raiartspace.org
Oleh: Hajriansyah*
Imajinasi merupakan sebuah dunia antara. Ia tidak “tepat” berada di sini, tapi ada dan menguasai benak setiap orang yang terus berkreasi. Ia muncul, timbul dan tenggelam dalam pikiran manusia; terkadang begitu riil, terkadang abstrak dan samar. Ibnu Arabi, seorang filsuf abad pertengahan, menyebutnya berada pada suatu dimensi yang disebut barzakh (dunia antara) atau ‘alam al-khayyal (dunia fantasi)—sebuah dunia, di mana obyek-obyek tertentu hadir secara “asing” (bias dan terdistorsi sedemikian rupa) dalam sebuah plot yang kadang tak beraturan namun mudah dikendalikan begitu seseorang menguasainya, yang berkaitan dengan spiritualitas transendental.
Ladang imajinasi terbentang dan digarap di antara sadar dan tak-sadar. Namun ia bukan mimpi, yang hanya datang saat kesadaran manusia hilang dalam tidur. Bentang imajinasi terus “dialami” dalam kreativitas manusia yang berterusan digali dan dikembangkan, dalam keadaan sadar dan terjaga, sedemikian-sehingga ia terus bertransformasi dari satu bentuk ke bentuk lainnya, dari satu warna ke beragam warna, dari “rasa” tekstur tertentu ke tekstur lainnya yang lebih licin, kasar, maya; dan seterusnya, dan seterusnya….
Demikian imajinasi bagi seniman (baca: perupa), begitu beragam dan berwarna. Sejauh ia terus mencari dan menggali, imajinasi akan terus berke-liar-an dalam benak manusia. Sekali ia merasa cukup dan berhenti pada satu bentuk yang dirasa “selesai”, lalu dialirkan ke bawah—diwariskan atau seseorang mewarisinya, dilestarikan keberadaannya, ia kemudian menjadi tradisi.
Kebudayaan, peradaban manusia, adakalanya merasa perlu membatasi imajinasi. Sebuah komunitas, melalui adat-istiadatnya, norma yang mengikat anggotanya, membatasi “bentuk” imaji tertentu sebagai kesadaran kolektif yang terus diwariskan sebagai tradisi. Hal ini, dirasa, penting pula, mengingat bentang imajinasi manusia demikian tak terhingganya.
Tak semua orang mampu menjangkau dan menjaga kesadaran-terdalamnya, atau panorama kekayaan alam yang melingkupinya, secara jernih dan reflektif. Bagi komunitas/masyarakat, membatasi dan mewarisi imajinasi tertentu berarti menjaga komunitas dalam rasa aman, tenang, tenteram, dan ini begitu pentingnya. Tradisi, dengan demikian, berkepentingan untuk memberi “rasa” aman dan nyaman hidup bersama.
Komang Rai hidup dalam tradisi Bali yang sedemikian menjaga keseimbangan. Antara energi yang meledak-ledak dan lingkup alam yang damai saling mengambil tempat, menjaga jarak, dan “menguatkan” dalam kesadaran manusia Bali. Tuhan, alam dan manusia ditempatkan dalam kesadaran yang saling mengisi dan harus dihormati, dijaga, diberikan ruang (kehormatan) masing-masing sesuai tempatnya.
Energi positif-energi negatif, keduanya diapresiasi sebagai suatu dinamika pertumbuhan dari yang maya kepada nyata kepada maya lagi dan naik lebih tinggi lagi tingkatannya. Upacara dilaksanakan untuk Tuhan, alam, dan manusia sesuai daur hidupnya sedari lahir, tumbuh remaja, dewasa, dan mati.
Tradisi demikian adalah suatu hasil kecerdasan tempatan (local-genius), dari bagaimana mereka arif memandang kehidupan. Dan bukannya tanpa imajinasi. Bahkan semuanya
memerlukan imajinasi, pada sains, seni, tradisi. Tradisi tak melulu direpitisi, ia bertransformasi sedemikian rupa, bahkan kadang tanpa disadari para pelakunya, direproduksi seiring wawasan dan imajinasi para tokoh, opini yang berkembang, bahkan dari suatu kesadaran/perilaku yang nirmana (tanpa makna). Apakah Bali hari ini benar-benar seperti Bali 30, 50, 100 tahun yang lalu? Apa yang telah diberikan para perupa seperti Spies, Bonnet, Le Mayeur, Blanco, Smith, atau Nyoman Gunarsa yang belajar ke Jogja? Perubahan berjalan, bahkan secara pelan, tak terasa, dan nyaman.
