Manusia Bali sangat mudah “didamaikan” dengan wacana kebalian.
Wacana diskriminasi “penduduk asli” dan “pendatang” sering kali menjadi alibi jika terjadi kekacauan di pulau ini terutama pascatragedi Bom Bali. Proses konstruksi bali-nitas atau sifat kebalian ini sering dilakukan oleh elite politik dan elit aparatur negara.
Gangguan sosial yang sering berlandaskan kesulitan ekonomi seperti pencopetan, pencurian, perampokan, konflik antarkelompok selalu dijawab dengan wacana diskriminasi. Misalnya menyatakan bahwa pelaku merupakan orang luar Bali atau mewacanakan kembali konsep nyama-braya dan fokus untuk “cari makan” atau “tusing ngemak gae lebih”. Sementara, proses “cari makan” antar-individu sering kali dilandasi siapa memanfaatkan siapa.
Kenyamanan dalam glamour pundi pariwisata ditambah konstruksi perihal sifat manusia Bali membuat penduduk pulau ini terlena dalam pembangunan-pembangunan pariwisata tidak berkeadilan, serta tekanan penguasa pada kepentingan kolektif rakyat kecil di zona rural dan non-SARBAGITA. Manusia Bali seakan diajak apolitis, sikap kritis akan dilihat sebagai “gangguan”, tidak mencirikan orang Bali yang damai dan ulet bekerja.
Di tengah situasi matinya pariwisata dan rencana pelaksanaan pilkada, situasi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja yang berlangsung pada 8 Oktober 2020 di Bali merupakan salah satu titik tolak terkini semangat kritis manusia Bali setelah sekian lama hidup dalam “kemakmuran” pariwisata. Akademisi, organisasi profesi, rakyat dan mahasiswa turun ke jalan menolak undang-undang yang dinilai absurd, menumbuhkan pembangunan yang tidak adil, menghilangkan aspek keberlangsungan lingkungan dan aspek-aspek merugikan lainnya.
Namun, ketika semangat kritis dan proses penyadaran terhadap ketidakadilan sedang tumbuh –lagi-lagi—dibelokkan dengan wacana diskriminasi dan konstruksi sifat ala Bali. Kapolda Bali, Petrus Reinhard Golose menyebut gerakan #BaliTidakDiam dinisiasi oleh mahasiswa dan non-mahasiswa, yang banyak di antara mereka, “bukan orang Bali”.
Kemudian konflik fisik yang melibatkan polisi dan mahasiswa disebut “bukan tipikal mahasiswa-mahasiswa Bali”. Pola konstruksi bali-nitas yang selalu diulang-ulang adalah usaha banal para elite lokal menenangkan dan tidak mau mengakui bahwa kekacauan tersebut berasal dari keresahan rakyat, akademisi, organisasi profesi, & mahasiswa yang bersifat lokal. Pernyataan ini cukup ironi, seorang non-Bali, seakan memahami sifat-sifat bali-nitas, mengonstruksikan, dan mendikte.
Kasus seperti di atas menunjukkan manusia Bali sangat mudah “didamaikan” dengan wacana kebalian/bali-nitas, tentang perihal menjadi seorang Bali yang “benar” dan “cinta damai”. Manuver seperti ini sangat mengkhianati perjuangan kegelisahan kelas bawah dan sikap kritis masyarakat dengan cara membungkam mereka dengan mendoktrin kelas menengah yang “damai” berperilaku “benar” sesuai konstruksi wacana bali-nitas elit-elit.
Sindrom pascabom Bali ini seharusnya perlu disembuhkan jika benar-benar ingin menjadikan Bali representasi Pancasila dalam konteks nasional, seperti harapan para politikus daerah. [b]
situs mahjong