatawan. Lalu, siapa yang paling diuntungkan bila kesenjangan sosial masih terjadi?
Meminjam tulisan Ngurah Suryawan ‘Di Balik Layar Ajeg Bali’ bahwa sebelum kedatangan wisatawan, kebudayaan Bali ditanggapi sebagai warisan yang harus diselamatkan. Namun setelah kehadiran wisatawan, kebudayaan Bali dianggap menjadi modal yang harus dilipatgandakan. Pernyataan tersebut benar adanya, dan sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kalau boleh saya tambahkan: ketika sebelum ada industri pariwisata, kebudayaan itu adalah kehidupan itu sendiri. Tetapi setelah ada industri pariwisata, kebudayaan itu adalah menghidupi diri sendiri.
Antropolog Degung Santikrama mungkin memandang fenomena tersebut seperti ‘teori pembiaran’ yang patut dikritisi ketika kebudayaan Bali atas nama pengembangan dan pelestarian pariwisata terus terjadi. Jika dibiarkan akan menjerumuskan masyarakat dan kebudayaan Bali itu sendiri, serta akan mempertegas kesan bahwa Bali hanya sekedar produk jual untuk pariwisata.
Semestinya penyelenggara pariwisata sadar bahwa tugasnya yang paling utama adalah mempromosikan. Pembakuan budaya yang diterapkan melalui media pariwisata itu bukanlah wewenangnya. Karena sudah ada bidang lain yang menanganinya, yaitu Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi di tingkat pusat. Adapun di tingkat provinsi, Dinas Pariwisata sebaiknya hanya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Dinas Kebudayaan. Itu pun jika tidak ada persekongkolan kepentingan dalam koordinasinya. Dalam Perda Bali no. 4/2020 yang merujuk pada UU RI no. 5/2017 telah memaparkannya sebagai pedoman penguatan dan pemajuan kebudayaan. Namun ironisnya, Perda Bali no. 5 /2020 yang dimaksud tidak menyinggung tentang kedua regulasi tersebut.
Oleh karena itu, jika merasa bahwa pariwisata itu adalah suatu industri, maka serahkan saja pada Kementerian Perindustrian! Atau jika pariwisata itu itu adalah bagian dari perdagangan, maka serahkan saja pada Kementerian Perdagangan! Dan di tingkat provinsi semuanya bisa ditangani oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Walaupun pariwisata itu mungkin dianggap sebagai sektor yang interdisipliner, tapi ingatlah bahwa lembaga pariwisata itu bukanlah sebuah event organiser atau entertainment broker yang dituntut untuk bekerja serabutan. Dalam Perda Bali no. 8/2020 tentang rencana pembangunan industri di Bali telah dijelaskan programnya, yang sebagian termasuk dalam agenda kepariwisataan.
Kalau memang penyelenggara pariwisata sangat peduli dan percaya diri dalam urusan kebudayaan, mengapa tidak mewajibkan para turis asing untuk menuturkan bahasa nasional atau bahasa daerah? Bukankah bahasa Bali dan bahasa Indonesia telah mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari UNESCO? Atau kalau mau, tidak lagi menggunakan kalender Masehi dan cukup menggunakan kalender Saka. Dan dalam hal destinasi wisata, menghapus semua kegiatan yang sifatnya rekreasi, hura-hura dan hedonis, lalu hanya mengarahkan pada wisata yang edukatif, humanis dan ekologis. Berani? Atau tidak menjadikan tempat persembahyangan sebagai tujuan wisata. Daripada memodifikasi baju kebaya bergaya kimono atau menaikkan pajak hiburan lebih tinggi.
Dan kalau memang pemangku kebudayaan serius dalam pemajuan kebudayaan, bukan berarti -dalam penguatannya itu- harus membentuk Majelis Kebudayaan Bali (MKB) dan membangun Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung. Apakah proyek megah tersebut sudah selaras dengan Perda Bali no. 1/2017 tentang lingkungan hidup, sementara Perda no. 16/2009 tentang rencana tata ruang Bali 2009-2029 sudah berubah? Apakah memang sudah merasa benar-benar beradab dengan mencanangkannya sebagai pusat peradaban dunia? Lantas apa alasan sebenarnya dibentuk MKB jika sudah ada Dinas Kebudayaan dan Listibiya (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Budaya)? Mau membuat standar kebudayaan lagi?
KOMPETENSI
Menurut undang-undang ketenagakerjaan, kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Untuk meningkatkan kemampuan kerja sesuai standar, maka diselenggarakan pelatihan kerja.
Semula pendidikan dan pelatihan kejuruan di Indonesia, khususnya otomotif, dirancang oleh pemerintah pusat. Namun karena kurikulum atau silabusnya dinilai kurang sesuai dengan kebutuhan industri dan lulusannya juga tidak siap pakai, kemudian perusahaan otomotif dilibatkan untuk mengidentifikasi kekurangannya. Maka tahun 2000, Indonesia Australia Partnership for Skills Development (IAPSD) dan Departemen Luar Negeri (AusAID) membantu membiayai pengembangan standar kompetensi otomotif dalam hal perawatan dan perbaikan kendaraan ringan di Indonesia.
Kelompok Bidang Keahlian (KBK) otomotif yang berada di bawah Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN) dipercaya untuk mengembangkan suatu standar yang dikenal sebagai standar KBK untuk industri otomotif di Indonesia. Instansi pemerintah yang terlibat aktif dalam memfasilitasi dan membantu proyek otomotif IAPSD pada saat itu adalah Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan Departemen Perhubungan.
Proyek tersebut menghasilkan susunan standar kompetensi yang pada dasarnya merupakan gabungan dari standar KBK dengan standar Australia terbaru. Umpan balik dan revisi telah dilakukan melalui Standard Advisory Group (Ikatan Teknisi Otomotif) serta masukan dari komite resmi proyek otomotif IAPSD. Akhirnya susunan tersebut ditetapkan menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) pertama yang diterbitkan pada 8 Juli 2004 melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.116/MEN/VII/2004.
SKKNI tersebut selanjutnya dijadikan acuan untuk menyusun program dan kurikulum pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi pada bidang lain, untuk proses pembelajaran pada lembaga terkait serta untuk menyusun materi uji kompetensi pada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Kini sistem SKKNI yang berlaku tertuang dalam Permenaker no. 2/2106. Tata cara penetapannya telah beberapa kali mengalami perubahan, dan terakhir diatur melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no. 3/2016.
Tetapi apakah kegiatan industri otomotif cocok dijadikan acuan dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan di bidang lain terutama yang berkaitan dengan kebudayaan? Tidak! Karena standar keahlian teknis (hard skill) tidak mungkin diterapkan dalam keterampilan lunak (soft skill)? Di sini jelas, salah satu agenda dari revolusi industri adalah mencetak juga ‘intelek-intelek’ yang industrial dan mekanistis. Dan yang fatal adalah sektor pariwisata ketika ‘menyandarkan hidup’ atau ‘menggantungkan nasib’ pada kebudayaan dengan mengikuti SKKNI.