Perubahan yang nyaman mengalir dalam tradisi, karena keseimbangan terus dijaga. Dengan apa? Salah satunya mungkin dengan menanamkan paradoks secara “nyata” dalam kesadaran manusia. Baik-buruk, jahat-benar, rusak-sempurna, kalah-menang, subur-kering, hidup-mati, yang semuanya lalu lalang dalam kesadaran manusia Bali, dapat dilihat, didengar, dirasakan, dan seterusnya diimajinasikan dalam kesadaran tradisi yang melekat seiring tumbuh kembang mereka. Paradoks diberi “tubuh”—dimanifestasikan secara nyata, diupacarai, saling dibenturkan lalu dinetralkan, diberi tempatnya masing-masing untuk bertumbuh, dihormati sebagai kesejatian yang terus ada dan berada.
Bali menjadi eksotik di mata asing. Bali kemudian dikunjungi, ditinggali, terus direproduksi dalam citraan tradisi yang eksotis, digambar dan diabadikan dalam berbagai citra yang indah dan menawan, terus dikunjungi dan diiklankan, dipenuhi turis, dan diledakkan! Namun demikian, citra terus dibangun dan makin dikuatkan, menawan dan menarik turis terus berdatangan, monumen ditegakkan sebagai pernyataan sikap dan penghormatan, eksoturisme terus berjalan seiring investasi yang terus makin banyak—naik dari pantai ke perbukitan, terus, dan terus… hingga datang pandemi! Bali hampir mati, kembali kepada dirinya—kesejatiannya.
Begitulah siklusnya sebagai daerah wisata. Sebagai penghasil seniman-seniman besar— dalam hal ini seni rupa atau lebih spesifik lagi seni lukis—bagaimana? Tentu saja, bakat dan latar tradisi yang telah dibangun sedari dini karena keuletan orang-orangnya, melahirkan banyak tokoh berpengaruh. Selain tokoh-tokoh di atas yang kemudian melahirkan murid- murid yang luar biasa, menjadi penjaga tradisi Pita Maha, Batuan, dll., generasi yang belajar ke Jogja mengukir namanya masing-masing. Sebut saja, pasca-Gunarsa, di antaranya, Sukari, Sukadana, Sutawijaya, Masriadi, dan masih banyak lagi yang berkilauan di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Mereka datang bak gelombang, yang begitu satu tenggelam lainnya menyambut dan naik tinggi ke permukaan. Di dalam mereka dikunjungi, di luar terus menyulam prada. Bali, seperti pernah dikatakan Faruk, terus dire-produksi! Lalu dari sudut pandang (bagai)mana kita melihat Rai hari ini?
Tak lama setelah menyelesaikan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Komang Rai pulang ke Bali pada tahun 2006. Ia sempat tinggal di Denpasar selama kurang lebih tujuh tahun, untuk kemudian memutuskan kembali ke tanah kelahiran Lembongan pada tahun 2013. Ia lahir di Lembongan, menyambut tradisi dari keluarganya—dari orang tua dan kakeknya. Dan ketika ke Jogja, “semua” (baca juga: sebagian) dari paradigma tradisi yang membentuknya berubah. Perubahan itu tentu saja berhubungan dengan cara kreatif; cara berpikir dan merespons alat/media (seni rupa), lebih-lebih terkait bagaimana membuat konsep rupa yang diterapkan dalam karya-karyanya. Perubahan itu termasuk dalam
bagaimana memandang tradisi sebagai khazanah yang dapat dieksplorasi, digali untuk kemudian diberi rupa baru ke dalam bentang kanvas-kanvasnya. Dengan demikian, jiwa tradisi itu tetap dipertahankan, menjadi benang merah yang menghubungkan masa lalu dan kekinian dalam satu ruang keniscayaan imajinasi.
