Tak ada yang abadi selain kenangan. Dan foto mengabadikan kenangan itu.
Kenangan tersebut kini datang dari foto-foto karya Jean Demenni, fotografer pada masa kolonial Belanda. Karya-karya Jean dipamerkan di Rumah Topeng dan Wayang Setiadarma, Ubud.
Pembukaan pameran akan dilaksanakan pada Senin, 26 Mei 2014 pukul 5 sore. Pameran bertema Portrait of Life: Moves and Works, a collective memory of the past ini digelar hingga 26 Juni 2014 nanti.
Penyelenggara pameran adalah Kartini Collection. Sebelumnya, mereka telah memamerkan karya Jean Demenni melalui pameran Through Eyes of the Past pada Januari – Februari 2008 lalu di Jakarta. Jika pada pameran pertama fokus pada Jean, maka pameran kali ini lebih banyak menampilkan karya-karyanya.
Jean Demenni fotografer kelahiran Padang Panjang, Sumateri Barat pada akhir 1866. Ayahnya, Henri Demenni, warga Perancis yang bekerja untuk militer Belanda pada zaman itu.
Sejak menjadi fotografer pada 1894, setelah bergabung sebagai tentara, Jean bergabung dengan kelompok ilmuwan yang menjelajah Kalimantan. Karyanya hingga Perang Dunia II berakhir telah dipublikasikan di jurnal-jurnal ataupun buku pariwisata yang terbit di Belanda.
Jean menikah dengan Mas Sarinah, perempuan dari Desa Jamar, dekat Solo, Jawa Tengah. Dia meninggal di Bogor pada 1939, setahun setelah Peran Dunia Kedua mulai.
Sebagai orang Eropa yang lahir, besar, dan bahkan meninggal di Indonesia, Jean tak hanya melihat tapi juga memahami negeri ini dengan lensanya. Jean tak cuma ahli memotret tapi juga merekam wajah manusia, gerakan, dan ekspresi mereka.
Semua bisa dilihat dari 70 karya foto Jean yang dipamerkan di Rumah Topeng dan Wayang Setiadarma di Tegal Bingin, Ubud hingga sebulan ke depan.
Mona Lohanda, sejarawan dan kurator pameran, mengatakan pameran ini tak hanya untuk mengingatkan kehidupan ketika Indonesia masih menjadi negara jajahan tapi juga merevitalisasi banyak hal yang sekarang sudah telantar.
Secara tema, karya-karya hitam putih ini dibagi dalam tujuh tema yaitu The Sites, The Moves, The Works, The Artisans, The Schools, The Aristocrats and Colonial Bureaucracy, dan The Peopole and Faith. Masing-masing tema mencerminkan isi foto yang dipamerkan.
Dengan warna hitam putih, kesan tempo doeloe pada foto-foto ini langsung terasa. Tapi, yang lebih kuat justru pesan dalam tiap foto itu sendiri. Sangat menarik.
Good Lesson
Mari lihat pada bagian bertema The Sites. Ada 12 foto dari berbagai lokasi di Indonesia termasuk Kupang, Makassar, Kalimantan, Sumba, Jakarta, dan lain-lain. Tak melulu kota tapi juga desa-desa, misalnya di Garut, Jawa Barat atau Gunung Ijen, Jawa Timur.
Salah satu foto menarik pada bagian ini adalah suasana Kota Tua Jakarta. Foto ini memerlihatkan sungai di tengah kota dengan perahu-perahu melintas di airnya. Sungai terlihat hidup sebagai jalur transportasi lalu lintas pada masa itu.
Maka, benar apa yang disampaikan Mona Lohanda dalam kurasinya, “The past is a good lesson of wisdom and understanding.”
Pada masa lalu, kita bisa belajar bahwa dulunya, sungai menjadi jalur lalu lintas. Karena itu, sungai menjadi sesuatu yang ada di depan mata. Diperhatikan. Beda sekali dengan saat ini, di mana semua moda transportasi kota hanya berada di jalan raya. Sungai dilupakan, diabaikan, dan parahnya bahkan dicemarkan.
Melihat foto-foto Jean, kita juga bisa melihat kepedulian pemerintah kolonial pada kekayaan alam Indonesia saat itu, meskipun motifnya tentu saja untuk memperkaya para kompeni. Irigasi untuk pertanian dikelola dengan serius; penanaman pohon karet, kina, kopi, dan kakao dilaksanakan di pelosok desa; dan begitu pula dengan pengolahannya.
Semua mengingatkan tentang kekayaan negeri ini yang justru saat ini makin lama makin dilupakan.
Padahal, sejak zaman bahuela, orang-orang di pedalaman negeri ini pun telah memiliki teknologi sendiri. Ada, misalnya dalam bagian The Artisans, orang-orang sedang menenun di pedalaman Jawa Barat, membuat topi untuk pasar Eropa, ataupun orang-orang Aceh sedang bekerja sebagai tukang besi.
Gambaran masa lalu Indonesia juga bisa dilihat pada anak-anak yang belajar membaca Al-Quran, tari topeng du Istana Kutai, Kalimantan, pengadilan di Yogyakarta, warga menghadap raja di Bali, umat Kristen bersembahyang di gereja, dan lain-lain.
Semua foto Jean dalam pameran ini memperlihatkan Indonesia pada zaman kolonial dengan gambaran kurang lebih sama seperti sekarang: diberkati oleh kekayaan alam, keuletan manusia, serta keberagaman identitas warganya.
Jean, melalui foto-fotonya mengingatkan, sejak dulu kala negeri ini kaya. Namun, banyak yang tak menyadarinya.
Bali
Dalam karya-karya yang dipamerkan, terdapat pula beberapa foto tentang Bali meski cuma dua. Foto
Satu foto masuk dalam bagian The Aristocrats and Colonial Bureaucracy. Dalam foto ini, Jean memotret kepala daerah yang akan menghadap raja. Si kepala daerah ini dikawal empat orang, dua membawa senjata, satu membawa payung, dan satu lagi membawa semacam upeti.
Tidak jelas lokasi foto ini di mana. Begitu pula tahunnya.
Foto tentang Bali yang kedua menggambarkan pintu depan sebuah pura yang penuh ukiran. Terlihat pintu masuk pura, dari bentuk dan ukiran, kemungkinan besar pintu masuk utama mandala. Lagi-lagi tanpa tanggal dan lokasi pasti foto.
Inilah mungkin yang jadi catatan. Sebagian foto Jean dibiarkan tanpa lokasi dan tanggal yang jelas. Padahal, menarik juga kalau ada lokasi persisnya. Jadi, siapa tahu kapan-kapan saya bisa iseng main ke sana untuk membandingkan suasana saat itu dengan kondisi saat ini.
Biar tahu bagaimana perubahan terjadi selama ini, termasuk di Bali. [b]