Dua komposer gamelan baru akan unjuk komposisi terbarunya.
I Wayan Sudirana (Ubud) akan tampil bersama Sanggar Cenik Wayah dan Sang Nyoman Arsawijaya (Denpasar) bersama Gamelan Wrdhi Swaram di Bentara Budaya Bali dalam acara bertajuk ‘Komponis Kini.
Pertunjukan akan dilaksanakan pada Jumat (24/6).
I Wayan Sudirana adalah komposer muda yang sudah tidak asing dalam percaturan musik baru untuk gamelan Bali. Bersama Sanggar Cenik Wayah, lelaki kelahiran Ubud, 31 Mei 1980 ini telah beberapa kali mementaskan komposisi gamelan baru yang diciptakannya di panggung Bentara Budaya Bali, antara lain dalam acara A Tribute to Gong Kebyar dan Bebarongan Baru.
Ia merupakan lulusan ISI Denpasar dan anggota pertama Sanggar Cudamani. Tidak hanya aktif berkarya di Bali, ia bahkan pernah menjadi “Artis in Residence” di University of British Columbia (UBC) dari 2004 sampai 2006. Sudirana melanjutkan studi pada jenjang pasca sarjana di Universitas tersebut. Gelar Master of Arts dalam bidang Ethnomusicologi diraihnya pada tahun 2009, dan Doctor of Philosophy dalam bidang Ethnomusikologi dari UBC pada tahun 2013.
Sementara komposer muda lainnya, yang juga kelahiran tahun 1980, Sang Nyoman Arsawijaya, telah bergabung dengan Triple 2 New Music For Gamelan serta merupakan direktur musik Gamelan Wrdhi Swaram. Ia telah menulis komposisi musik untuk Pesta Kesenian Bali sedari tahun 2004. Karyanya yang berjudul GERAUSCH (2005) bahkan mendapat apresiasi mendalam dari dalam dan luar negeri.
Berkat prestasi dan kreasi musik, ia sempat meraih Visiting Scholar di Unversity of Illinois at Urbana-Campaign (2000). Ia juga bergabung dalam Performing Lines sebagai pemain gamelan untuk “The Theft of Sita (2001).
Secara khusus, agenda ‘Komponis Kini’ ini dihadirkan juga sebagai A Tribute to Lotring. Tidak lain adalah sebuah penghargaan dan penghormatan mendalam kepada maestro gamelan yang karya-karyanya terbilang immortal. Lotring adalah sebuah fenomena, seorang seniman pelopor yang memberi sentuhan personal pada keberadaan seni gamelan Bali.
Musik bagi warga asal Banjar Tegal – Kuta kelahiran 1887 ini, bukan semata sebuah persembahan untuk memaknai upacara atau ritua-ritual tertentu, melainkan juga sebuah proses penciptaan dan penemuan diri yang menandai hadirnya kemodernan pada masa itu.
Lotring mulai mendalami gamelan dengan belajar tari Nandir di Puri Blahbatuh, Gianyar. Nandir inilah yang kelak menjadi legong, yang tari dan tabuh (ansambel musik) palegongannya kelak dipelajari Lotring dari Anak Agung Bagus Jelantik dari Saba, Sukawati pada tahun 1917.
Ia berkawan dekat dengan Colin McPhee, musikus kelahiran Kanada yang residensi di Bali serangkaian upaya eksplorasi kesenian yang dilakukannya. Pertemuan Lotring dengan Colin McPhee terjadi pada tahun 1932.
Lotring memang seorang maestro yang karya-karyanya menginspirasi hingga kini. Sedini masa itu, secara terbuka ia menyatakan dirinya sebagai seorang komposer laiknya sahabatnya, Colin McPhee. Ia adalah sosok seniman yang memperkenalkan ragam gamelan palegongan Liar Samas, yang kelak dikenal begitu masyhur di Bali.
Semangat pencarian dan penemuan diri Lotring itulah yang diharapkan menjadi spirit program ‘Komponis Kini’ di Bentara Budaya Bali, sekaligus sebuah ajang bagi komponis-komponis new gamelan untuk mengekspresikan capaian-capaian terkininya yang mencerminkan kesungguhan pencarian kreatifnya.
Selain menampilkan pertunjukan musik, acara juga akan diperkaya dengan timbang pandang atau dialog bersama para komposer bersangkutan; sebentuk pertanggungjawaban penciptaan.
“Komponis Kini’ merupakan sebuah program yang direncanakan berlangsung berkala setiap bulan dan menghadirkan seniman-seniman terpilih. Melalui program ini, para komposer bukan hanya menghadirkan kreasinya sendiri, melainkan juga menampilkan suatu garapan musik karya-karya klasik dari para maestro terdahulu. Sebagai kurator program ini adalah Wayan Gde Yudane, Dewa Alit dan I Wayan Sudirana.
“Pogram ini adalah sebuah upaya re-formasi, memberi format dan pemaknaan baru (re-interpretasi) terhadap gending-gending yang tergolong klasik atau yang sudah ada, sekaligus melakukan penciptaan (re-kreatif) yang (sama sekali) baru. Ini merupakan buah respon perenungan yang panjang atas perjalanan ragam seni ini,“ ungkap Wayan Gde Yudane.
Maka yang dikedepankan bukan semata sebuah upaya konservasi, namun juga eksplorasi yang lebih mendalam terhadap ragam komposisi musikal ini; sebuah penciptaan baru melampaui kebakuan serta tetap merefleksikan makna filosofis tertentu.
Menurut Juwitta Lasut, penata program Bentara Budaya Bali, agenda ini sesungguhnya sejalan dengan upaya Bentara Budaya untuk melakukan transfer of knowledge atau perluasan pengetahuan bagi publik.
“Upaya terencana dan berkelanjutan ini diniatkan bukan saja untuk memberikan pencerahan, namun juga berbagi apresiasi agar masyarakat turut merayakan bentuk-bentuk kesenian yang lahir dari ekspresi kekinian dengan capaian artistik yang terpujikan serta bermutu tinggi,“ sebut Juwitta. [b]