Nicolaus Copernicus mengubah pandangan dunia enam abad silam.
Pada 1543, ilmuwan Polandia itu mengeluarkan teori heliocentris. Matematikawan dan astronom yang lahir pada 19 Februari 1473 itu mengatakan bahwa Matahari adalah pusat tata surya, bukan Bumi.
Teori itu menggantikan anggapan yang sudah telanjur mengakar di kalangan ilmuwan abad pertengahan bahwa Bumi adalah pusat tata surya, geosentris.
Meskipun sempat ditentang ilmuwan lain dan kelompok agamawan, temuan Copernicus terbukti benar. Matahari adalah pusat tata surya, bukan Bumi.
Hingga sekarang, dia pun dianggap sebagai Bapak Astronomi Modern dengan penemuan terbesar sepanjang sejarah astronomi. Dia telah mengubah cara pandang manusia terhadap tata surya.
Penemuan ilmuwan bernama asli Mikolaj Kopernik, menginspirasi warga Polandia lainnya, Ewa Wojkowska untuk melakukan hal sama, mengubah cara pandang orang terhadap teknologi. “Kami ingin membawa ide baru untuk mengatasi masalah kemiskinan melalui teknologi,” katanya.
Pada 19 Februari 2010, bersama Toshi Nakamura, suaminya yang berdarah Jepang, dia mendirikan Kopernik di New York. Lembaga ini bergerak di bidang teknologi ramah lingkungan untuk kelompok miskin di pedesaan.
“Untuk menghormati Kopernikus, kami menggunakan nama Kopernik untuk usaha kami,” kata Ewa.
Mengubah
Sebelum mendirikan Kopernik, Ewa pernah bekerja di PBB dan Bank Dunia. Dia pernah bekerja di Timor Leste, Sierra Leone, Thailand, dan Indonesia. Dia bertemu Toshi saat mereka bekerja di Jakarta.
Toshi, Master of Science (MSc) lulusan London School of Economic Political Science yang pernah bekerja juga di PBB di Timor Leste, Indonesia, Sierra Leone, Swiss, dan Amerika Serikat. Fokus kerja Ewa dan Toshi pada pemberdayaan kelompok rentan dan terpinggirkan. Hal yang membuat mereka dekat dengan isu pemberdayaan.
Pengalaman sebagai pekerja isu pembangunan mengajarkan kepada sepasang suami istri tentang tantangan-tantangan klise di Indonesia: pendidikan, pangan, dan ekonomi. Seperti Kopernikus, mereka ingin mengubah perspektif banyak.
“Kenapa ingin memulainya dengan teknologi ramah lingkungan bagi mereka,” kata Ewa awal Juni lalu.
Kopernik memiliki empat status legal yaitu Kopernik Global yang berkantor di New York, Kopernik Jepang sebagai perusahaan di Jepang, serta Yayasan Kopernik dan PT Kopernik yang berkantor pusat di Ubud, Bali.
Saat ini Ewa menjadi Chief Operating Officer (COO) sedangkan Toshi sebagai Chief Executive Officer (CEO). Mereka memimpin 74 staf yang bekerja di lima provinsi yaitu Aceh, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam Yayasan Kopernik yang berkantor di Bali, Ewa dan Toshi menjadi advisor. Adapun dua nama tokoh populer di Dewan dewan di Rezal Kusumaatmadja, Tri Mumpuni, Andy Pradjaputra, dan Aji Hermawan.
Efektif
Ewa dan Toshi menggunakan teknologi untuk menjawab tantangan itu. “Teknologi menjadi alat efektif karena dampaknya langsung terasa,” kata Ewa.
Mereka memulai dengan teknologi sederhana, filter air bermerek Nazava. Alat ini berupa ember plastik transparan dua tingkat dilengkapi penyaring air di bagian tengah.
Menggunakan alat ini, pengguna tinggal memasukkan air kran, sumur, atau hujan dengan hasil akhir air bersih siap minum. Teknologi ini termasuk murah dan praktis karena harga berkisar Rp 260.000 hingga Rp 350.000.
“Dengan alat ini, keluarga miskin tidak perlu lagi membeli air minum atau memasak air untuk konsumsi sehari-hari,” kata Ewa.
Selain filter air, Kopernik juga menjual kompor Prime yang berbahan bakar biomassa padat, seperti kayu, arang, dan batubara. Ewa menyatakan alat ini ramah lingkungan karena bisa menghemat bahan bakar hingga 80 persen dan asapnya lebih sedikit.
Kopernik juga mengenalkan lampu tenaga surya dengan beragam desain dan harga.
