Oleh Darma Putra
Denpasar layak mendapat julukan Kota Konferensi. Alasannya, sejak lebih 50 tahun terakhir, ibu kota Pulau Bali ini sudah sering dan terus menerus dipilih sebagai tempat seminar, rapat, sidang, munas, kongres, dan sejenisnya, baik untuk tingkat nasional maupun internasional, baik yang diselenggarakan oleh partai politik maupun organisasi profesi.
Konferensi penting pertama yang berlangsung di Denpasar adalah Konferensi Denpasar. Konferensi yang diprakarsai oleh Belanda ini dilaksanakan pada tanggal 18-24 Desember 1946. Bali Hotel di Jalan Veteran merupakan tempat konferensi ini dilaksanakan. Itulah satu-satunya fasilitas memadai dan bertaraf internasional pada saat itu. Bali Hotel dibangun oleh Belanda pada tahun 1928 sebagai hotel mewah pertama di Pulau Dewata.
Konferensi Denpasar merupakan rangkaian dari Konferensi Malino yang berlangsung, 17-20 Juli 1946. Keduanya dilaksanakan Belanda untuk mengotak-atik strategi politik pecah-belah agar mereka bisa kembali menjajah Indonesia yang sudah merdeka tahun 1945. Pemerintah kolonial Belanda secara de facto hanya mau mengakui otoritas kaum Republik atas Sumatra, Jawa, dan Madura. Daerah-daerah lainnya, termasuk Bali, tidak diakui kemerdekaannya alias berada di bawah kekuasaan Belanda.
Konferensi Denpasar melahirkan Negara Indonesia Timur (NIT), yang berada di bawah kontrol Belanda. Delegasi Bali yang hadir dalam Konferensi Denpasar, seperti dicatat Geoffrey Robinson dalam bukunya The Dark Side of Paradise (1995:151), adalah Cokorda Gde Raka Sukawati, Anak Agung Gde Agung, Gde Paneca, I Gusti Bagus Oka, Anak Agung Nyoman Panji Tisna, dan Made Mendra.
Setelah NIT terbentuk, Belanda memilih Cokorda Gde Raka Sukawati sebagai President dan Anak Agung Gde Agung sebagai perdana menteri NIT. Wilayah NIT mencapai Bali dan seluruh dari Indonesia Timur kecuali Irian Barat. Belakangan NIT dipelesetkan sebagai “Negara Ikut Tuan”.
Terlepas dari riwayat NIT yang akhirnya ambruk karena kekuatan kaum Republik untuk mempersatukan Indonesia, kota Denpasar telah menjadi saksi sejarah ambisi Belanda hendak menguasai Nusantara kembali. Riwayat Denpasar sebagai kota konferensi bermula dari sini.
Pada tahun 1958, Denpasar menjadi tuan rumah pertemuan kebudayaan tingkat nasional. Tempatnya juga di Bali Hotel. Konferensi ini dilaksanakan oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Magnet Bali sebagai kota wisata yang sudah populer sejak zaman kolonial membuat banyak budayawan Indonesia mengalir ke Bali untuk mengikuti pertemuan BMKN.
Menurut laporan yang ada, acara pembukaan pertemuan kebudayaan ini ramai dan meriah, aula Bali Hotel penuh. Namun, saat sidang-sidang komisi atau pembahasan makalah, ruangan sepi karena banyak peserta pertemuan yang ngelencer ke luar menjadi turis. Andaikan pertemuan ini dilaksanakan di kota lain di Indonesia, mungkin pesertanya tak seramai kalau diadakan di Denpasar.
Sastrawan Ajip Rosidi, asal Bandung, yang ketika itu tentu masih muda usia, adalah salah satu peserta pertemuan kebudayaan BMKN. Dia pun tampaknya sempat keliling Bali, menjadi wisatawan. Kesan manisnya ditulis dalam sebuah puisi tentang Bali yang mengiaskan bahwa dia tidak ingin pulang ke Bandung, ingin tetap tinggal di Bali karena keindahan alam dan budaya pulau ini.
Tentu saja bukan Ajip Rosidi saja yang jatuh cinta, tetapi juga sastrawan dan budayawan lain. Buktinya, tak lama kemudian, Denpasar kembali dipilih menjadi tempat konferensi.
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI), memilih Denpasar sebagai lokasi Konferensi Nasional (Konfernas) pada 25-27 Februari 1962, empat tahun setelah pertemuan kebudayaan BMKN. Lokasi Konfernas Lekra lagi-lagi di Bali Hotel, Denpasar.
Konfernas Denpasar merupakan salah satu pertemuan nasional Lekra yang sangat penting setelah Kongres Solo 22-28 Januari 1959 karena untuk pertama kalinya sejak Lekra dibentuk 1950, melaksanakan pertemuan bertaraf nasional di luar Jawa.
Peserta Konfernas Lekra pun terpincut pada keindahan Bali. Banyak yang tidak mau pulang, makanya konfernas ini juga dikenal dengan ‘konfernas tak seorang berniat pulang’. Kesan-kesan seniman lekra banyak dituangkan dalam puisi, tentu sajak puisi propaganda ideologi komunis dengan menjadi Bali sebagai alat tembak estetikanya. Nyoto, salah seorang tokoh Lekra misalnya, mendapat inspirasi dari tari kecak Bali, menulis puisi yang antara lain berbunyi: cak-cak-cak-cak/ imperialisme/ kanan baru/ feodalisme/ si kepala batu/ kita tinju/ satu per satu.
