“Pedalem tiang nepukin punyan biu kénéanga (saya kasihan melihat pohon pisang dibeginikan).”
Kalimat itu spontan meluncur dari mulut Wayan Kariasa, salah satu pekebun sekaligus pengepul pisang di Banjar Selasih, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Gianyar. Di siang yang terik itu, ia berdiri di atas tanah yang selama empat generasi digarap oleh keluarga Wayan Sarna.
Matanya mengedar ke sekeliling, memperhatikan pohon-pohon pisang yang sudah tumbang karena ditebang. Beberapa di antaranya memiliki batang yang masih bisa dibilang begitu pendek. Pohon-pohon pisang tersebut mati muda.
Saya hanya bisa menimpali dengan getir, “Nggih, Pak…”
Saya datang ke Selasih akhir pekan lalu. Dua pekan sebelumnya ibu-ibu di sana membuka baju mereka untuk menghadang alat berat yang masuk ke daerahnya. Mengingat apa yang mereka lakukan, hati saya patah melihat dua alat berat dengan warna merah masih bisa memarkirkan diri jauh di seberang tempat saya berpijak.
“Ini hari Minggu, alatnya enggak kerja,” ujar Gede Nova, seorang pemuda yang juga berdiri di sebelah Wayan Kariasa.
“Tapi, alatnya masih bisa masuk, ya?” tanya saya pada mereka. Mereka mengangguk. “Pas rapat waktu itu, kami sudah sepakat untuk memulangkan alat beratnya. Namun, beberapa jam kemudian, alatnya tetap ada di sana dan sampai sekarang tidak penah pergi.”
Alat-alat berat itu hendak meratakan tanah-tanah di Selasih, kira-kira separuh dari keseluruhannya. PT. Ubud Resort Duta Development (URDD) yang melakukannya, sebab tanah-tanah tersebut hendak disulap menjadi lapongan golf, resor, dan fasilitas wisata lainnya.
Beberpa petani menyebut perusahaan memasuki Selasih pada medio 1990an dengan klaim bahwa 85 persen tanah di sana tidak produktif. Dengan begitu, lahan tersebut lebih baik dimanfaatkan untuk sektor di luar pertanian atau perkebunan. Sejak saat itu, pembebasan lahan pun mulai dilakukan.
“Padahal, sebelum krisis air, dulu kami biasa menanam padi, jeruk, salak, durian, dan mayoritasnya cengkeh,” kata I Made Sudiantara, salah satu warga Selasih.
Penghasil Pisang
Berbeda dengan dulu, kini Selasih memang dikenal sebagai salah satu daerah pemasok daun pisang di Bali. Kita bisa menemukan hamparan pohon pisang batu di sana. Sekiranya pengalihan sebagian besar lahan menjadi kebun pisang terjadi pada masa-masa krisis moneter tahun 1997-1998, ditambah dengan adanya krisis air.
Sejumlah warga menulis konflik agraria Selasih dan konflik tanah lainnya di Bali di web ini sebelumnya seperti Made Supriatma dan Roberto Hutabarat.
Pisang kemudian semakin diminati warga. Sebab, selain mampu memberikan penghasilan lebih baik daripada padi, tanaman pisang dapat dipelihara dengan mudah. Hal ini bisa dibuktikan sebab pisang begitu mudah saya temui di lahan-lahan kosong Selasih. Berjalan beberapa langkah di lahan-lahan tersebut, saya seringkali menemui anakan pohon pisang yang masih muda tumbuh dengan subur.
Pada tahun-tahun tersebut pulalah konflik terkait lahan mencuat. Pertemuan warga dengan pihak PT URDD sempat dilakukan. Hasilnya berupa kesepakatan tertulis dan tidak tertulis antara kedua belah pihak. Kesepakatan itu di antaranya sebelum tanah benar-benar digunakan pihak PT, warga dapat menggarap dan menikmati hasilnya. Selain itu, warga juga dijanjikan oleh pihak PT perihal relokasi rumah.
“Tapi, saya tidak pernah merasa menjual tanah saya,” Kariasa berujar, menoleh ke arah Nova yang menimpalinya dengan sebuah anggukan.