Dari merek d.light S20 seharga Rp 200.000 hingga model untuk satu rumah seharga Rp 1,5 juta. Selain menyediakan energi untuk rumah-rumah di desa-desa pedalaman yang belum tersentuh listrik, alat ini juga mengurangi beban keluarga untuk membeli lilin atau minyak tanah untuk lampu.
Pihak Lain
Kopernik tidak membuat sendiri teknologi sederhana itu. Mereka membeli dari pihak lain, seperti PT Holland for Water yang berbasis di Bandung untuk filter air dan PT Prime Cookstoves Indonesia untuk kompor.
Untuk lampu bertenaga surya merek d.light, mereka mengimpor dari China meskipun produk ini juga diproduksi di Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Serikat. Mereka mendapatkan semua produk itu dari sekitar 40 suplaier di seluruh dunia.
Kopernik bekerja melalui tiga cara yaitu mencari, menyalurkan dan investasi ulang. Pertama, mereka mencari teknologi-teknologi murah dan ramah lingkungan, mengenalkan, lalu mengkaji ulang bagaimana dampak penggunaan teknologi tersebut.
Kedua, mereka membiayai pengiriman produk ke lokasi-lokasi terpencil. Warga bisa membeli secara tunai ataupun kredit.
Ketiga, membayar ke produsen teknologi dan memberi umpan balik terkait dampak penggunaan teknologi tersebut.
Pada awal berdirinya, Kopernik menjual produk-produk itu di showroom, pameran teknologi, dan door to door oleh staf di lapangan. Namun, sejak empat tahun lalu, Kopernik juga menggunakan ibu-ibu sebagai “agen pemasaran dan perubahan” untuk mengenalkan produk-produk murah dan ramah lingkungan itu melalui program Ibu Inspirasi.
“Perempuan sangat efektif sebagai agen untuk mengenalkan teknologi bersih dan murah,” kata Ewa.
Percaya Diri
Saat ini ada 372 Ibu Inspirasi di tiga provinsi telah bergabung dan mempromosikan teknologi dari Kopernik kepada komunitas masing-masing. “Dengan menjadi Ibu Inspirasi, mereka bisa meningkatkan pendapatan sekaligus kepercayaan dirinya,” kata Ewa.
Di Bojonegoro dan Tuban, Jawa Timur serta Aceh Utara, NAD, Kopernik bekerja sama dengan Exxon mengajak ibu-ibu untuk mempromosikan alat-alat yang dijual Kopernik ke ibu-ibu lainnya.
Dalam Laporan Tahunan 2015, Kopernik menyatakan anggota Ibu Inspirasi mampu meningkatkan pendapatan hingga 64 persen. Dari sisi jangkauan, sebanyak 197.584 orang di daerah-daerah miskin kini bisa menikmati hidup yang lebih baik dengan teknologi yang disediakan Kopernik.
Pada tahun yang sama, mereka telah mendistribusikan 27.197 teknologi meliputi lampu tenaga surya, perangkat listrik rumah, filter air, kompor ramah lingkungan, peralatan melahirkan, dan permainan.
Dari modal awal sebesar $100.000, pada tahun 2015 lalu mereka mengelola dana hingga $2.709.363 yang diperoleh dari donasi dan hibah $1.597.067 dan penjualan maupun konsultansi $1.112.296.
Kantor mereka di Ubud sampai sekarang juga masih menjadi ruang pamer sekaligus toko bagi ribuan produk murah dan ramah lingkungan.
Meluaskan
Sebagai organisasi non-profit, Kopernik masih bergantung pada hibah dari lembaga donor. Sebagian pemasukan berasal dari corporate sustainable relationship (CSR). Lembaga donor ataupun perusahaan yang memberikan grant dan CSR antara lain Ashoka, Asia Society, Ford Foundation, JP Morgan, Philips, SIDA, Panasonic, dan lain-lain.
“Kita memerlukan kombinasi antara filantropi dan bisnis agar teknologi bisa diakses oleh warga miskin dan rentan secara mudah dan murah,” kata Ewa.
Saat ini, Kopernik ingin meluaskan ke isu lain yaitu pertanian dengan menyediakan alat pengolaha pertanian, seperti mete, kakao, sorghum, kemiri, dan jagung. Semua alat itu prinsipnya tetap sama: murah, terjangkau, dan ramah lingkungan.
“Kami juga ingin bekerja dengan lebih banyak perusahaan di dalam negeri karena banyak perusahaan di Indonesia yang memproduksi alat-alat bagus,” kata Ewa. [b]