BTR adalah gerakan yang belum pernah ada di belahan dunia mana pun.
Salah seorang teman dari luar daerah berseloroh demikian. Ungkapan hiperbolik itu datang tentu setelah dia mempelajari tentang gerakan dan juga melihat saya sering ikut aksi.
Dia mengatakan demikian karena gerakan Bali Tolak Reklamasi (BTR), di bawah bendera Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) dan Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi, bisa bertahan selama empat tahun, cenderung membesar dan yang unik, self funded.
Saya sendiri mengamini pernyataan teman itu. Ada beberapa hal yang bisa saya amati terkait pernyataan teman saya itu. Bahwa dalam gerakan BTR ada pertemanan, solidaritas, dan kreativitas.
Dalam gerakan BTR ada pertemanan, solidaritas, dan kreativitas.
Pertemanan
Sebelum saya ikut di gerakan BTR, saya tidak banyak mempunyai teman. Namun setelah ikut gerakan ini, teman saya sekarang ada di berbagai daerah di Bali, yang sama sekali tidak saya kenal sebelumnya.
Yang saya rasakan, pertemanan di gerakan BTR kadang-kadang melebihi keakraban dengan saudara sendiri. Dengan saudara sendiri sering kali kita malah berantem. Kalau bukan karena warisan, bisa juga karena saling iri karena perbedaan status ekonomi ataupun sosial.
Hal ini tidak saya temukan di gerakan tolak reklamasi. Persaudaraan kami di gerakan sangat kental karena memang memiliki misi sama, yakni bagaimana Teluk Benoa jangan sampai direklamasi.
Solidaritas
Solidaritas yang saya maksudkan dalam hal ini adalah ketika ada teman atau komunitas mengadakan acara, maka kami akan menyediakan waktu untuk bisa datang. Acara yang saya maksudkan misalnya adalah konser mini, pemasangan baliho, pembuatan dan pemasangan bendera, bersih pantai ataupun acara yang sifatnya penggalian dana seperti konser mini atau bazaar, misalnya.
Dalam sekup yang lebih informal misalnya bagaimana seorang kawan pernah mengundang teman-teman BTR lain pada acara tiga bulanan anaknya atau pun acara pernikahan. Yang sangat kentara sekali adalah ketika ada di antara kawan kami yang memiliki usaha warung makan, maka kawan-kawan lain akan berusaha menyediakan waktu untuk bisa mampir menikmati makanan di warung milik kawan kami.
Dalam hal ini jarak tidak menjadi halangan. Artinya bahwa kawan-kawan di BTR akan selalu berusaha mendukung kawan-kawannya yang memiliki usaha.
Kreativitas
Gerakan BTR juga telah menggugah kreativitas mereka yang berada di dalamnya. Di luar baju BTR yang sudah ada dan kaos dari masing-masing desa pekraman BTR, ada kawan-kawan yang menciptakan lagu, membuat puisi, kartun, kamen, serta atribut-atribut unik lainnya.
Saya sendiri sudah membuat udeng, saput, dan tas. Bahkan yang terakhir saya mendesain sebuah kaos yang cukup diapreasiasi oleh kawan-kawan BTR.
Saya pribadi terdorong begitu saja untuk membuat pernik-pernik aksi tersebut tanpa ada yang menyuruh. Gagasan itu muncul begitu saja seiring dengan keikutsertaan saya dalam gerakan ini. Saya masih ingat bagaimana saya memakai udeng ForBALI untuk pertama kalinya sewaktu deklarasi desa adat Kesiman (Minggu, 12 Juni 2016) yang kemudian diikuti oleh sejumlah kawan BTR lainnya.
Terkait atribut ini, bahkan salah seorang kawan kami khusus menulis perihal atribut ini.
Atribut-atribut yang saya bikin tidak bertujuan supaya dianggap eksis, ataupun agar mendapat sanjungan. Tujuan saya adalah bisa menginspirasi yang lain agar tetap menjaga semangat gerakan. Sebab, saya yakin lewat atribut maupun pernik aksi, semangat ataupun kecintaan tehadap gerakan bisa tetap terawat.
Sebagaimana saya terharu melihat bendera ForBALI dan Pasubayan yang berkibar maupun melihat baliho BTR ketika melintas di jalan di sejumlah lokasi di Bali.
Satu hal yang saya bisa amati dari gerakan BTR adalah bahwa selalu ada orang-orang baru yang bergabung sehingga gerakan menjadi kian besar. Walaupun tak bergabung dari awal, saya bisa melihat bagaimana sejak saya bergabung jumlahnya terus bertambah.
