Seniman pun menyikapi kerusakan lingkungan.
Komunitas Nitirupa menyampaikan sikap melalui karya rupa dalam pameran seni bertajuk Nitibumi di Bentara Budaya Bali (BBB). Mereka berharap pameran ini menjadi ruang penyadaran untuk selalu ingat menjaga harmoni kehidupan di bumi.
Ada 12 seniman anggota Komunitas Nitirupa. Mereka adalah Wayan Redika, Made Wiradana, Made Supena, Loka Suara, Teja Astawa, Imam Nurofiq, Galung Wiratmaja, Nyoman Sujana Kenyem, Made Gunwan, Uuk Paramahita, I Putu Bambang Juliarta dan Pande Alit Wijaya Suta.
Ke-12 seniman ini menampilkan 24 karya dengan berbagai ragam konsep, gaya, dan penyajian. Ada pula dua karya seni trimatra karya Nyoman Sujana Kenyem dan Imam Nurofiq.
Secara bebas mereka mengusung problematik lingkungan mulai dari galian C, tata ruang, perambahan hutan, alih fungsi lahan, ketidakharmonisan skala-niskala, politik kebijakan, hingga isu terkini tolak reklamasi Teluk Benoa. Karya-karya ini menjadi semacam ‘petisi sunyi’ seniman terhadap kerusakan lingkungan yang mendera berbagai wilayah.
Redika, koordinator Komunitas Nitirupa mengatakan, selain untuk mendorong kreativitas perupaan, mereka juga ingin mendukung para pegiat yang telah lama berjuang untuk lingkungan.
“Kami sekaligus ingin menggelitik para pemangku kebijakan untuk serius menangani keberlangsungan lingkunganbagi generasi mendatang melalui regulasi yang tegas dan memihak rakyat,” kata Redika.
Dalam upacara pembukaan yang dibuka pecinta dan kolektor seni Zainal Tayeb, Komunitas Nitirupa berkolaborasi dengan penari kontemporer Jasmine Okuno dan Dibal Ranuh serta band MANU untuk merespons tema pameran.
Sebuah komposisi musik dan tari pun disuguhkan dalam pembukaan, Jumat, 3 Juni 2016, pukul 18.30 wita di Bentara Budaya Bali, Jl Bypass Ida Bagus Mantra, Ketewel, Gianyar.
Kurator I Wayan Seriyoga Parta mengatakan interpretasi atas judul pameran Nitibumi berlatarkan pada refleksi atas kondisi bumi tempat manusia dan berbagai entitas kehidupan bersandar tumbuh dan berdinamika. Persoalan alam berupa kerusakan, bencana, juga tidak dapat dilepaskan dari ulah serta perilaku, ambisi dan keserakahan manusia.
Sederet pertanyaan pun seolah mengemuka: Bagaimana jadinya ketika sebuah tema, terlebih lagi tema besar yang menyangkut alam dan manusia di dalamnya, diterjemahkan dalam karya yang bersifat subjektif? Bagaimana kolerasi antara karya satu seniman dengan yang laindalam konstelasi representasi bersama di dalam pameran?
Komunitas Nitirupa menerjemahkan kegelisahan terhadap persoalan alam dan lingkungan itu melalui karya seni rupa. Mereka membuat tafsir terhadap persoalan-persoalan terkait tema melalui persepsinya masing-masing yang diwujudkan dalam bentuk intepretasi rupa.
Para seniman bersiasat melalui eksplorasi rupa dengan memanfaatkan elemen-elemen yang diambil dari realitas sekitar diolah secara bebas.
Yoga menambahkan, alih-alih membincangkan isi dan makna atau bahkan konteks dari karya dalam pameran ini, pembahasan lebih memilih membicarakan perihal pertanyaan bagaimana seniman mengungkapkan ide dan pemikirannya mengenai tema dalam wujud rupa. Dalam proses perwujudan tersebut, seniman sesungguhnya tengah mengupayakannya melalui langkah strategis yang berdimensi ”politis”.
Politik representasi yang diupayakan seniman dalam bentuk representasi karya, lanjut Yoga, jelas memiliki tujuan yakni membagikan penghayatan subjektif dari pandangan dunianya kepada subjek-subjek yang lain. Ia berharap pesan pameran ini bisa menyentuh ke khalayak luas.
“Setidaknya menumbuhkan harapan bersama, diawali melalui mata, kemudian menyentuh rasa, dan pada akhirnya juga menyentuh logika pikiran,” katanya.
Warih Wisatsana dari BBB mengatakan karya-karya dalam pameran ini tidak semata bersitegang dengan capaian estetik atau melulu menghadirkan gagasan hingga terbebani oleh timbunan pesan, melainkan semacam upaya sublimasi atau upaya perenungan. Kita juga dapat meresapi bagaimana tema disikapi dan dikritisi, serta sekaligus upaya masing-masing kreator untuk menemukan satu kesegaran visual, terbebas dari kungkungan pengulangan bentuk masing-masing.
“Wujud kepedulian dan sikap kritis mereka tidak tergelincir menjadi semacam pernyataan verbal, gugatan heroik permukaan, atau luapan ekspresi provokatif. Jauh dari nada agitatif, karya-karya mereka mengejutkan kita justru karena sebagian tampil mengedepankan deformasi bentuk; berlapis rupa dan makna,” katanya.
Terkait pameran ini, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia, pada Minggu, 5 Juni 2016 pukul 18.30 wita akan digelar Diskusi Nitibumi yang menghadirkan narasumber kurator I Wayan Seriyoga Parta dan penekun sastra & kebudayaan Wayan Westa. [b]