Sebelumnya standar kompetensi kerja telah diamanatkan dalam UU RI no. 13/2003 pasal 10 ayat 2), bahwa pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja. Tetapi saat itu belum ditetapkan secara nasional. Justru yang disinggung adalah tentang pengembangan sistem pelatihan kerja nasional dan pembentukan badan nasional sertifikasi profesi.
Namun perlu dicatat, dalam pasal 11 undang-undang tersebut, bahwa setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. Dengan kata lain, tenaga kerja tidak berkewajiban untuk mendapatkannya. Senada juga dengan Perda Bali no. 10/2019 pasal 9 yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak untuk memperoleh, meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan melalui pelatihan kerja.
Dalam pasal 18 poin (a) UU RI tersebut juga disebutkan bahwa tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. Hal ini mempertegas bahwa pelatihan bisa diselenggarakan dimana saja, dalam artian peserta boleh memilih.
Sebaliknya, industri pariwisata mewajibkan seluruh SDM pariwisata untuk bergabung dalam keseragaman kemampuan kolektif dengan satu acuan yang mencakup pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, uji kompetensi dan sertifikasi profesi. Permenpar no. 11/2015 atau no. 1/2018 telah menetapkan SKKNI pariwisata bagi 4 sub sektor dan 28 bidang, yang masing-masing dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Di sini kita bisa lihat ketidakselarasan antara undang-undang ketenagakerjaan dengan kebijakan turunan Kemenpar serta Kemenaker. Mengapa tidak langsung ditetapkan saja oleh Kemenaker?
Selain itu, adanya Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja, membuat hubungan antar kebijakan semakin tidak jelas. Misalnya antara UU RI no. 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional dengan Permenaker no. 31/2006 tentang sistem pelatihan kerja nasional, atau antara PP no. 57/2012 tentang standar nasional pendidikan dengan Permenaker no. 8/2014 tentang pedoman penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi.
SERTIFIKASI
Pada umumnya sertifikasi dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu profesional, perusahaan, dan produk. Menurut UU RI no. 20/2014 sendiri, sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penilaian kesesuaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa barang, jasa, sistem, proses, atau personal telah memenuhi standar dan/atau regulasi.
Di suatu masa, istilah ‘sertifikasi’ pernah identik dengan produk-produk yang dilabelisasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untuk meredam kekhawatiran masyarakat terhadap sejumlah produk industri pangan yang diduga mengandung lemak babi, pada 1988 dibentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM MUI) yang bertugas untuk mengadakan pemeriksaan dan melakukan sertifikasi halal pada sejumlah produk yang telah beredar.
Dewasa ini, sertifikasi identik dengan kompetensi kerja yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Adapun pengaturan sertifikasi kompetensi kerja Indonesia dikenal setelah berlaku undang-undang ketenagakerjaan no. 13/2003. Kemudian ditindaklanjuti dengan PP no. 23/2004 tentang pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sebelumnya penyelenggaraan sertifikasi masih berjalan sendiri-sendiri, yaitu setiap sektor bebas menentukan mana yang menjadi standar baginya.
Mengapa sekarang dibuat satu acuan, bukankah keberagaman itu lebih kaya? Dikatakan bahwa pada awal 2002 banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja pada sektor maritim di Belanda. Namun karena mereka tidak memiliki sertifikat kompetensi yang diakui, baik internasional maupun nasional, akhirnya banyak TKI yang dipulangkan. Sehingga pemerintah menetapkan sertifikasi kompetensi berdasarkan SKKNI. Apakah hal ini bisa dijadikan alasan kuat?
Sekedar catatan, Indonesia adalah satu dari eksportir pekerja migran terbesar di dunia atau peringkat kedua di Asia Tenggara. Memfasilitasi sertifikasi kompetensi sama dengan merestui dan terus membuka peluang para pekerja migran untuk bekerja di luar negeri dengan iming-iming menyandang pahlawan devisa. Bentuk pengakuan tersebut tentunya sangat menguntungkan bagi pemerintah. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa sertifikasi kompetensi menjadi diwajibkan. Ironisnya, Bali sebagai penyumbang devisa dari sektor pariwisata, juga turut menyumbang banyak tenaga kerjanya ke luar negeri terutama di bidang hospitality kapal pesiar.
Pembentukan BNSP -sebagai badan independen yang bertanggung kepada presiden- merujuk kepada undang-undang tentang perindustrian, kamar dagang dan industri, jasa kontruksi, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, ketenagakerjaan, dan sistem pendidikan nasional. Ini mengindikasikan bahwa ada beberapa bidang atau sektor-sektor tersebut yang dinilai strategis dan vital dimana sumber daya manusianya harus memiliki sertifikasi kompetensi.
Di Indonesia terdapat sejumlah industri strategis dan objek vital nasional yang dilindungi negara. Bila dikaitkan dengan definisi keduanya, mungkin sektor pariwisata belum layak masuk kriteria yang dimaksud. Walaupun diklaim sebagai penyumbang devisa tertinggi setelah industri kelapa sawit dan migas, namun itu bukan berarti bahwa pariwisata telah memberikan banyak pendapatan bagi negara. Jika sektor pajak sangat berkontribusi bagi penerimaan kas negara, maka jumlah valuta asing yang masuk tidak bisa dijadikan neraca kestrategisan atau kevitalan suatu sektor. Bahkan tingkat kestabilannya itu bisa dibuktikan ketika terjadi bencana, musibah atau konflik. Sumber-sumber pendapatan negara yang lain bisa jadi lebih stabil daripada pariwisata. Devisa negara mungkin hanya sebuah ‘pancingan’ agar kucuran dana menjadi lebih besar dan prioritas bagi pembangunan dan pengembangan atas nama pariwisata.
Pemberlakuan wajib sertifikasi kompetensi di bidang pariwisata dalam Permenpar no. 19/2016 patut dipertanyakan apabila dikaitkan dengan pembentukan BNSP di atas, meskipun ketentuannya telah ditetapkan dalam PP no. 52/2012. Selain itu, dalam pemberlakuannya juga tanpa ada kekecualian dimana sertifikasi kompetensi diwajibkan pula kepada tenaga kerja yang berpengalaman dan mempunyai latar pendidikan. Mestinya sertifikasi kompetensi diberlakukan atau diprioritaskan hanya kepada tenaga kerja yang tidak memiliki kedua hal tersebut. Tentunya kelompok pertama tidak mau disetarakan dengan kelompok kedua.
Padahal di pasal 53-55 UU RI no. 10/2009 tentang kepariwisataan, tidak menyinggung sedikit pun tentang kewajiban untuk memiliki sertifikasi kompetensi. Adapun yang berkewajiban meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan dalam pasal 26 undang-undang kepariwisataan adalah pengusaha pariwisata. Sejauh mana tim penguji tahu kualitas kompetensi pekerja wisata, sementara yang menilai baik buruknya suatu pelayanan adalah konsumen atau wisatawan sendiri secara langsung? Bukankah pada umumnya setiap pengusaha pariwisata punya catatan atau laporan tentang pelayanan para pekerjanya yang lebih pantas dijadikan bahan evaluasi dan rekomendasi? Diskriminasi pelayanan bisa saja terjadi jika standar kompetensi menitikberatkan pada pasar wisatawan mancanegara.
