Oleh Luh De Suriyani
Sekitar 300 orang warga Banjar Pengabetan Kuta yang berbaur dengan warga asing mengantarkan jenazah Kim Bradley dikremasi di Setra (kuburan) Asem Celagi, Jalan Kartika Plaza, Kuta, Rabu.
Jenazah salah satu legenda surfing asal Sidney, Australia yang kemudian memilih beragama Hindu ini menjalani upacara ngaben di tepi Pantai Kuta, lokasi surfingnya 35 tahun lalu.
Sebagian besar warga banjar teman-teman dekat, dan murid-murid surfingnya mengenakan baju hitam bertuliskan rest in peace, Kim Bradley, 1955-2009. Juga pakaian adat Bali seperti kamen, dan udeng untuk laki-laki. Mereka memberikan penghormatan akhir pada salah satu pahlawan komunitas surfing yang meninggal karena kanker kulit ini.
Ratusan orang mengarak “bade”, sarana jenazah dari Legian menuju Kartika Plaza, sekitar dua kilometer dengan berjalan kaki. Sejumlah jalan ditutup sementara mulai tengah hari hingga iring-iringan sampai di setra.
Di barisan depan, beberapa perempuan asing membawa foto Kim yang sedang tersenyum ramah dan berkaca mata sedang mengenakan udeng. Kemudian berikutnya pembawa dua surfboards, lalu kain putih panjang yang terentang hingga bade.
Suasana haru sepanjang perjalanan ke setra menemukan klimaksnya ketika jenazah Kim mulai diletakkan di batang-batang pohon pisang, tempat pembakaran.
Barang-barang kenangannya seperti surboard juga mendampingi Kim menuju peristirahatan terakhirnya.
I Ketut Mendra, salah satu mantan murid dan atlet surfing profesional Bali memasukkan sebatang rokok ketika api mulai membesar di wadah kremasi sebagai tanda penghormatannya. “Dia sangat berjasa pada puluhan anak muda Bali dan mereka yang sangat gandrung dengan surfing,” ujar Mendra.
Kim di matanya adalah seorang surfer yang sangat berkontribusi mengenalkan wisata surfing Bali di dunia internasional. “Ia tak hanya mengajarkan dan memberi sponsor pada atlet surfing Bali yang baru, namun mencurahkan seluruh energinya untuk dunia surfing,” tambah mendra yang mengenal Kim sejak remaja.
Mendra bercerita, ketika usia 17 tahun Kim mengajaknya ke Hawaii, Amerika, untuk mengikuti kontes surfing internasional di sana sekira tahun 1980. “You can do it,” begitu Kim meyakinkan Mendra yang baru pertama kali ke luar negeri.
Secara mengejutkan, Mendra juara II pada kontes surfing itu. “Saya takkan pernah lupa ketika bendera merah putih berkibar di Hawai,” ujarnya.
Mantan istrinya, Ni Made Ringan mengatakan energi Kim pada dunia surfing dan upayanya meningkatkan derajat olehraga dan wisata ini di Indonesia tak pernah surut.
“Surfing adalah hidupnya,” ujarnya. Ringan menikah dengan Kim pada 1982 dengan upacara Hindu. Saat itu Kim menjalani beberapa tahapan upacara adat yang diwajibkan pada manusia Hindu Bali seperti potong gigi.
Kim dan Ringan memiliki dua anak laki dan perempuan, Cyntia Dewi Bradley, 25, dan Adiputra Albert Bradley, 19.
Sebuah tabloid khusus surfing di Bali, MagicWave membuat kolom khusus untuk Kim selama dua bulan. Berisi pendapat dan hasrat Kim pada dunia surfing di Indonesia.
“Kim adalah guru, teman, dan ayah buat para surfer. Dia siap mendukung kami lahir batin,” ujar Piping, pendiri MagicWave, salah satu tokoh surfing di Bali.
Selain itu Kim mempunyai keahlian membuat surfboards dan mendirikan komunitas surfing Bali. “Ketika tahun 70-an hanya dia surfer yang bisa buat papan. Kalau tidak ada papan, kami tidak bisa surfing,” kata Piping.
Pada tahun 1974, Kim kali pertama kali surfing di Uluwatu, Bali bersama teman-temannya dari Australia. Ketika itu Kuta adalah kampung nelayan yang penuh dengan hutan pohon kelapa. Kim dan teman-temannya terus mencari site surfing dengan ombak besar yang kemudian sangat populer di Bali seperti Uluwatu, Kuta, dan beberapa lokasi lain di Indonesia.
“Its was a long journey. Kim is one of the pioneer that makes Bali become a surfing tourism,” said Looby, yang mengaku datang ke Bali ketika itu bersama Kim.
Upacara kremasi ini juga terlihat menjadi seperti reuni bagi ekspatriat dan mantan surfer yang menjalani masa tua di Bali. Sebagian dari mereka membawa keluarga dan bersenda gurau menggunakan beragama bahasa. Ada yang sangat fasih berbahasa Bali. “Kami ini kelompok rela mati di Bali,” seru Fauziah Wilson.
Ketika api mulai mengecil, puluhan teman-temannya mulai berpelukan satu sama lain. Gurat kesedihan berubah menjadi senyuman. [b]
Versi Bahasa Inggris artikel ini dimuat di http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/30/aussie-surfer-receives-balinese-cremation.html-0
I met kim ,at wayan wirthe in kuta 1974.We were already there awhile when he arrived with the mexican david Sumpter,his first trip,he only had a month .We had found paradise and the most beautifull people on earth.We surfed perfect sunur and Uluwatu,nusa dua,etc etc we hit it hard and saw plenty of magic.we also surfed with legends.The fly a larconic dry aussie who became balinesse,we saw who really found padang padang and what it cost.In 1975 i took a 16 year old larry blair we spent another few months,by that time the fly had found many of the waves that are now surfed,you looked after larry while I went north a couple of months, when i came back Larry was outsurfing lopez Kim you were an inspiration .The sun cooked us and sadly killed you.I came to find you in 2005 after 30 years ,the bombs went off and I left early with a bad taste ,sometimes life is very sad.In my heart you live and not just mine,Fly, your first month in bali will be told one day,what a month.what a place. what a time. norman moore