Salam tiga jari itu digantikan kepalan tangan kiri.
Kepalan itu pula yang menyambut para musisi menyanyikan lirik-lirik mereka di panggung Festival Anti-Korupsi di Denpasar Sabtu malam kemarin.
Biasanya salam kepalan tangan kiri ini selalu ada di tengah-tengah aksi demonstrasi. Dalam momen-momen “sakral” demonstrasi, seperti salam sebelum orasi atau pernyataan sikap, kepalan tangan kiri adalah hal wajib. Kepalan tangan kiri adalah simbol solidaritas sekaligus pembelaan pada mereka yang ditindas.
Tapi, kali ini, kepalan tangan itu tak hanya di pinggir jalan di tengah orasi. Dia hadir memberikan roh di antara ingar bingar musik, di antara putaran moshing penonton, di antara kebyar-kebyar tata cahaya panggung. Kepalan tangan kiri seperti bara api yang membakar semangat malam itu.
Di atas panggung, para musisi yang sarat dengan lirik-lirik kritis, bukan menye-menye tentang cinta melulu, meneriakkan protes mereka. Geeksmile, sebagai pembuka, menyemburkan amarahnya lewat lagu-lagu seperti Mendobrak Dominasi, Street Junkie, dan Indonesia.
Tidak ada lagu romantis atau rayuan melankolis dalam lirik-lirik band yang cita suaranya sangat terasa Rage Against The Machine (RATM) ini. Semua sarat protes. Ini hanya salah satu contoh ketika mereka menyanyikan Mendobrak Dominasi: Aku menolak takdir yang kau hibahkan padaku. Nyalakan bara anti puritan. Ku lelah sadar dalam realitas. Biar pedih pun ku turut membalas. Teriakkan kemarahan.
Dan, mereka memang meneriakkan kemarahannya malam itu. Meski tampil sebagai pembuka dengan penonton yang masih puluhan orang, mereka toh tak kehabisan energi dan amarahnya tentang pengurus negara yang tak becus. Bayar bankirmu, bayar lontemu, bayar bandarmu, mati lagi..
Para musisi ini secara bergantian meneriakkan kemarahan mereka terhadap praktik korupsi.
Inisiatif untuk mengadakan konser dalam Festival Anti-Korupsi datang dari Gede Roby Supriyanto, vokalis Navicula yang juga koordinator festival ini. Maka, vokalis band yang juga aktif di gerakan urban farming dan pernah bekerja di lembaga lingkungan ini, pun mengorganisir para musisi untuk bersuara.
Selama ini, Navicula lebih dikenal sebagai band yang menyurakan perlunya penyelamatan lingkungan termasuk untuk orangutan. Namun, menurut Roby, setelah mereka ke Kalimantan untuk kampanye penyelamatan orangutan, mereka melihat fakta masalah terbesar di negeri ini, termasuk kerusakan lingkungan dan kemiskinan, adalah karena korupsi.
“Negara kita kaya raya tapi rakyatnya mati kelaparan karena pejabatnya korupsi. Karena itu, korupsi adalah musuh terbesar kita,” katanya di depan ratusan penonton malam itu.
Roby dan teman-temannya memilih musik sebagai media protes itu.
Kampanye
Festival Anti-Korupsi itu sendiri merupakan kampanye nasional dari ICW. Menurut Selly Martini, Wakil Koordinator ICW, kampanye ini tak hanya di Bali tapi juga akan digelar di daerah lain. Salah satunya dengan menggandeng para musisi.
Malam itu, selain Geeksmile dan Navicula juga ada Iksan Skuter, Scare of Bumps, dan Morfem. Tiap band menyampaikan orasi dalam lirik lagu berbalut melodi itu.
Iksan Skuter, dengan hanya bermodal gitar akustik, lantang bersuara lewat, salah satunya lagu Partai Anjing. Orang-orang brengsek suka makan duit rakyat. Masuk ke partai anjing. Yang suka korupsi dan pandai mengumbar janji. Bergabung ke partai anjing juga.
Begitu pula dengan Morfem, band asal Jakarta, yang memprotes lewat lagu Kami Bosan jadi Negara Dunia Ketiga. Para pemimpin kita sibuk sejahterakan keluarganya. Sayang kita tak dianggap sebagai keluarga. Janji besar mereka susut seiring zaman. Negara kita dibagi rata. Pemimpin dan koleganya.
Vokalis Morfem Jimi Multazam, menyanyikan protes-protes itu dengan lirik-lirik satire, lucu tapi juga menohok.
Sebagian band yang tampil malam itu, sebagian besar adalah musisi yang ikut dalam kompilasi album Frekuensi Perangkap Tikus. Kompilasi dalam bentuk cakram padat (CD) ini dibuat ICW sebagai alat kampanye anti-korupsi melalui media musik. Karena itu, dalam tiap kampanye Festival Anti-Korupsi, sebagian band dalam kompilasi 10 lagu ini pun tampil.
Menolak
Meskipun demikian, festival ini tak cuma untuk para musisi. Dalam festival kemarin, ada pula lomba menggambar, pameran foto, dan pameran mural. Semua bertema sama, ajakan untuk menolak korupsi.
Sekitar 50 pelajar SD, SMP, dan SMA menggoreskan harapan mereka itu dalam gambar-gambar penuh warna. Gede Iswara, siswa kelas VI, menggambar orang-orang berdasi dengan tulisan koruptor yang sedang di dalam tungku raksasa dengan api besar di bawahnya.
“Biar koruptornya dihukum seperti mereka,” kata Iswara.
Selain para pelajar ini, ada pula komunitas fotografer yang memamerkan foto-foto ilustrasi praktik korupsi. Puluhan foto itu digelar di lantai Gedung Sewaka Dharma Lumintang, milik Pemkot Denpasar yang menjadi pusat pelayanan publik bagi warga. Ada pula komunitas bomber yang suka menggambar mural dengan grafiti-grafiti bertema kritik sosial.
Festival Anti-Korupsi di Bali ini memang disenyelenggarakan oleh gabungan elemen masyarakat sipil dan pemerintah seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Yayasan Manikaya Kauci (YMK), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Komunitas Akar Rumput, Pemerintah Kota Denpasar. Ada juga Komunitas Teater Kini Berseri, Komunitas Jamur, dan Komunitas Semut Ireng.
Pada salah satu lagu, para pengisi tersebut naik panggung. Aktivis LSM, pemain teater, wartawan, musisi, menyanyi bersama di atas panggung. Lagunya berjudul Mafia Hukum punya Navicula. Hukum direkayasa cuma buat yang kaya. Yang jadi korbannya: rakyat jelata! Mafia hukum, hukum saja. Karena hukum tak mengenal siapa.
Dari atas panggung, semoga tuntutan ini terus bergema. Dan, semoga pula masuk ke telinga mereka yang suka makan duit rakyatnya. [b]