Kebijakan di atas menimbulkan persepsi bahwa standar kompetensi kerja itu itu dirancang bukan untuk meningkatkan kemampuan, melainkan hanya untuk menyetarakan kemampuan. Upaya penyetaraan tersebut mungkin terjadi di tubuh pemerintahan ketika banyak tenaga Aparatur Sipil Negra (ASN), baik PNS maupun PPPK yang bekerja bukan pada bidangnya atau tidak sesuai dengan latar pendidikan tetapi mereka masih tetap dipertahankan. Apakah seluruh tenaga ASN dan pembuat kebijakan sudah memiliki sertifikasi kompetensi? Bagaimana juga dengan orang-orang dalam lingkaran BNSP dan LSP?
Tidak hanya itu. Dalam Perda Bali no. 5/2020 ditambahkan pula kewajiban memiliki sertifikat pengetahuan budaya Bali terutama bagi pramuwisata yang notabene sudah menjadi bagian gaya hidup atau profesi sampingan sejak lama. Di sini jelas, ada semacam kekhawatiran yang berlebihan terhadap citra budaya Bali sehingga diberlakukan pembakuan budaya dalam frame pariwisata. Tidak tanggung-tanggung, bobotnya sampai 70%. Hal ini tak ubahnya seperti indoktrinasi Penataran P4 pada masa Orba. Padahal di jaman canggih ini segala informasi dan pengetahuan lebih mudah didapatkan. Akan tetapi, tampaknya pihak penyelenggara pariwisata merasa tidak percaya terhadap informasi-informasi kebudayaan yang beredar selama ini. Sehingga beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan oleh segelintir wisatawan maupun sebagian kecil pramuwisata dan pekerja wisata lain harus dibesar-besarkan, lalu dijadikan alasan kuat untuk membuat peraturan khusus.
Mengapa tidak diberikan saja referensi buku-buku tentang kebudayaan dengan cuma-cuma kalau memang mau mencetak SDM yang berkualitas? Atau membuat blog khusus dan perpustakaan digital misalkan. Mengapa juga tidak difokuskan saja pada pengkajian ulang hasil-hasil penelitian atau buku-buku panduan wisata yang telah diterbitkan oleh orang-orang asing? Dan kalau memungkinkan, setiap pekerja pariwisata -khususnya pramuwisata- dianjurkan untuk membuat karya tulis tentang kebudayaan Bali. Dengan cara itu mungkin akan lebih menggugah kesadaran dan akan menciptakan SDM yang lebih berkualitas dan kritis dibandingkan secarik sertifikat yang hanya berlaku 6 tahun dan harus diperpanjang. Bagaimana bisa memahami kebudayaan Bali jika hanya mengandalkan sertifikat pengetahuan budaya saja? Sama juga halnya dengan Kartu Tanda Pengenal Pramuwisata (KTPP), sertifikat kompetensi dan sertifikat usaha pariwisata yang harus diperpanjang setiap 3 tahun sekali. Apa jaminannya, terutama ketika pariwisata tidak lagi produktif?
Menanggapi perihal sertifikat, pakar hukum Prof. I Dewa Gede Palguna pernah berpendapat bahwa sertifikast kompetensi tidak perlu diperpanjang. Karena pramuwisata semakin lama menjalankan tugasnya, maka semakin bertambah pula wawasannya.
Dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Bali no. 52/2021 tentang pelaksanaan Perda no.5/2020 dijelaskan bahwa sertifikat pengetahuan budaya Bali dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang kompeten di bidang pariwisata budaya. Lembaga tersebut bekerjasama dengan perangkat daerah, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Desa Adat Provinsi (MDA), dan Asosiasi Pramuwisata. Di sini kita lihat kejanggalan lain dimana sertifikat tersebut justru diterbitkan oleh bukan lembaga pendidikan di bidang kebudayaan. Sejak kapan ilmu pengetahuan budaya disetarakan dengan bidang pariwisata budaya? Kata ‘kompeten’ di atas bisa bermaksud untuk menutupi kecurigaan dan kekurangan. Karena lembaga pendidikan yang benar-benar kompeten itu semestinya memiliki disiplin ilmu budaya dan antropologi atau humaniora. Sementara lembaga pendidikan pariwisata hanya menunggangi kebudayaan secara instant. Sedangkan keterlibatan perangkat daerah dan asosiasi di situ mungkin hanya sebatas pada urusan teknis saja.
Hal ini bertolak belakang dengan Perda no.4/2020 bahwasanya sertifikasi terhadap sumber daya manusia dalam pembinaan objek pemajuan kebudayaan diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi bekerjasama dengan MKB dan Perguruan Tinggi di bidang kebudayaan. Satu hal, dalam Perda lama no. 2/2012, saat itu Listibiya hanya diberi wewenang untuk menerbitkan sertifikat kompetensi bagi pementasan kesenian saja.
Lantas apa hubungannya dengan PHDI dan MDA? Apakah kebudayaan Bali selalu identik dengan agama Hindu? Apakah konsep desa adat yang sekarang ini benar-benar historis dan otonom? Apakah semua desa adat mewakili kebudayaan Bali seutuhnya?
Menurut teori, sistem religi dan upacara keagamaan adalah memang bagian dari unsur kebudayaan. Namun perlu diingat bahwa sepanjang sejarah peradaban Bali terdapat beberapa kepercayaan lokal serta pengaruh budaya luar yang bukan bersumber dari ajaran Hindu, seperti panteisme dan paganisme. Dan sebelum istilah ‘hindu’ itu dikenal, sudah ada sejumlah penganut agama seperti Tirtha, Budha, Wisnu, Çiwa, Çiwa-Budha, Bhairawa, Tantra, dan lain-lain. Akibatnya, akulturasi antar agama dan kepercayaan lokal tercipta dan melahirkan suatu kebudayaan yang sinkretis, bahkan sektarian.
Meskipun pernah ada upaya penyatuan berlandaskan konsep Kahyangan Tiga, namun yang terjadi hanyalah konversi masal ke Çiwa Siddhanta. Dan dalam perkembangannya semua aliran menjadi berada di bawah hegemoninya, terutama setelah ekspansi Gajah Mada dan kedatangan Danghyang Nirartha, hingga terbentuk rezim Gelgel. Selanjutnya, ketika ada unsur-unsur budaya Jawa yang di-Bali-kan, kemudian di-Hindu-kan, lalu di-monoteis-kan, hingga menjadi Hindu Dharma, akhirnya memunculkan fanatisme yang cenderung rasial: bukan Hindu Jawa dan bukan juga Hindu India. Namun yang paling fatal adalah ketika semua itu di-pariwisata-kan hingga melahirkan ‘sekte’ baru yang bernama pariwisata budaya. Semoga oknum kebudayaan bertanggung jawab sepenuhnya atas kasus ini.