Eksperimennya terkini banyak memanfaatkan media campuran di kanvas, seperti kertas daur-ulang, kertas koran, jeli tekstur, pensil, cat akrilik. Penggayaan (style)-nya, seperti dikatakannya, menyesuaikan dengan jiwa yang meledak-ledak, ingin perubahan, tak bisa jalan di tempat, harus maju….
“Hasilnya, pembuatan objek secara abnormal, terdeformasi, terdistorsi, pewarnaan mewakili spirit/kejiwaan/perasaan saya saat melukis: gelisah, emosi, kecewa, dan sedih. Tema tentang perdamaian, menyikapi perdamaian di dunia, bagaimana kita bersatu menyikapi sistem ekonomi, sosial, politik dan budaya. Di sini saya akan menyampaikan kemungkinan- kemungkinan itu dalam sebuah karya. Ia akan membawa persahabatan di dalam dunia ini. Dengan beberapa pewarnaan yang cenderung lebih soft-full color.”
Begitulah pernyataan Rai yang spontan, meledak-ledak, bersifat paradoks, dalam satu kesatuan “jiwa” (tradisi) Bali-nya. Pernyataan singkat dan cenderung absurd ini akan tampak lebih nyata ketika kita melihat beberapa karyanya, seperti pada (karya berjudul) Wedding dan Yoga—yang keduanya cenderung saling bertentangan. Yang pertama dilukis dengan isian warna-warna lembut-penuh warna (seperti dikatakannya sebelumnya), sedangkan yang kedua cenderung monokromatik, tampak seperti coretan (sketsa) di atas latar hitam. Yang pertama menggambarkan sepasang pengantin Bali, mewakili “jiwa” tradisinya. Yang kedua menggambarkan perempuan bule bertelanjang dada dengan “gaya” yoganya, bersisian, bertumpuk-tindihan dengan figur-figur dan coretan-coretan liar. Kedua lukisan ini disatukan oleh suatu obyek yang, di awal disebutnya, abnormal—terdeformasi, terdistorsi.
Lukisan-lukisan lainnya juga mewujudkan yang demikian, paradoksitas yang abnormal, yang selintas memanifestasikan “tradisi” dan di lain pihak menunjukkan suasana “global” dengan ungkapan/pernyataan melalui tulisan, figur, dan sejumlah tumpukan tak jelas lainnya.
Lalu perdamaian apa/bagaimana yang diharapkan dari sejumlah “kekacauan” imajiner demikian?
Ini seperti menyusun kepingan-kepingan mozaik, untuk “meluruskan” pandangan kita. Rai menyebut “kemungkinan-kemungkinan”, yang berarti kekayaan sudut pandang, beragam visualisasi absurd, yang mungkin bisa dimaknai ketika kita melihat lalu-lalang imajinasi di antara tradisi dan globalisasi. Sebagaimana paradoks mewakili suatu “dunia-nyata” Bali, ia harus dibenturkan, dinetralkan, lalu diselaraskan dalam kesatuan pandangan yang mewakili semesta Tuhan, alam, dan manusia. Dengan paradigma demikian, setidaknya ia diharapkan, mampu mengangkat pandangan kita naik lebih tinggi ke alam spiritual yang transendental. Begitu kita mampu melihat lebih tinggi, lebih jelas, kita mampu menghormati dan menempatkan setiap hal pada tempat sepantasnya, dan kedamaian akan diraih dalam jiwa manusia.
Mungkin begitu tawaran Rai.
*Hajriansyah, tinggal di Banjarmasin. Kuliah di MSD Yogyakarta, ISI Yogyakarta, dan lulus Strata Satu-nya di UST Yogyakarta. Melanjutkan S-2 di Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin, dan kini sedang berusaha menyelesaikan disertasi tentang kaligrafi-mistik di kampus yang sama. Selain menulis puisi, esai, cerpen, Hajri juga melukis dan menyelenggarakan beberapa pameran di Banjarmasin, Jogja dan Jakarta. Kini mengelola Kampung Buku Banjarmasin dan menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin.