
Sampai sekarang buku ini masih menyisakan perasaan ganjil ketika membaca kalimat terakhirnya.
Buku yang menurut saya benar-benar harus dirobek halaman terkahirnya, seperti dilakukan Dr. Who (diperankan Matt Smith) pada serial BBC, karena kekosongan yang didapat ketika membaca halaman terakhir buku ini. Jika sebagian orang berkata jangan menilai buku dari sampulnya atau sebagian lain merekomendasikan untuk menilai buku dari kalimat pembukanya, maka untuk buku ini, sebaiknya kamu nilai dengan membaca kalimat terakhirnya.
Buku ini sangat banyak membahas mengenai kesedihan. Bab awal pada novel ini bahkan dibuka oleh kekalahan Brazil oleh Perancis pada final Piala Dunia. Kekalahan yang banyak menyisakan luka pada penggemar sepakbola karena berharap begitu tinggi pada tim dengan julukan Jogo Bonito tersebut.
Bab mengenai kelahiran salah satu tokoh utama dalam buku ini juga begitu pilu. Bagaimana tidak, tokoh utama tersebut dilahirkan oleh seorang perempuan Portugis yang menunda kematiannya hanya untuk melahirkan seorang bayi. Yang paling mengenaskan tentu kisah Maria, seorang ibu yang anak dan suami yang dicintainya meninggal dunia dengan cara tragis.
Kisah tentang Maria begitu sedih mengingat negara rasa-rasanya belum pernah memberikan rasa keadalilan bagi orang-orang yang berurusan dengannya. Untuk mengambah pilu, pada akhir cerita mengenai Maria, sang karakter melakukan bunuh diri, seakan-akan jalan terbaik memang kembali.
Namun, bukan hanya tentang kesedihan yang meraung-raung. Nnnovel ini bahkan menyajikan komedi satrikal yang begitu tajam. Misalnya mengenai mengenaipandangan Am Siki mengenai negara, cerita tentang Linus Atonin Aloket dan ayahnya juga memberi beberapa anekdot mengenai keculasan para anak muda mengelabui orang tuanya ketika kuliah di luar daerah. Komedi menjadi bumbu sempurna dalam novel yang memenangi sayambara novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2018 ini.
Jika ditarik garis besarnya, novel ini sendiri berkisah tentang kehidupan masyarakat Oetimu, suatu wilayah pelosok di Nusa Tenggara Timur. Penggambaran yang begitu dekat mengenai keseharian orang-orang Oetimu memberikan pengalaman baik untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di daerah timur yang tidak begitu menarik di mata media.
Dengan latar sekitar tahun 1990an, keadaan mengenai Gereja, sopi (minuman keras hasil sulingan lontar), seks, Negara, dan kehadiran tentara membaur dalam kompleksitas cerita yang dibangun pada novel ini. Novel ini sendiri dibuat dengan alur maju mundur dengan fragmen-fragemen cerita yang berkaitan satu dengan yang lain. Karakter-karakter pada novel ini mempunyai peran-peran tersendiri seperti motif pada sebuah tenun yang pada akhirnya memberikan gambaran utuh pada cerita.
Menurut saya novel ini bisa menjadi bacaan yang menarik untuk mengisi waktu luang serta bisa menjadi bacaan bagus untuk mengnal lebih jauh kehidupan dan budaya masyarakat di timur Indonesia ini. Mengingat kita sudah terlalu banyak menyematkan sterotype-stereotype tidak begitu penting terhadap mereka. Hal-hal mengenai kesewenang-wenangan negara, pengkhianatan dan cinta serta sisi lain gereja juga merupakan poin menarik dalam karya ini.
Untuk menutup ulasan singkat mengenai novel ini, saya akan membubuhkan beberapa penggal kata yang Am Siki selalu ulangi, “Tidak boleh dibunuh sekalipun itu orang jahat, tidak boleh diperkosa sekalipun itu kuda.” [b]