Dunia aktivisme di Bali tak melulu milik aktivis.
Inilah yang terasa seiring dengan tetap gencarnya gerakan warga yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa, Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Gerakan bernama Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) tersebut menjadi tempat berbagai kelompok yang menolak eksploitasi terhadap kawasan konservasi tersebut.
Sabtu malam lalu, giliran para seniman dan musisi yang ambil bagian dalam Pasar Mini. Kegiatan di Penggak Men Mersi Jalan WR Supratman Denpasar itu untuk penggalian dana ForBali.
Salah satunya I Wayan Damai. Pria difabel ini melelang karya lukisanya yang berjudul “Pasar”. Dalam karya realisnya di atas kanvas ini terlihat dua orang, laki dan perempuan berkursi roda berbelanja di pasar. Ada juga gambar toilet dengan undakan yang tak bisa dilalui kursi roda. Keduanya termenung di depan toilet itu.
Agaknya, pria yang bekerja sebagai resepsionis di kantor perusahaan kerajinan ini ingin memperlihatkan tantangan keseharian difabel. “Itulah hidup saya. Saya sedang melukis dan menuangkan pikiran saya ke kanvas,” kata Damai. Ia mengaku mulai menyenangi melukis ketika belajar di Jogjakarta.
Ada juga dua lukisan Anak Tangguh. Dua lukisan floral ini dibuat anak-anak yang berkegiatan di sanggar belajar alternatif ini untuk mendukung pendanaan ForBALI.
Tak hanya lukisan, ada juga kaos, foto, instalasi dari Komunitas Pojok, dan lainnya. Lelang dalam Pasar Mini ini berlangsung meriah dikunjungi banyak ibu rumah tangga dan anak-anak juga.
I Nyoman Angga, musisi band Nosstress yang mendukung ForBALI dalam bahasa santai mengampanyekan lelang ini menjadi bagian gerakan kesadaran bersama. Tak hanya pada isu reklamasi yang masih diperdebatkan di Teluk Benoa tapi juga ancaman lingkungan lain seperti alif fungsi lahan hijau.
Dalam lagunya yang menjadi jingle ForBALI dan mulai banyak dihafal anak-anak ini, Nosstress memang tak hanya menyinggung soal reklamasi tapi juga dukungan pada petani karena banyak lahan produktif menghilang.
“Bangun Bali, Subsidi petani. Kita semua makan nasi, bukannya butuh reklamasi,” salah satu liriknya.
“Gara-gara lagu ini saya ditanya saudara, “kude maan pis uli Puspoyoga?” sergah Gunawarma alias Kupit, salah satu pencipta lagu ini. Ia diduga mendapat uang dari PDIP karena saking banyaknya baliho PDIP yang mendompleng aksi tolak reklamasi ini.
Kupit dan bandnya Nosstress bahkan mencurahkan tenaga, pikiran, dan suaranya gretongan dalam sejumlah aksi dan konser kampanye sekaligus penggalian dana. Termasuk dalam lelang Pasar Mini ini.
Mati
Dewa Keta, salah satu pelukis dari Komunitas Pojok melelang lukisan berjudul Bulung. Bulung atau rumput laut dalam bahasa Bali menurutnya sumber penghasilan masyarakat pesisir Pulau Bali, Nusa Penida, dan sekitarnya. “Akan makin banyak petani bulung yang mati kalau Bali tak memedulikan pesisirnya,” kata Keta.
Selain karya seni dari para pelukis amatir, gerakan ForBALI makin diikuti oleh komunitas underground seperti punker. Mereka beberapa kali ikut aksi demonstrasi ke DPRD Bali.
“Banyak ormas yang nampang di jalanan mengaku menjaga Bali, kenyataannya yang berbuat nyata punker-punker ini atau musisi bercelana pendek,” sebut Termana, salah seorang anak muda kritis.
Pria muda ini merasa terusik dengan makin banyaknya baliho pejabat atau ormas yang memakai symbol-simbol agama dan budaya mengklaim menjaga tanah Bali namun di belakang malah mengeksploitasi.
Sementara itu di Yunani, seorang seniman street art Bali asal Nusa Penida membuat mural raksasa di tembok Unversitas Polytechniupoli di kota Athena. Mural ini memuat pesan sangat jelas. Terlihat ombak tinggi yang dilukiskan berbentuk tangan menangkis tangan terbuat dari besi, seperti mesin.
“Suatu hari, lewat social media saya sempat dikontak oleh seorang kawan, bahwa di Bali lagi ramai terkait rencana reklamasi di wilayah tanjung Benoa,” kata si seniman jalanan ini.
Lewat internet Ia kemudian membaca sebagian informasi media terkait ini dan diskusi di forum-forum socmed. “Saya menolak segala bentuk “kebijakan” yang sebenarnya mengabaikan nasib dan masa depan masyarakat banyak serta proyek-proyek megah pariwisata yang mengatasnamakan pelestarian budaya Bali yang ternyata sama sekali tidak melestarikan alam Bali,” kata WD, kependekan dari wild drawing, nickname street artist ini.
WD yang kuliah di kampus lain di Yunani lalu membuat sebuah mural dengan menggunakan simbol-simbol yang dapat dan mudah dimengerti oleh semua orang.
Pria ini mengatakan kota-kota Eropa khususnya Athens terkenal dengan karya-karya grafiti dan street art yang bermuatan politik dan kritis. “Dunia barat sekarang ini lagi terjangkit krisis global, fenomena ini menginspirasi banyak street artis untuk memberikan pandangan kritisnya,” sebut WD. [b]