Dari cuma ratusan, menjadi ribuan, bahkan diperkirakan menjadi puluhan ribu. Ini sejalan dengan semakin banyaknya desa adat yang bergabung. Saat ini sudah mencapai 39 desa adat tergabung dalam PASUBAYAN.
Bergabungnya desa adat seolah menjadi semacam ‘legalitas’ yang semakin membuat gerakan ini kian kuat karena memang ‘benteng terakhir’ di Bali adalah masyarakat adat.
Kutil Gerakan
Empat tahun perjalanan gerakan ini benar-benar menguji konsistensi para ‘pejuang’ yang tergabung di dalamnya. Di samping mereka yang memang ‘militan’, saya melihat ada kawan-kawan yang di awal-awal sering muncul, kemudian tidak pernah terlihat lagi. Ada yang muncul sebentar, kemudian lenyap seperti ditelan rimba.
Perkembangan yang terakhir, ada yang sangat getol sekali, tiba-tiba kemudian malah disinyalir menjadi ‘kutil’ atau ‘berkhianat’ terhadap gerakan.
Perlu penelitian khusus mungkin untuk mengetahui alasan mereka keluar dari gerakan. Namun berdasarkan pengamatan saya, ada yang sekadar ikut-ikutan biar tampak eksis, karena memang dalam gerakan ini ada sejumlah musisi kondang Bali yang tergabung. Mereka sering diajak untuk berfoto-foto untuk sekedar numpang tenar, barangkali.
Ada juga yang memang karena merasa jenuh. Jenuh karena memang perjalanan gerakan ini sangat panjang. Jika ‘militansi’ seseorang rendah, maka yang bersangkutan akan mudah sekali ‘menguap’. Kemungkinan ada yang memiliki kepentingan atau agenda khusus, namun karena agenda mereka tidak tercapai, akhirnya menghilang dari gerakan.
Di samping itu, dalam hemat saya adalah, ada di antara mereka yang berharap mendapat reward ataupun pujian karena telah merasa ikut berkorban ataupun berjuang. Namun, ketika penghargaan itu tidak datang, semangatnya menjadi redup.
Penyebab lain adalah karena banyak yang tidak tahan mengalami korban perasaan, karena seperti sering dialami banyak kawan-kawan BTR. Mereka mesti menghadapi cemohan kaum nyinyir yang memang tidak memahami gerakan BTR.
Perkembangan terakhir ada segelintir orang yang disinyalir menjadi ‘duri’. Mereka cenderung menggerogoti gerakan sehingga mesti ‘dikeluarkan’ dari gerakan.
Dengan demikian, memahami sebuah proses dalam sebuah gerakan sangatlah penting. Bagaimana gerakan dibangun dengan susah payah sehingga menjadi besar. Garis komando pimpinan tertinggi mesti menjadi pegangan. Dengan demikian apapun hambatan atau kendala tidak akan menyebabkan loyalitas dan komitmen mereka melemah. Apalagi kemudian berbalik menjelek-jelekkan gerakan yang justru memperlemah gerakan.
Jika tetap konsisten didasari keikhlasan dan pemahaman kuat akan tujuan gerakan, orang yang ikut gerakan BTR akan bisa bertahan.
Apapun penyebab mereka tidak tergabung lagi dalam gerakan, satu hal yang menjadi benang merah adalah bahwa konsistensi dalam gerakan itu sangat penting. Konsistensi bisa terawat jika seseorang memang memahami betul esensi dari gerakan ini, yakni bagaimana agar Teluk Benoa tidak sampai direklamasi.
Dalam pandangan saya, saat ini Teluk Benoa adalah simbul ketahanan Bali. Artinya kalau Teluk Benoa sampai direklamasi sehingga menimbulkan dampak-dampak negatif seperti sudah banyak dibahas, maka kawasan-kawasan lainnya tinggal menunggu waktu saja untuk dikuasai demi tujuan komersial semata.
Kata kunci dari konsisten adalah ikhlas. Sebab sudah banyak diketahui, gerakan ini bukan partai politik atau semacam lembaga lainnya yang menyediakan kedudukan yang bisa menjadi semacam sumber ekonomi maupun politik bagi mereka yang tergabung di dalamnya. Ikhlas berkorban materi, tenaga, maupun waktu, bahkan perasaan (karena sering mendapat cibiran dari kaum nyinyir).
Jika tetap bisa konsisten yang didasari oleh keikhlasan dan pemahaman kuat akan tujuan gerakan, seseorang yang tergabung dalam gerakan BTR akan bisa bertahan. Tidak masalah seberapa panjang perjalanan gerakan ini, hingga Teluk Benoa memang benar-benar aman dari rencana busuk reklamasi. [b]