Bukankah di Bali terdapat kelompok-kelompok masyarakat (klan) yang lahir sebelum PHDI dan MDA berdiri? Organisasi-organisasi soroh di luar pemahaman kasta tersebut semestinya lebih mewakili keberagaman budaya, atau bahkan masyarakat subak, akan lebih pantas dijadikan bahan acuan pengetahuan budaya Bali. Karena di dalamnya akan didapatkan juga sejarah tentang terbentuknya suatu masyarakat dan pengetahuan tentang perubahan-perubahan masyarakat secara bertahap yang mencakup hukum-hukum yang menguasai perubahan tersebut. Jika dilihat latar belakang dan sepak terjang PHDI dan MDA, maka kurang tepat bila keduanya dijadikan sumber acuan pengetahuan budaya Bali. Adanya dualisme di internal PHDI dan polemik dengan MDA perihal sampradaya menimbulkan juga keraguan atas kedudukannya masing-masing.
Seperti kita ketahui, PHDI berdiri tahun 1959, atau setelah Surat Keputusan Menteri Agama No. 2 dikeluarkan pada 5 September 1958. Ia terlahir eksklusif dengan menggeser posisi Hindu Bali Sabha yang dianggap demokratis, sebagai hasil upaya untuk mendapatkan legalitas pengakuan agama ‘monoteisme’ dalam NKRI. Pesamuhan Agung (kongres) PHDI pada 1961 melahirkan sebuah ‘politik kebudayaan Bali’ abad XX yang dikenal dengan nama Piagam Campuhan, yang berisi tentang dharma agama dan dharma negara sebagai kewajiban utama umat Hindu Bali.
Sedangkan MDA dikukuhkan melalui Perda Bali no. 4/2019 sebagai pengganti dari Majelis Utama Desa Pakraman yang ditetapkan melalui Perda Bali no. 3/2001. Kedua majelis tersebut bisa jadi dibentuk karena tiada lagi sistem kerajaan di Bali atau mungkin juga hasil diskusi panjang dari Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) yang digagas oleh mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana pada tahun 90-an.
Menurut pakar sejarah kebudayaan, Prof. Nyoman Wijaya, konsep desa adat yang berlaku di masa kini adalah hasil disartikulasi atas UU RI no. 5/1979 tentang pemerintahan desa. Pemda Bali mulai menyesuaikan diri pada 1983 dengan mengatur desa dinas menjadi 2, yakni desa dan kelurahan. Desa membawahi dusun, dan kelurahan membawahi lingkungan. Pada era reformasi, para intelektual organik merestrukturisasi sistem pemerintahan desa adat setelah diberlakukan UU RI 22/1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai langkah awal untuk memiliki sebuah desa adat yang ideal pada saat itu adalah dengan mencabut Perda Bali no. 6/1986, dan menggantikannya dengan Perda Bali no 3/2001.
Namun apa yang terjadi? Mereka terjebak oleh kenangan masa lalu! Kebesaran nama banjar yang selama ini dianggap sebagai benteng kebudayaan Bali ternyata merupakan hasil rekonstruksi dari pemerintahan kolonial Belanda. Maka konsep desa pakraman dalam Perda tersebut tidak lebih dari sebuah disartikulasi yang tidak tuntas dari sistem pemerintahan desa di era penjajahan, yang hanya mampu menggantikan istilahnya saja. Jadi, baik desa adat maupun desa pakraman adalah bukan istilah yang berpijak pada data sejarah atau tidak berjalan secara linier, melainkan melalui garis putus dan patah bahkan mengandung ketidakpastian.
Masih seputar sertifikasi. Kewajiban memiliki sertifikasi usaha pariwisata juga tertuang dalam peraturan pemerintah yang sama (no. 52/2012) yang penyelenggaraannya diatur dalam Permenpar no. 18/2021 (pengganti Permenpar no. 6/2020). Adapun usaha yang dimaksud terdiri dari 13 macam, yaitu daya tarik wisata; kawasan pariwisata; jasa transportasi wisata; jasa perjalanan wisata; jasa makanan dan minuman; penyediaan akomodasi; penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; jasa informasi pariwisata; jasa konsultan pariwisata; jasa pramuwisata; wisata tirta; dan spa. Jika kita cermati, sebagian besar dari usaha tersebut sebenarnya merupakan bentuk kegiatan yang sudah umum dan tidak asing lagi bagi kita, tetapi telah ‘dipariwisatakan’. Perbedaannya mungkin hanya pada segmen pasarnya saja.
Penyelenggaraan sertifikasi usaha pariwisata berhubungan dengan Permenpar no. 10/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pariwisata yang mengacu pada PP no. 24/2018. Perizinan yang dimaksud dalam peraturan tersebut terdiri dari izin usaha dan izin komersial atau operasional. Dijelaskan bahwa pengusaha pariwisata yang telah mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) dari Lembaga OSS (Online Single Submission) wajib memiliki izin usaha yang berupa Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP). Sedangkan pengusaha pariwisata yang telah mendapatkan NIB dan TDUP wajib memiliki izin komersial atau operasional yang berupa sertifikat usaha pariwisata.
Sertifikat tersebut diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) bidang pariwisata. Untuk mendapatkannya, pengusaha pariwisata harus memenuhi standar usaha pariwisata dan telah melaksanakan sertifikasi usaha pariwisata. Namun bila kita lihat PP no. 24/2018, izin komersial atau operasional untuk memenuhi sertifikat justru diterbitkan oleh Lembaga OSS, bukan oleh LSU. Di satu sisi, PP tersebut sudah dicabut dan digantikan oleh PP no. 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang di dalamnya tidak lagi mengatur izin tersebut. Secara otomatis izin komersial atau operasional sudah dihapuskan, sehingga semua kegiatan usaha diklasifikasikan berdasarkan tingkat risiko dan peringkat skala usaha. Apakah ada sinkronisasi kebijakan dalam masalah ini?
‘Risiko’ yang dimaksud dalam PP di atas adalah potensi terjadinya cedera atau kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi kemungkinan dan akibat bahaya. Penggunaan kata tersebut mungkin agak kaku andaikata tidak semua kegiatan usaha dianggap berisiko, walaupun mungkin setiap sektor memiliki tingkat risiko yang berbeda. Adakah hidup di dunia ini yang tidak berisiko?
Perizinan berusaha berbasis risiko diterapkan pada kegiatan usaha berisiko rendah, menengah-rendah, menengah-tinggi, dan tinggi. Adapun persyaratan dasarnya meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi. Masing-masing diatur oleh bidang tata ruang, lingkungan hidup dan bangunan gedung.
