Oleh Anton Muhajir
Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim (KBPI) terus mengampanyekan World Silent Day (WSD). Senin (16/3) lalu mereka kembali menyerukan agar penghuni bumi melakukan hening selama empat jam pada 21 Maret nanti.
Aksi tersebut diikuti sekitar 20 orang berasal dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam KBPI. LSM tersebut antara lain Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Yayasan Wisnu, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH), Bali Organic Association (BOA), dan Third World Network (TWN).
Mereka membagi brosur kampanye dan menjelaskan bentuk kampanye WSD itu pada pengguna jalan di pusat Kota, perempatan Jalan Gajah Mada dan Veteran, Denpasar. Selain itu para aktivis KBPI juga membentangkan spanduk besar berisi himbauan untuk hening selama empat jam, dari jam 10-14.00 Wita. Hening, di antaranya bisa dilakukan dengan tidak menggunakan alat elektronik dan kendaraan bermotor.
“Hening selama empat jam saja, terinspirasi dari kearifan lokal, Nyepi. Kami mengharapkan warga untuk menghentikan aktivitasnya agar bumi dapat bernafas sejenak,” ujar Agung Wardana, Direktur Walhi Bali. Namun, lanjutnya, WSD berbeda dengan Nyepi karena perspektifnya ekologi, penyelamatan lingkungan, bukan agama. Menurut Agung persepktif ini perlu dipahami agar orang tidak mengasosiasikan WSD pada agama Hindu tapi bersifat universal.
Untuk mengampanyekan WSD ini, Kolaborasi menggalang dukungan publik untuk berpartisipasi untuk hening selama empat jam. Di antaranya dengan penggalangan dukungan tanda tangan ikut berpartisipasi, melalui online, dan kampanye terbuka.
“Kami terus melakukan advokasi agar WSD diterima PBB sebagai salah satu kampanye alternatif untuk pengurangan emisi,” tambah Agung.
I Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu, menambahkan gerakan ini bentuk kedaulatan kampanye penyelamatan bumi dari Bali. Implikasi sosial gerakan ini dengan Bali, misalnya mengurangi alih fungsi lahan yang sangat berpengaruh pada climate change.
“Gaya hidup pertanian dari kimia ke organik juga mampu memberikan input dalam pengurangan pemanasan iklim,” ujar Suarnatha.
KBPI juga menghindari upaya-upaya yang akan memanfaatkan WSD dalam skema carbon trading, jual beli emisi antara negara maju dan berkembang.
“Yang kita perjuangkan climate justice. Kami tidak mau Bali tenggelam. Ini social movement penyelamatan pulau-pulau kecil di dunia dari Bali,” tambahnya.
Ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil di Bali, dimulai KBPI dengan melakukan sejumlah penelitian yang dilakukan pelajar di Pulau Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan.
KBPI juga menggalang dukungan anak muda, mereka yang menjadi aktor mengatasi perubahan iklim.
Prelimenary assesment di Pulau Nusa Ceningan saat ini disebut masih dianalisis untuk menjadi action plan penyelamatkan pulau-pulau kecil di Bali. “Pemerintah Bali saya harapkan melakukan hal yang sama,” kata Hira Jhamtani, aktivis TWN.
“Pada 21 Maret nanti kita lihat apakah partai politik dan caleg-caleg yang mendapat jadwal kampanye saat itu membuat program atraktif hari hening,” kata Hira.
Sementara Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali I Gede Putu Wardana menyebut dukungan pada WSD dilakukan dengan himbauan mematikan alat elektronik di kantor pemerintah selama empat jam. “Diharapkan sejumlah jalan protokol juga ditutup saat itu,” ujarnya.
Kampanye WSD sendiri sudah dilakukan oleh KBPI sejak pertemuan PBB untuk Perubahan Iklim di Bali Desember 2007 lalu. Inspirasi WSD datang hari Nyepi yang dilaksanakan umat Hindu di Bali setiap tahun sekali. Pada saat Nyepi, semua orang di Bali tidak melakukan empat kegiatan utama yaitu tidak bekerja, tidak makan minum, tidak bepergian, dan tidak bersenang-senang.
Menurut perhitungan KBPI, matinya aktivitas di Bali selama 24 jam pada saat Nyepi ini bisa mengurangi emisi gas rumah kaca setara 20.000 ton CO2. Angka ini diperoleh dari banyaknya jumlah kendaraan yang tidak beroperasi di Bali, antara lain kendaraan bermotor dan pesawat terbang, dikalikan jumlah konsumsi energi mereka. [b]