Aroma politis lebih kuat daripada kemanusiaan.
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Perlindungan Anak digagas sebagai inisiatif dari Pansus Perda Perlindungan Anak, Komisi IV DPRD Provinsi Bali. Sayangnya semangat perancangan Peraturan Daerah ini lebih kuat didorong unsur politis. Substansi yang semestinya ditujukan untuk menjadikannya sebagai instrumen yang mumpuni dalam upaya memberikan perlindungan bagi anak-anak Bali, menjadi pereduksian realitas sosial anak.
Ranperda menjadi arena politik karena ada indikasi rancangan dipaksakan untuk diselesaikan dan bila perlu disahkan menjadi Perda sebelum pemilu 9 April 2014 ini sesuai dengan yang disampaikan sekretaris Pansus, Ibu Utami.
Beruntung, YLBHI Bali berinisiatif mengajak stakeholder bertemu pada 13 Januari 2014 untuk berpartisipasi dan menganalisis konten Ranperda Perlindungan Anak. Pertemuan ini menjadi penting untuk mengantisipasi adanya upaya menggampangkan masalah dengan melakukan generalisasi isi Ranperda seperti mencontek dari berbagai sumber perundang-undangan, atau yang lebih fatal jika ditemukan adanya indikasi mencontek Ranperda serupa dari provinsi lain yang secara substansi tidak sama dengan Bali.
Padahal substansi Ranperda harus bersumber dari realitas kebutuhan anak untuk mendapat pengakuan identitas, untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar.
Konsep anak
Pada ketentuan umum Ranperda, disebutkan konsep anak mencakup anak yang berusia hingga 18 tahun. Agar sesuai dengan substansi Ranperda, dalam ketentuan umum belum dijelaskan tentang anak disabilitas, anak penyandang disabilitas, anak berkebutuhan khusus, anak dengan layanan khusus yang berhubungan dengan sistem pendidikan untuk anak Indonesia.
Perancang Ranperda tampaknya belum mengikuti perkembangan semiotik kebahasaan terutama perkembangan peristilahan baru, seperti masih menggunakan kata anak cacat, padahal sekarang sudah disosialisasikan istilah anak disabilitas. Perancang Ranperda juga perlu mengetahui perbedaan konsep anak disabilitas dan anak dari penyandang disabilitas di mana kedua konsep ini masih berhubungan dengan Ranperda, karena keduanya tidak jarang menjadi korban bullying (pelecehan) baik di sekolah maupun di lingkungannya.
Paradigma tentang Anak
Paradigma Ranperda ini masih bersifat otoriter, memosisikan anak sebagai mahluk yang tak berdaya (disabilitas), rentan dan dianggap tidak mampu membuat pilihan-pilihan sendiri, serta mengabaikan nasib anak-anak yang berdaya dan anak yang bertalenta.
Tentunya partisipasi anak untuk turut serta dalam penyusunan Ranperda yang akan memengaruhi hidup dan masa depan anak-anak Bali, perlu didengar sebagai aspirasi penting. Forum Anak Bali, perwakilan OSIS dari berbagai sekolah, Sekaa Teruna, kelompok komunitas anak dan remaja, lembaga pemerhati dan peduli anak perlu diberikan ruang untuk terlibat memberikan masukan untuk memahami berbagai kebutuhan dasar anak dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam mengawal proses perancangan Ranperda ini menjadi perda perlindungan anak.
Koreksi Kritis
Beberapa koreksi kritis tentang konten Ranperda: menyangkut dasar-dasar hukum yang dijadikan pertimbangan; perlunya kejelasan koordinasi terutama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mengimplementasikan Perda jika telah disahkan; koordinasi SKPD dengan stakeholder; transparansi dan teknis mendapatkan akses pendanaan dalam penanganan perlindungan anak.
Beberapa dasar hukum seperti Undang-undang tentang Disabilitas dan UU tentang kependudukan belum dijadikan pertimbangan. Jalur komunikasi SKPD harus dibuat sebening air mineral agar tidak memunculkan polemik dan indikasi adanya saling lempar tanggung jawab dalam SKPD.