Bagi kategori rendah, legalitasnya hanya diberikan NIB sebagai bukti registrasi pelaku usaha. Bagi kategori menengah rendah diberikan NIB dan sertifikat standar sebagai pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi standar usaha. Bagi kategori menengah tinggi diberikan NIB dan sertifikat standar usaha yang diterbitkan pemerintahan pusat atau daerah sebagai hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh pelaku usaha. Keduanya diperlukan standardisasi produk sebelum pelaku usaha melakukan komersialisasi produk. Sedangkan bagi kategori tinggi diberikan NIB dan izin yang merupakan persetujuan pemerintah pusat atau daerah bagi pelaku usaha. Selain itu diperlukan juga standar usaha dan standar produk dalam bentuk sertifikat.
Sektor-sektor usaha yang wajib memenuhi perizinan tersebut meliputi kelautan dan perikanan, pertanian, lingkungan hidup dan kehutanan, energi dan sumber daya mineral, ketenaganukliran, perindustrian, perdagangan, pekerjaan umum dan perumahan rakyat, transportasi, kesehatan, obat dan makanan, pendidikan dan kebudayaan, pariwisata, keagamaan, pos, telekomunikasi, penyiaran dan sistem transaksi elektronik, pertahanan dan keamanan, dan ketenagakerjaan. Masing-masing sektor memiliki pengaturan standar kegiatan usaha dan standar produk.
Sebenarnya sektor pariwisata bisa digabungkan ke dalam sektor industri atau perdagangan, mengingat pengembangannya saat ini dilakukan secara masal dan cenderung merambah ke segala produk yang dianggap kreatif. Kalaupun mengandung toksik, itu adalah dampak dari revolusi industri bermuatan kapitalisme dan racun liberalisme. Tetapi kenyataan, sektor tersebut memiliki ketentuan dan standar khusus dalam penyelenggaraan perizinannya yang tertuang dalam Permenparkraf no. 4/2021. Pergub Bali no. 52/2021 mempertegasnya dengan menambahkan pedoman pengembangan desa wisata, penyelenggaraan usaha wisata kesehatan dan usaha daya tarik wisata (DTW) Spiritual.
Namun, bagaimana memperlakukan usaha non-pariwisata yang berada di kawasan wisata? Bagaimana jika terjadi alih fungsi lahan? Misalnya dari kawasan konservasi menjadi kawasan wisata, kawasan pertanian dan perkebunan menjadi agrowisata, atau dari kawasan suci menjadi kawasan wisata. Mengingat semakin banyaknya lokasi persembahyangan yang dijadikan destinasi wisata dengan tarif masuk, juga desa-desa yang diwisatakan.
Adanya pendelegasian kewenangan menteri pariwisata berupa hak subtitusi kepada kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) -dalam Permenpar no. 3/2020- mengakibatkan seluruh penerbitan perizinan berusaha sektor pariwisata dilaksanakan oleh BPKM melalui sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Dan sesuai Permendagri no. 138/2017, gubernur mendelegasikan kewenangannya kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Sebelumnya, Permenpar no. 2/2014 dan no. 3/2017 juga telah menetapkan hal serupa. Ini menegaskan bahwa sejatinya bahwa pariwisata itu adalah memang bagian dari usaha perniagaan. Namun adakah pula pendelegasian dari kementerian ketenagakerjaan –terkait pekerja pariwisata- kepada BKPM?
Semula BKPM adalah lembaga pemerintah non kementerian yang telah ada sejak 1973, menggantikan Panitia Teknis Penanaman Modal. Tetapi sejak 2021 lembaga tersebut dimasukkan ke dalam Kementerian Investasi, dan kini jabatan menteri investasi merangkap juga sebagai kepala BKPM. Sistem OSS sendiri dibangun dan dikelola oleh BKPM. Adapun sistem PTSP pernah juga diterapkan oleh pemerintahan orde baru pada era 70-an secara terpusat. Sedangkan pada pasca reformasi, meskipun ada desentralisasi, namun perihal perizinan ini rawan dijadikan komoditas, terutama menjelang pemilihan kepala daerah. Namun entah apa alasannya sehingga pelayanan perizinan harus dijaring melalui pintu BKPM. Di lain pihak, apa fungsi sebenarnya Kementerian Bidang Kemaritiman dan Investasi?
Perizinan pada dasarnya merupakan instrumen administrasi yang bersifat yuridis preventif, yang memuat larangan, persetujuan dan ketentuan. Dalam perwujudannya bisa berbentuk dispensasi, lisensi, juga konsensi. Perizinan bisa juga berhubungan erat dengan visi dan misi suatu negara. Faham yang dianut oleh suatu pemerintahan akan terlihat dari prosedur dan persyaratan perizinanannya. Landasan filosofi yang tepat untuk digunakan dalam mengatur perizinan adalah keadilan proporsional, bukan keadilan egaliter. Sementara perizinan berusaha berbasis risiko ini hanya bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Jadi, tidak ada hubungannya dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali.
Dalam Undang Undang Cipta Kerja (no. 11/2020) dijelaskan pula bahwa peningkatan tersebut meliputi penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; penyederhannan perizinan berusaha sektor; dan penyederhanaan persyaratan investasi. Akan tetapi, penyederhanaannya itu tidak sesederhana dan semudah yang dibayangkan. Bahkan seperti tidak ada dispensasi dan kekecualian, terutama dalam hal persyaratannya. Akhirnya, kita hanya bisa membayangkan bahwa semua izin usaha akan mudah didapatkan bila ada ‘pelicin’ sebagai persyaratan tambahan. Mungkin idealnya syarat-syarat dalam perizinan itu sifatnya kondisional, bukan konstitusional.
.
Menurut sebagian pengamat, kehadiran UU ‘sapu jagat’ tersebut dinilai akan memangkas ego sektoral antar kementerian dan akan mencegah korupsi di birokrasi. Di sisi lain, meskipun ia bertujuan untuk meningkatkan lapangan kerja serta memberi kemudahan terhadap segala bentuk kegiatan usaha dan investasi, tetapi hal ini merupakan suatu pertanda bahwa liberalisasi ekonomi akan lebih liberal daripada sebelumnya, termasuk liberalisasi jasa kepariwisataan. Dan para kaum liberal pada akhirnya akan terperangkap dalam urusan perizinan. Imbasnya, sertifikasi bukan lagi merupakan rangkaian kegiatan penilaian kesesuaian, melainkan menjadi syarat pengajuan izin yang prosedurnya telah distandardisasi.
Liberalisme melahirkan negara konstitusional dimana perselisihan, kesalahfahaman, pertentangan, ketidaksepakatan, hasutan, agitasi partai akan terjadi, inkonsisten pemerintah, miskoordinasi birokrasi. Salah satu ciri negara liberal –walau terkesan bebas dan menguntungkan rakyat- adalah terlalu banyak aturan dimana hukum tidak lagi berbicara keadilan, tetapi hukum bagaikan sebuah senjata untuk menghalau oposisi dan para penghambat kepentingan. Pemerintah, swasta dan rakyat malah menciptakan persaingan. Sehingga ungkapan ‘negara hukum’ hanya berada di luar konteks dan berkonotasi sebagai pabrik hukum yang akan menguntungkan para mafia hukum. Menurut survey, Indonesia merupakan negara dengan obesitas regulasi tertinggi (hiperregulasi dan overlapping) dengan mengantongi 220.346 peraturan.