Sukses Konfernas Lekra kembali membuat Denpasar terpilih sebagai lokasi pelaksanaan Sidang Komite Eksekutif Konferensi Pengarang Asia-Afrika (SKE-KPAA). Pertemuan internasional ini berlangsung 16-21 Juli 1963 di Hotel Segara Village, Sanur, satu dari sedikit hotel yang mulai tumbuh di Sanur, mendahului kehadiran Bali Beach Hotel.
Sidang Konferensi Eksekutif KPAA ini diikuti delegasi seniman dan budayawan negara-negara Asia Afrika. Sidang ini dibuka Presiden Sukarno dan ditutup oleh Menlu Subandrio di Hotel Bali, Denpasar, di tempat berlangsungnya Konfernas Lekra setahun sebelumnya.
Tidak jelas apakah Sukarno hadir langsung atau diwakili dalam pembukaan SKEKPAA, yang jelas Sukarno menyampaikan pidatonya yang ringkasannya dimuat di Harian Rakjat (21/7/1963, hlm 1). Dalam amanatnya itu, Presiden Sukarno mendesak pengarang Asia Afrika berani menjadi manusia yang mampu mengabdikan pikirannya bagi semua Rakyat Asia Afrika, harus melihat sekeliling dirinya, harus menyelidiki, harus menyelam dalam kedalaman dasar jiwa revolusi yang besar ini.
Hadirnya Hotel Bali Beach mulai tahun 1966, membuat Denpasar kian ramai dipilih sebagai tempat konferensi. Salah satu pertemuan dunia yang besar yang berlangsung awal 1980-an, adalah kongres internasional taman nasional, berlangsung di Bali Beach Hotel. Dari sanalah kiranya Bali mendapat inspirasi untuk mempopulerkan ambisinya menjadi ‘Bali sebagai Pulau Taman’, walaupun belum sepenuhnya terwujud sampai sekarang.
Ada banyak lagi pertemuan nasional dan internasional di Denpasar atau Bali termasuk yang kemudian diadakan di kawasan Kuta dan Nusa Dua setelah hotel-hotel di sana rampung. Pertemuan itu biasanya menghasilkan deklarasi, namanya pun kerap disebut dengan Deklarasi Bali. Pertemuan OPEC dan ASEAN yang diliput wartawan dunia membuat Bali mendapat promosi pariwisata cuma-cuma. Ini jelas merupakan keuntungan yang tak ternilai harganya.
Tahun 1990-an dan 2000-an, Denpasar juga menjadi tuan rumah berbagai pertemuan partai politik, seperti yang dilaksanakan PDIP dan Golkar. Dalam pertemuan Bali-lah, Ketua DPP PDIP Megawati Soekarnoputri ditetapkan sebagai calon presiden untuk pemilu 1999. Perayaan HUT partai-parati besar juga dilaksanakan di Denpasar atau di kota lainnya di Bali.
Banyak keuntungan bisa diambil sebagai kota konferensi, termasuk keuntungan politik dan ekonomi. Secara politik, Denpasar atau Bali akan senantiasa diperhitungkan dalam konstelasi kekuatan politik nasional. Paling tidak, hubungan politisi lokal dengan pusat menjadi lebih akrab, yang bisa membukakan jalan untuk ke level nasional. Misalnya, politik pemenang pemilu atau yang tokohnya menjadi pemimpin, akan memperhitungkan untuk memasukkan wakil Bali dalam jajaran kekuasaan.
Secara ekonomi, keuntungan akan dirasakan sektor pariwisata dan transportasi. Dalam sekali kongres, bisa dibayangkan, berapa ratus juta atau milyar uang dikucurkan ke lokasi konferensi. Para pengelola hotel, restoran, dan bahkan sopir taksi pun akan ikut menikmati. Kabarnya, saat ada kongres atau konferensi di Bali permintaan atas CO2 alias cewek-cewek orderan pun meningkat.
Mumpung berbagai fasilitas akomodasi, transportasi (khususnya udara), dan magnet Bali yang begitu komplet sebagai daerah tujuan wisata, Denpasar mestinya mengibarkan diri dengan tegas dan mantap sebagai kota konferensi, kota kongres, atau kota munas.
Hanya saja, komitmen untuk menjadi kota konferensi harus dipersiapkan dengan mantap agar peserta benar-benar puas atas fasilitas yang ada sehingga tujuan hajatan mereka tercapai. Kalau gagal, bisa saja mereka bertindak di luar ketentuan, terutama peserta kongres yang datang untuk hajatan partai politik yang terkadang sangat fanatik dan sulit diatur. [b]
lho, setelah indonesia merdeka belanda malah bikin hotel di bali…Ah, nak bali pasti malah suka cita karena menyambutnya karena gemerincing gulden. padahal hotelnya untuk hehe…
ah, beritanya biasa saja.cuma menuliskan kemabli dari buku2 masa lalu yang sudah ada.kurang dianalisis lagi.
Jika ada waktu, sebaiknya dibahas juga sisi negatifnya sebab di balik kecemerlangan ada keterpurukan. Jika Bali ( Badung/ Denpasar )terlena, berbahaya, boom… boommm
di buku saya belanda (nica) mengadakan konfrensi di malino pada tanggal 15-25 juli 1946
tp sedangkan di wabsite ini pengadakan konfrensi malino pd tanggal 17-20 juli …
trus mna yg bener,,,?