Pertama-tama aku akan mengenalkan konsep Ardhanariswara. Konsep ini pertama kali kuketahui dari mata kuliah ikonografi, saat itu masih semester satu awal-awalnya kuliah. Dosenku menjelaskan beberapa aspek dari Dewa Siwa, salah satunya adalah Ardhanariswara ini. Istilah yang cukup jarang dan bahkan belum pernah aku dengar sebelumnya.
Pada dasarnya Ardhanariswara merupakan bentuk penyatuan antara Dewa Siwa dan Dewi Parwati dalam suatu visualisasi. Artinya, ada dua sifat yang digambarkan dalam arca ini, yaitu maskulin dan feminin. Konsep ini dikenal luas di India bahkan menjadi bentuk kemanunggalan antara kelelakian dan keperempuan jagat raya.
Maskulin dan feminin adalah dua hal yang tidak asing lagi di telinga kita bukan? Kedua sifat tersebut tanpa disadari mengkotak-kotakan kita sebagai seorang manusia. Sifat maskulin selalu diidentikkan dengan laki-laki, sedangkan sifat feminin selalu diidentikkan dengan perempuan. Begitulah persepsi yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kita.
Persepsi yang tumbuh dan berkembang kemudian disepakati di dalam ruang-ruang masyarakat. Sehingga hal itu dapat menjadi tembok pembatas dalam mengeksplorasi diri sebagai manusia. Imbasnya, orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang dianggap “tidak sesuai” dengan norma dasar, seperti misalnya seorang laki-laki yang memiliki sifat lembut akan dianggap seperti perempuan, begitu pula sebaliknya jika seorang perempuan memiliki sifat-sifat yang mendasarkan pada kekuatan otot atau fisik akan diberi label tomboy. Jahatnya stigma yang tumbuh di kalangan masyarakat tersebut membuat orang-orang memiliki ketakutan untuk berkembang, takut untuk mengekspresikan diri dan lain sebagainya.
Secara kebudayaan, sebenarnya kita cukup dekat dengan isu-isu maskulin dan feminin itu sendiri. Konsep pengarcaan Ardhanariswara ini salah satunya. Pada pengacaranya, sifat maskulin digambarkan sebagai Dewa Siwa yang berada di sebelah kanan, sedangkan sifat feminin digambarkan sebagai Dewi Parwati yang berada di sebelah kiri lengkap dengan atribut kedewataannya masing-masing.
Selain itu, kita juga mengenal salah satu seni tari dari daerah Banyumas, Lengger Lanang namanya. Dalam pementasannya, tarian tersebut dibawakan oleh sekelompok laki-laki yang mana sangat jelas menggambarkan dualitas dalam satu tubuh sang penari. Tarian ini menghidupkan sisi perempuan dan laki-laki secara bersamaan dalam suatu pentas seni.
Berkaca pada hal tersebut, aku sadar bahwa kedua hal itu tidak dapat dipisahkan. Baik sisi maskulin maupun feminin adalah dua hal yang secara organik sebenarnya dimiliki oleh tubuh manusia. Mereka saling menyeimbangi. Anggapan yang telah terkonstruksi di dalam pikiran masyarakat membuat kita lupa dan sering kali mengesampingkan kedua sifat tersebut.