Kesehatan reproduksi anak juga belum diatur dalam Ranperda, termasuk hak anak untuk menentukan orientasi seksual dirinya. Argumentasi: ada anak yang terlahir dengan kelamin ganda atau ada anak yang merasa berada di tubuh yang salah karena jenis kelamin yang dimilikinya tidak membuatnya menjadi pribadi utuh.
Pendidikan khusus dan layanan khusus untuk anak perlu diatur dalam Ranperda yang mengacu pada kebutuhan anak disabilitas, anak berkebutuhan khusus, anak yang hidup dalam penjara. Poin penting lainnya dalam Ranperda ini adalah menyangkut akses untuk anak, seperti ruang bermain, tempat dan lingkungan bertumbuh kembang yang baik untuk anak.
Hak atas identitas pribadi juga belum dimasukkan dalam isi Ranperda. Dasar argumentasi: banyak anak-anak yang dibuang dan ditelantarkan, diadopsi sehingga mereka berhak untuk mengetahui asal usulnya.
Sebagai homo ludens, mahluk yang bermain, manusia khususnya anak membutuhkan ruang bebas untuk mengeskpresikan diri. Ruang atau taman bermain untuk anak dan remaja merupakan kebutuhan penting yang memiliki fungsi rohani mengekspresikan emosi dan menyalurkan agresi secara positif untuk mencegah kriminalitas anak. Sayangnya, ruang atau taman seperti ini begitu minim disediakan pemerintah.
Akses yang tak kalah penting dan harus jelas dan tegas dalam Ranperda ini yaitu teknis mendapatkan akses dana untuk upaya perlindungan anak. Selama ini administrasi yang menjelimet dan sistem koordinasi yang tidak jelas dirasakan merugikan berbagai organisasi perlindungan anak.
Masyarakat juga membutuhkan shelter atau rumah perlindungan anak. Konsep yang dipahami pihak kepolisian dan aktivis perlindungan anak menganggap bahwa pembangunan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) merupakan shelter bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Sayangnya dalam pandangan dinas sosial, RPSA ini bukan panti untuk tempat tinggal anak dan tempat ini hanyalah untuk berkonsultasi. Perbedaan persepsi ini jika tidak dikomunikasikan tentu menimbulkan polemik.
Prematur
Staf ahli yang ditunjuk anggota dewan legislatif untuk membantu merancang Perda Perlindungan Anak ini perlu memahami, bahwa konten Ranperda tidaklah sama dengan konten dalam Undang-Undang yang cenderung merupakan generalisasi masalah dan bersifat normatif. Ranperda ini masih begitu prematur untuk dipaksakan menjadi Perda karena berbagai masukan stakeholder belum terakomodasikan di dalamnya.
Ranperda Perlindungan Anak ini harus benar-benar menyentuh kehidupan, mendekati realitas kehidupan sosial anak Bali. Sehingga, jika Ranperda ini dipaksakan untuk disahkan menjadi Perda sebelum pemilu dengan mengabaikan pandangan stakeholder, merupakan praktik kekerasan simbolik dari panitia khusus dewan legislatif yang terlibat dalam Ranperda ini, yang harusnya berpihak pada rakyat.
Tentu para stakeholder tidak berharap hasil pembahasan Ranperda hanya akan menghasilkan wacana hipersemiotik dimana Perda yang nantinya diproduksi dan didistribusikan tak lebih sekedar menjadi “piagam” yang tidak dapat digunakan sebagai instrumen penegakan hukum bagi perlindungan anak.
Intinya, Ranperda sebaiknya jangan dijadikan instrumen politik dan dijadikan sebagai trajektori kesuksesan kinerja anggota dewan legilatif sebelum realitas kebutuhan anak benar-benar dijadikan dasar penyusunan Ranperda ini. [b]
Tulisan dari blog Gayatri Mantra.