Sebagai konsekuensi dari General Agreement on Trade in Services (GATS), akhirnya Indonesia harus terikat oleh kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan dalam ‘oligarki neo-kolonialisme’ World Trade Organization (WTO).
PORTAL SATU PINTU
Pandemi dan Perpres no. 97/2014 tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu bisa dianggap telah mengilhami Pemda Bali untuk membuka portal satu pintu pariwisata Bali (posturis). Kali ini Perda Bali no. 5/2020 tidak hanya mengatur penyelenggaraan pariwisata konvesional, tetapi juga pariwisata ‘melek’ teknologi yang meliputi reservasi hotel, e-ticketing, transportasi online, marketplace, pembayaran non-tunai dan bidang lain sesuai perkembangan pariwisata. Pemprov Bali mewajibkan semua pelaku usaha pariwisata agar mendaftar di portal digital satu pintu pariwisata yang justru akan mengancam para pelaku usaha pariwisata.
Sejumlah pasal disinyalir akan menimbulkan kegaduhan, diantaranya pasal 26, 27 dan 28. Pasal-pasal tersebut mungkin memiliki semangat untuk mengintegrasikan seluruh stakeholder pariwisata di Bali. Namun adanya kebijakan turunan (Pergub) yang juga memuat sanksi, akan berpeluang mewajibkan penyampaian data dan informasi dari pelaku usaha kepada pelaku usaha tertentu atau juga kepada asosiasi-asosiasi.
Kewajiban pendaftaran pada portal tersebut juga berpotensi melahirkan pengenaan biaya tertentu yang menjadi disinsentif pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan kepariwisataan. Selain itu, dalam regulasi kemitraan bisa terjadi penyalahgunaan posisi dominan untuk menentukan syarat-syarat perdagangan. Terkait pembentukan perusahaan umum daerah (Perusda), bisa juga terjadi pelimpahan kewenangan regulator kepada pelaku usaha hingga mendistorsi pasar. Apakah BUMD akan berpeluang menyalahgunakan kewenangan juga, atau hendak mendominasi?
Mengingat Perda Bali no. 5/2020 disusun sebelum UU Cipta Kerja, maka wajar saja apabila tidak ada harmonisasi dan sikronisasi antar kebijakan. Padahal setiap regulasi harus memiliki visi yang sama, yakni penyederhanaan perizinan untuk dapat meningkatkan lapangan kerja. Tarif pada portal tersebut perlu dipastikan juga agar tidak ada kesan bahwa hal itu cenderung atau mengarah pada monopoli dan persaingan tidak sehat. Adanya ASITA, PHRI, HPI yang mengklaim sebagai wadah tunggal mitra pemerintah, mungkin juga akan turut terlibat di dalamnya.
Masalah ini pernah dibahas dalam diskusi lanjutan Kanwil IV Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang diselenggarakan oleh Direktorat Regulasi Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 19 Maret 2021 di Bali. Komisioner KPPU, Dinni Melanie, telah mengingatkan Pemda Bali untuk berhati-hati dalam pengimplementasian Perda tersebut agar tidak terjadi kontra produktif bagi pemulihan ekonomi di sektor pariwisata serta mempertimbangkan penggunaan analisa kebijakan persaingan usaha berdasarkan prinsip kemitraan yang sehat.
Dilansir dari bisnis.com, mantan Kepala Dinas Pariwisata Bali, Putu Astawa, mengakuinya bahwa portal satu pintu pariwisata Bali masih membutuhkan kajian akademis. Tanggapan tersebut menandakan bahwa Perda no. 5/2020 memang belum layak disosialisasikan atau terlalu cepat diberlakukan. Apakah masih bersikeras agar Perda ini dipahami dengan baik? Bagaimana cara meyakinkan jika regulasinya benar-benar berpihak kepada masyarakat?
Sehubungan dengan portal digital dan sistem OSS dalam pelayanan perizinan secara elektronik, perlu diingat bahwa era digitalisasi pada semua aspek kehidupan kini telah memunculkan beragam ancaman. Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sepanjang tahun 2021 terdapat 1,6 miliar anomali trafik berupa cyber attack melalui malware di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Istana Presiden. Tidak hanya itu, terdeteksi juga ada anomali sinyal elektromagnetik. Sementara pada September 2023 tercatat sekitar 6 juta serangan siber. Kemendagri mengakui pula bahwa hampir 200 juta data kependudukan terancam hilang. Alasannya, masalah itu disebabkan perangkat keras milik Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil sudah usang. Selain itu, kasus peretasan terhadap data Bank Indonesia, kebocoran data BPJS, Bank BSI, data pengguna Indihome, data paspor, data pemilu telah menambah panjang daftar kasus pembobolan data di Indonesia.
Berdasarkan data alamat protokol internet yang digunakan untuk melakukan serangan siber, Indonesia menduduki peringkat 11 dunia sebagai kontributor serangan siber terbanyak. Secara global, Indonesia berada di peringkat 8 dengan jumlah kasus kebocoran data tertinggi dan negara dengan pembobolan data terbanyak di Asia Tenggara. Sebagai data pembanding dari National Security Index, tercatat jika nilai keamanan siber Indonesia hanya sebesar 64 persen dan menempati urutan ke 47.
Mengingat index pertahanan siber Indonesia dianggap sangat lemah, maka kesadaran untuk memprioritaskan keamanan instalasi dan mitigasi risiko harus lebih ditingkatkan. Dan yang lebih utama adalah kemandirian atau kedaulatan untuk memiliki dan menguasai jalur jaringan (internet) itu sendiri. Pertahanan serta keamanan siber yang tangguh akan mencerminkan kredibilitas bangsa pada tata kelola yang relevan, yang melindungi kepentingan nasional bagi semua sektor, setiap individu dan warga negara.
SANKSI
Sanksi pada umumnya didefinisikan sebagai sebuah hukuman atau tindakan paksaan yang diberikan kepada seseorang yang gagal mematuhi hukum. Sanksi dalam peraturan perundang-undangan merupakan konsekuensi dari suatu norma yang dirumuskan dalam bentuk larangan, perintah, atau kewajiban. Menurut teori, suatu norma dinilai akan mengalami kesulitan dalam penegakannya apabila tidak disertai dengan sanksi. Adapun maksud dari pencantuman atau penerapan ketentuan sanksi dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah sebagai upaya untuk menegakkan norma, untuk memberi hukuman kepada pelanggar, untuk membuat jera pelanggar, dan untuk mencegah orang supaya tidak melakukan pelanggaran.
