Saat berada di tengah hiruk pikuknya perkotaan, ketika semua orang sibuk dengan aktivitasnya, pernahkah terpikir dalam benak bagaimana kita melewati ruas-ruas jalan yang semakin hari semakin penuh dan sesak oleh kepentingan masing-masing individu?
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat perkotaan saat ini hanya sebatas menempatkan diri sebagai ”penghuni kota”. Saya sebut ”penghuni” karena setiap hari masyarakat dengan bebasnya memanfaatkan apa yang sudah ada selama ini. Jalan, jembatan, kompleks perumahan, dan berbagai fasilitas umum lainnya dijadikan sebagai timbal balik atas bayaran pajak yang sudah rajin disetorkan ke pemerintah. (Meskipun saya tidak yakin semua masyarakat sudah mau menyadari dan melaksanakan kewajibannya itu..(^_^).
Terlepas dari bagaimana masyarakat menempatkan dirinya dalam sebuah perkotaan, tanda-tanda kejenuhan masyarakat dengan sistem dan tata ruang perkotaan telah semakin jelas terlihat. Dengan berbagai persoalan yang menerpa kota khususnya Denpasar, masyarakat kini berada dalam kondisi yang dilematik. Di satu pihak masyarakat hanya bisa mengeluh terhadap penataan kota yang bisa dibilang masih belum efektif, di lain pihak masyarakat belum menyadari peran dan bagaimana memberdayakan dirinya dalam proses perencanaan pembangunan kota.
Sesungguhnya masalah apa yang begitu mengusik kenyamanan masyarakat dalam hal penataan di wilayah perkotaan? Jawabannya: tidak sedikit!
Jalan yang masih sering ditambal di sana sini akibat penggalian saluran limbah atau alasan lain yang biasanya tidak begitu diperdulikan oleh masyarakat. Belum lagi terkadang jalan tersebut hanya digali dan ditutup sekedarnya sehingga masih menyisakan lubang yang cukup membahayakan. Selain itu, pembangunan fasilitas umum seperti ruang terbuka publik dinilai masih minim sehingga kepenatan kota sudah semakin dirasakan oleh masyarakat.
Berbagai permasalahan di atas tentu memiliki korelasi tersendiri dengan dampak yang ditimbulkan. Belum maksimalnya penataan jalan seringkali mengakibatkan terjadinya kemacetan dan kecelakaan terutama ruas jalan yang masih dalam proses perbaikan. Minimnya ruang terbuka publik ditambah dengan buruknya pengelolaan sampah semakin menambah ketidaknyamanan warga dalam sebuah perkotaan. Bila sudah demikian, haruskah masyarakat tetap cuek terhadap penataan wilayah perkotaan?
Sesungguhnya ada banyak peran yang dapat diambil oleh warga kota dalam hal penataan wilayah perkotaan. Dengan dasar hukum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang, masyarakat sudah diberikan akses dan kesempatan yang sama untuk berperan dalam penataan wilayah perkotaan. Sebut saja bagaimana upaya-upaya seperti penjaringan opini publik, forum diskusi dan konsultasi publik, ditambah pembinaan yang dilakukan pemerintah merupakah hal yang sudah diamanatkan oleh aturan perundang-undangan tersebut. Bagaimana dengan implementasi di lapangan? Sudahkah warga terlibat?
Hambatan yang selalu muncul terkait dengan peran waga dalam penataan kota adalah perihal kebijakan dan dilanjutkan dengan faktor teknis. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat yang sudah memperoleh akses untuk terlibat dalam suatu perumusan kebijakan tata ruang sebut saja Perda, belum mampu menyentuh substansi penataan ruang itu sendiri. Kebanyakan warga tertahan pada proses bagaimana mengemukakan keinginan dan kebutuhan tanpa disertai tindak lanjut serta penerapan kebijakan yang dimaksud. Hal ini juga terhambat oleh lemahnya upaya advokasi kebijakan yang dilakukan oleh masyarakat akibat minimnya jaringan dan keterbukaan / transparansi pemerintah dalam pelaksanaan rencana tata ruang.