Beberapa warga yang merasa bahwa lahan mereka layak untuk diperjuangkan kemudian membentuk Serikat Petani Selasih (SPS). Tercatat sebanyak 52 kepala keluarga terdaftar sebagai anggota SPS dan 32 di antaranya bermukim di lahan yang diklaim pihak PT URDD. “Saya cuma mau apa yang dimiliki leluhur saya tetap di sini dan seperti ini,” tegas Nova.
Warga Selasih mengaku masih berharap pada pemerintah untuk membantu meredakan konflik ini. “Kalau kita nggak berharap sama pemerintah, mau berharap sama siapa?” ujar Kariasa. Saya tersenyum, kecut sekali.
Setelah semua yang terjadi, warga Selasih masih berpikir pemerintah akan melakukan sesuatu untuk rakyat seperti mereka. Harapannya, pemerintah mampu menjalankan dan menguatkan PP Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, serta Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Dengan begitu, warga Selasih tidak terinjak di tanah mereka sendiri.
Tiba-tiba Datang Kembali
“Waktu (lahan) dibabat, tiang dadi penonton gen. Kan sing runguanga munyin tiangé (saya jadi penonton saja, kan ucapan saya tidak didengarkan).”
Saya termenung mendengar ucapan Wayan Liu, seorang ibu yang sehari-hari menggarap lahan yang waktu itu sedang saya pijak. Ia merasa bahwa suara para perempuan di Selasih tidak akan didengarkan.
Padahal, perempuan-perempuan tersebut berperan begitu banyak dalam usaha perkebunan pisang di Selasih. Mereka turut bekerja di kebun, menanam dan merawat pohon-pohon, mengambil daun-daun, serta mengantarkannya ke Denpasar dan Badung untuk dijual.
Sementara itu, wajah-wajah perempuanlah yang memperkenalkan saya dengan Selasih dan konfliknya. Dua pekan lalu, foto-foto mereka yang hanya menggunakan kutang dengan raut marah menghiasi linimasa media sosial saya. Mereka menghadang alat berat yang muncul kembali setelah dua puluh tahun tidak berkabar.
Ketika perempuan yang merasa kurang didengarkan justru menjadi garda depan dalam perlawanan, saya pikir, ini adalah suatu alarm tanda bahaya. Apa yang terjadi di Selasih adalah suatu kegentingan.
“Biune ampun telah. Ten wenten penghasilan napi mangkin. Nol. Mati raga pelan-pelan (pisangnya sudah habis, tidak ada penghasilan apa-apa sekarang. Nol. Kami mati pelan-pelan),” tegas Liu. Ia yang biasanya menjual 60-70 ikat daun pisang satu kali dalam dua hari, kini harus melakukannya dalam waktu lima belas hari sekali.
Walaupun dihimpit ketidakpastian dan semakin menipisnya penghasilan, warga Selasih tetap bisa tersenyum dan berbagi. Saya dan lima orang kawan yang datang ke Selasih disuguhkan berbagai macam hasil bumi. Kariasa memetikkan kelapa muda dan kami minum bersama-sama di siang yang terik di tepi lahan bersengketa.
Kami sempat diajak Liu mencoba memetik dan memotong daun pisang dengan teknik yang biasa mereka gunakan. Di perjalanan pulang, kami harus menepi kembali sebab Nova memetikkan sebungkus leci dan sebuah durian. Segar sekali, walaupun seorang polisi tetap mengikuti kami kemanapun kami pergi.
“Kita selalu minta dan diberi oleh warga desa, tapi mereka enggak pernah minta sama kita yang di kota,” kata Luh De, kawan yang mengajak saya ke Selasih, sambil tertawa.
“Kalau begitu, sekarang tiang minta tolong untuk dibantu memperjuangkan biar kami dapat yang sepantasnya,” jawab Liu.
Lalu kami tertawa bersama. Perihal isi hati, siapalah yang tahu. Mungkin di balik tawa yang mereka bagi di hari itu, warga Selasih meringis dalam hati. Sama seperti batang pohon leci milik keluarga Nova yang akhir-akhir ini terus menerus mengeluarkan air.
“Mungkin dia juga ikut menangis,” ujarnya sambil tersenyum. [b]