Pada umumnya, ancaman hukuman yang ditentukan dalam suatu undang-undang menimbulkan pemaksaan psikologis bagi mereka yang akan atau telah melakukan pelanggaran. Banyak faktor mengapa seseorang melanggar hukum, baik yang sengaja maupun tidak disengaja, sebagaimana pemrakarsa undang-undang yang juga memiliki maksud untuk membuat hukum. Lazimnya seorang pakar hukum, layaknya akademisi, akan mengkaji dengan cermat dan bijak alasan-alasan si pelanggar dari segala sisi, juga bentuk pelanggaran maupun objek yang dilanggarnya. Beda halnya dengan penegak hukum yang diciptakan hanya untuk menelan bulat hukum dan menjalankan dengan mutlak segala aturan beserta sanksi yang berlaku. Sedangkan pembentuk undang-undang bisa jadi hanya meng-copypaste hukum yang sudah ada.
Seperti kita ketahui, di Indonesia dikenal 3 jenis sanksi: pidana, perdata, dan administratif. Semoga kita sudah memahami benar perbedaan masing-masing, walaupun penentuan kriteria sanksi yang diterapkan dalam peraturan perundang-undangan di tanah air masih menjadi polemik, termasuk Perda. Adapun ketentuan sanksi-sanksi yang dimaksud merupakan suatu opsi. Ketiganya tidak harus diterapkan, tetapi dapat dipilih sesuai keefektifan dan ketepatannya jika dikaitkan dengan lingkup substansi pengaturannya. Suatu peraturan perundang-undangan tidak perlu dipaksakan untuk mengatur sanksi karena belum tentu akan lebih efektif. Bahkan penegakan hukum dari suatu peraturan atau undang-undang sangat mungkin untuk tidak memerlukan sanksi sama sekali. Dalam lampiran UU RI no. 10 tahun 2004 dijelaskan bahwa ketentuan pidana dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan jika itu diperlukan.
Sejak diberlakukan otonomi daerah, setiap pemerintahan daerah baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi diberi wewenang untuk mengatur sendiri daerahnya dan merusmuskan peraturan daerahnya. Akan tetapi dengan adanya otoritas tersebut, malah kadang-kadang membuat sebagian peraturaran daerah menjadi lebih rumit, terutama perihal persyaratan perizinan beserta sanksinya. Sehingga menimbulkan kontra bahkan egoisme antara pemerintah pusat dan daerah.
Kita pun tidak memungkirinya jika -di satu sisi- otonomi daerah berdampak baik juga bagi masyarakat daerah. Namun dalam perkembangannya, kita tidak hanya bisa melihat dari sudut pandang ekonomi saja. Karena sejumlah kebijakan di daerah dipengaruhi juga oleh faktor politik sentralistis, di samping mungkin ada spirit ‘premanisme’ dalam pelaksanaannya. Misalnya, ketika ada standar prosedur kriteria dari kementerian yang tidak tepat untuk diterapkan di semua daerah. Padahal setiap regulasi di tingkat pusat harus diterjemahkan dalam bentuk Perda. Sementara Perda tersebut merupakan produk bersama dari aktor-aktor politik serta kepentingan lokal dan nasional.
Rumusan sanksi yang dituangkan dalam Perda idealnya bersifat relatif, yakni disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing, atau dengan mempertimbangkan segi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Untuk menentukan berapa lama waktu kurungan atau berapa banyak jumlah denda dalam sanksi pidana perlu juga pertimbangan terhadap dampaknya. Kenyataan, meskipun materi muatan sanksi dalam Perda hanya diperbolehkan atas persetujuan Gubernur, Bupati atau Walikota melalui DPRD, namun kriteria penentuan sanksinya masih diatur secara limitatif dalam pasal 15 ayat 2 UU RI no. 12 tahun 2011. Pasal tersebut menetapkan bahwa ancaman pidana dalam Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah berupa kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta. Ketentuan pidana tersebut senada juga dengan UU RI no. 23/2014 pasal 238 ayat 2 dan Permendagri no. 80/2015 pasal 5 ayat 2.
Meskipun ukuran atau pedoman pemidanaan belum secara lengkap diatur, namun sebaiknya para pembentuk undang-undang sudah saatnya berpikir secara realistis dan proporsional. Yaitu dengan cara melihat apakah penentuan pidana tersebut dimaksudkan untuk melakukan pencegahan, pembinaan ataukah pembalasan, supaya tidak terbawa arus emosi sehingga jauh dari rasa keadilan. Selain itu, bagaimana menetapkan kriteria pelanggaran agar sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Sebab sangat tidak adil apabila semua bentuk pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau denda yang sama. Misalnya, pelanggaran yang dilakukan pedagang acung tidak mungkin dikenakan sanksi yang sama dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang kaki lima. Jadi, hal itu perlu ditentukan kriteria atau tolok ukur pelanggaran.
Untuk merumuskan ketentuan pidana diperlukan juga asas-asas umum ketentuan pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebab di dalamnya berlaku pula bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika oleh undang-undang terkait ditentukan lain sebagaimana dimaksud Pasal 103 KUHP. Itu pun jika memang harus mengadakan sanksi pidana. Bagaimana jika hal itu tidak diperlukan dalam Perda?
UU Cipta Kerja -terlepas dari kontroversinya- dipandang sebagai suatu upaya reformatif yang bertujuan untuk memperbaiki kemudahan berusaha dan menciptakan banyak lapangan kerja. Undang-undang tersebut tidak hanya berbicara tentang ekosistem investasi, tetapi berbicara juga tentang kepastian perlindungan pekerja. Kendati demikian, di dalamnya memuat juga sanksi-sanksi, baik administratif maupun pidana. Namun sebagai produk administratif, pelanggaran perizinan berusaha yang diatur dalam UU Cipta Kerja lebih cocok dikategorikan sebagai pelanggaran administratif.
Menurut Menkumham, Yasonna H. Laoly, pengenaan sanksi dalam UU Cipta Kerja dilakukan dengan prinsip ultimum remedium yang mengedepankan sanksi administratif daripada sanksi pidana sepanjang pelanggarannya tidak mengandung unsur kejahatan ataupun niat jahat. Oleh karena perizinan itu adalah sebuah tindakan administratif, maka setiap pelanggaran perizinan itu seharusnya bersifat administratif pula. Anehnya, khusus sektor pariwisata, ketentuan sanksinya itu justru tidak dimuat langsung dalam undang-undang tersebut, melainkan dimuat dalam peraturan pemerintah.
Bagaimana dengan pelanggaran terhadap standardisasi, termasuk kategori administratif ataukah pidana? Dalam UU 20/2014 tentang standardisasi dan penilaian kesesuaian tidak hanya memberlakukan sanksi administratif, tetapi juga sanksi pidana. Itu pun bentuk pelanggarannya lebih fokus pada penyalahgunaan SNI. Walau demikian, bobot pidana yang ditetapkan sangatlah tidak masuk akal.