Berkaca pada berbagai hambatan di atas, warga kota harus lebih pandai menyikapi permasalahan penataan ruang. Peran warga kota akan dapat dirasakan secara jelas apabila masyarakat mampu memilah kepentingan dalam perencanaan yang dimaksud. Maka dari itu partisipasi berbagai komunitas di masing-masing wilayah melalui forum warga dan konsultasi akan menjadi wadah yang mengakomodir kepentingan warga terkait perencanaan tata ruang. Salah satu contoh nyata di kota Denpasar adalah bagaimana Taman Kota di daerah Lumintang yang bisa dibilang sebagai satu dari sedikit ruang terbuka publik dipenuhi dengan berbagai pedagang kaki lima yang semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Perlu kesatuan pemahaman antara pedagang, masyarakat dan pemerintah dalam menciptakan ruang terbuka publik yang benar-benar nyaman.
Dalam hal advokasi, warga kota harus dapat membangun jaringan dan menguak akses transparansi kebijakan perencanaan tata kota. Dengan pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi Publik diharapkan, masyarakat dapat turut serta dalam mengawal pelaksanaan perencanaan tata ruang perkotaan. Transparansi terhadap kasus-kasus yang menyangkut perijinan dan alih fungsi lahan juga akan menjadi indikator partisipasi masyarakat dalam memperoleh akses terhadap informasi yang diperlukan. Komunikasi antara masyarakat dengan pihak eksekutif, legislatif, dan aparat penegak hukum akan menjadi salah satu ukuran sukses tidaknya advokasi yang dilakukan.
Bagaimana dengan jalan dan kemacetan yang terjadi di perkotaan? Tanpa mengurasi rasa optimis terhadap pemerintah, menurut saya menciptakan sistem pengelolaan limbah yang berorientasi jangka panjang, sistem transportasi serta kebijakan penggunaan kendaraan pribadi akan lebih efektif. Pelebaran jalan, pengalihan arus lalu lintas, atau mungkin pembangunan jalan layang nampaknya masih belum menjamin perbaikan atas kemacetan yang terjadi.
Di luar perencanaan tata ruang oleh pemerintah, warga dapat mengambil peran dan inisiatif untuk menciptakan ruang terbuka publik di masing- masing wilayahnya. Bayangkan saja bila di masing – masing desa atau bahkan banjar, ada suatu ruang terbuka yang memanfaatkan lahan atau tanah desa. Meskipun membutuhkan persetujuan pemerintah setempat, tapi paling tidak, hal ini akan berdampak positif tidak hanya bagi kenyamanan warga setempat tapi juga program pelestarian lingkungan.
Pada akhirnya perlu disadari bahwa isu tata ruang merupakan sebuah isu yang kompleks dan tidak dapat berdiri sendiri. Perencanaan penataan wilayah perkotaan akan selalu bersinggungan dengan isu lingkungan, perekonomian masyarakat, budaya dan agama, serta berbagai dimensi lain yang mendukung sukses tidaknya suatu perencanaan tata ruang. Dibutuhkan perencanaan matang sebelum menciptakan tata ruang yang nyaman untuk jangka panjang bagi warga kota
Hal ini membutuhkan sinergi antara pemerintah selaku pembuat kebijakan, Departement Pekerjaan Umum, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perijinan, tokoh masyarakat serta partisipasi dan peran dari warga kota itu sendiri. Masyarakat juga harus didorong untuk memikirkan bagaimana wajah kota ini kedepannya. Bukan hanya karena masyarakat adalah bagian dari kota ini, tapi juga karena tanggung jawab yang didasari rasa memiliki terhadap kota itu sendiri. Kota ini [juga] punya kita, kawan! [b]
Tulisan ini juara II dalam Lomba Esai Peduli Tata untuk kategori mahasiswa.
Dulu saya tidak tahu macet itu seperti apa, hanya saya dengar lewat TV, di Jakarta macet. Sekarang saya baru tahu sperti apa rasanya..apakah bali akan terus seprti ini?