Sementara dalam Perda Bali no. 5/2020, pelanggaran terhadap kewajiban administrasi maupun standardisasi bisa juga terancam sanksi pidana bahkan sanksi adat. Hukuman yang ditetapkan dalam tindak pidana adalah kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 50 juta rupiah. Ini setara dengan sanksi terhadap pengeksploitasi anak di bawah umur, penjual minuman keras tanpa batas, pengedar daging anjing, atau juga siswa pembawa senjata tajam. Jumlah dendanya di atas UMR dalam setahun. Jika menimpa seorang pekerja, sama dengan kehilangan pendapatan sekitar Rp 9 juta-an. Dengan kata lain, standar sanksi dendanya belum benar-benar otonom atau masih mengacu ke pusat.
Bukankah sanksi pidana diperlukan apabila ada kegiatan yang akan meraup keuntungan sebesar-besarnya dan dapat berakibat pada kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan? Meskipun sebagian ayat dari pasal-pasal yang dimaksud ditujukan kepada pelanggar yang menggangu, merugikan dan merusak, tetapi itu bukan berarti harus menggeneralisasi satu pasal atau memukul rata semua pelanggar.
Poin-poin yang dikenai sanksi pidana dalam Perda no. 5/2020 apabila dilanggar berjumlah 13 pasal dan 14 ayat. Padahal dalam sebagian besar pasal tersebut berisi tindakan-tindakan yang sifatnya administratif dan etis, misalnya tentang kepemilikan usaha yang berbadan hukum, standar fasilitas DTW, penerapan etika, penetapan desa wisata, penyediaan sarana dan prasarana, pemakaian desain dan branding, kepemilikan TDUP bagi usaha pariwisata, pengembangan manajemen usaha, standar pelayanan, kepemilikan izin usaha, kepemilikan sertifikat usaha, penetapan segmen pasar, kemitraan dan kerjasama, keorganisasian kepariwisataan, kepemilikan KTPP bagi pramuwisata, kepemilikan sertifikat kompetensi dan pengetahuan budaya bagi pramuwisata, pendaftaran dan bertransaksi di potal satu pintu, izin pendokumentasian digital. Apakah pelanggaran terhadapnya mengandung unsur kejahatan? Ataukah menganggapnya sebagai pelanggaran administratif yang dikriminalisasi?
Jika kita bandingkan dengan UU no. 10/2009, sanksi pidana hanya ditujukan kepada pelanggar pasal 27. Yakni yang merusak fisik daya tarik wisata saja. Selebihnya, pelanggaran terhadap hal yang hampir serupa dengan yang di atas, hanya dikenai sanksi administratif, yaitu kepada pelanggar pasal 15, 25 dan 26. Masalah ini kontradiktif dengan muatan sanksi yang terdapat dalam PP no. 52/2012 dan Permenpar no. 8/2021.
Sedangkan jumlah pasal dalam Perda no. 5/2020 yang dikenai sanksi administratif hanya terdapat 5 pasal dan 9 ayat. Yang mengherankan, mengapa pasal 6 dengan 10 ayat 2 dikenai sanksi yang berbeda, padahal memiliki muatan yang hampir sama? Lucunya, di pasal 10 ayat 1 tidak ada sanksi bila dilanggar, karena yang harus menyediakan sarana dan prasarana adalah pemerintah itu sendiri. Khusus untuk pasal 7 ayat 2, apakah merestui atau mengizinkan pura (misal Besakih) sebagai DTW termasuk pelanggaran? Bukankah itu termasuk memanfaatkan juga? Sementara pasal 24 boleh dibilang samar-samar, ditujukan kepada siapakah sebenarnya apabila terjadi pelanggaran?
Jika dikaitkan dengan penyelenggaraan perizinan berdasarkan tingkat risiko, maka penerapan sanksi di atas diibaratkan seperti tidak ada gradasi pelanggaran. Dan istilah ‘pelanggaran’ itu sendiri disinonimkan dengan tindak pidana. Apakah memang tidak mau ambil pusing dalam pengklasifikasian pelanggaran sehingga terjadi pemerataan sanksi di dalamnya? Bagaimana cara perancang atau pembentuk undang-undang memilah-milah suatu perbuatan? Dan bagaimana pula cara menerapkan suatu sanksi tanpa mematikan kegiatan perekonomian?
Penerapan sanksi administratif sebetulnya lebih efektif daripada sanksi pidana. Sebab sanksi administratif dapat dilakukan langsung oleh pejabat administrasi tanpa menunggu putusan pengadilan. Sedangkan sanksi pidana harus menunggu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tentunya proses penjatuhan sanksi pidana akan memakan waktu cukup lama. Pada umumnya sanksi administratif terdiri dari beberapa bentuk, yakni berupa teguran lisan, teguran tertulis, tindakan paksa pemerintahan, penarikan kembali keputusan yang menguntungkan, denda administratif dan pengenaan uang paksa. Namun dalam UU no. 12/2011 sanksi adminisratif bisa mencakup pula pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, dan daya paksa polisional.
Berbicara tentang sanksi, seringkali dimanfaatkan juga oleh oknum-oknum penegak hukum untuk menkriminalisasi para pelanggar hukum. Kriminalisasi merupakan proses persidangan atau instrumen hukum pidana yang digunakan bukan untuk menegakkan hukum, melainkan bertujuan lain. Contohnya adalah praktik judicial harrasment atau serangan dengan menggunakan proses hukum. Bentuknya beragam, antara lain ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang dan dikriminalisasi.
Praktik ini pernah terjadi di Indonesia sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan pemerintahan Orde Baru. Adapun di era reformasi sampai sekarang bentuknya makin beragam, tidak hanya ditangkap dan ditahan sewenang-wenang serta dikriminalisasi, tetapi juga diancam. Adapun landasan yang digunakan dalam judicial harrasment dari dulu sampai sekarang masih tetap sama, yakni KUHP. Apakah kita sebagai masyarakat sipil perlu berkonsolidasi mendorong perubahan kebijakan agar tidak terjadi lagi praktik tersebut? Perlukah mendesak agar diadakan revisi KUHAP? Ataukah akan membiarkan instrumen hukum itu dimanfaatkan untuk menghambat atau membungkam kebebasan berekspresi, berpendapat, termasuk aspirasi masyarakat?
Akhir kata, Perda Bali no. 5 tahun 2020 ini mungkin akan lebih cocok diterapkan di internal pemerintah daerah sendiri, khususnya di Dinas Pariwisata, atau di Perusda dan BUMD. Kalaupun mau diterapkan ke publik, bisa tunggu sampai liberalisme itu sirna dari muka bumi. Dan menurut pengamat untuk sementara ini, keberlangsungan pariwisata di tanah air tergantung dari sikap pemerintah terhadap hukum kesehatan global, kesepakatan perubahan iklim, konflik Ukraina – Rusia dan konflik Israel – Palestina, dan keberadaan organisasi BRICS. Siapapun yang berani merevisi Perda, dialah mungkin yang layak menjadi calon kepala daerah atau calon legislatif. Jika tidak, maka Sad Ripu itu akan selalu berlindung di balik Sad Kerthi.