Oleh Anton Muhajir
Dengan pasir putih sepanjang sekitar 300 meter dan dua bukit kecil di masing-masing ujungnya, Pantai Bias Putih memang menarik. Ombaknya kecil dengan air biru bening. Maka, meski terletak di balik Bukit Apen dan Bukit Penggiang, pantai yang berlokasi di Desa Bugbug Kecamatan Karangasem Kabupaten Karangasem ini pun ramai dikunjungi turis lokal maupun asing.
“Banyak turis menyebut airnya blue crystal water,” kata I Gusti Ngurah Cakra, salah satu warga di sana.
Di pantai kecil itu ada delapan kafe sejak tujuh tahun lalu. Cakra bersama istrinya Gusti Ayu Murnisih adalah pemilik salah satu kafe di sana, Relax Cafe. Mantan sopir freelance di Kuta itu membuka kafe di sana pada 2005 lalu setelah pariwisata Bali mengalami krisis akibat bom Bali 1 Oktober 2005. Tanah yang dipakai saat ini adalah tanah negara, bukan milik mereka.
Tapi saat ini Cakra dan tujuh pemilik kafe lainnya terancam rencana pembangunan lapangan golf dan hotel di kawasan pantai itu. Mereka akan digusur kalau proyek itu jadi dilaksanakan. “Kalau jadi dibangun, kami harus bekerja apa?” tanya Cakra.
Keindahan pantai Bali memang menarik hati. Demikian pula di Pantai Bias Putih. Tak hanya turis yang ingin menikmati pantai sambil berenang, berjemur, snorkling, atau bahkan diving. Investor pun ingin mencaploknya.
Salah satunya adalah PT Bali Bias Putih. Perusahaan ini milik investor Korea bernama Yu Bong Yi. Juni lalu, investor yang diwakili Candra Gunawan sudah menghadap ke Pemkab Karangasem tentang rencana pembangunan tersebut.
Beberapa media lokal memberitakan bahwa PT Bali Bias Putih akan membangun lapangan golf seluas 124 hektar di Desa Bugbug dan Desa Perasi. Selain lapangan golf dengan 18 hole, di atas lahan ini juga akan dibangun fasilitas pendukung seperti garden, pool, shoping arcade, dan hotel berbintang lima. Total investasi Rp 1,427 triliun.
Bendesa Adat Desa Bugbug I Wayan Mas Suyasa, yang ditemui beberapa waktu lalu pun membenarkan rencana pembangunan tersebut. Menurut Suyasa, rencana pembangunan itu sudah ada sejak 1990. Namun terhambat karena masalah ekonomi. Sekarang, rencana itu akan kembali dilanjutkan oleh investor baru.
Suyasa menunjukkan surat perjanjian antara investor lama dengan pihak desa. Investor lama tersebut adalah PT Lupita Pusaka. Direktur Utamanya Pincky Sudarman. Untuk mengelola kawasan lapangan golf dan hotel di sini, perusahaan ini akan membentuk perusahaan baru bernama PT Sanggraha Bias Putih.
Selain Pincky, nama lain dari pemilik perusahaan ini adalah Gabriella Teggia. Menurut Mas Suyasa, dalam perjalanannya kemudian perusahaan ini dimiliki oleh Subagio Wirjoatmodjo sampai saat ini.
Pincky Sudarman adalah Business Development Executive Vice President Alun Alun Indonesia, pusat perbelanjaan di Jakarta dan Bali. Pincky dikenal sebagai desainer untuk pameran Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kamar Dagang Indonesia, juga PT Panasonic Gobel Indonesia.
Selain pusat perbelanjaan Alun Alun Indonesia di Nusa Dua, Pincky juga desainer dan owner representative for Bali Pavilions Resort dan Puri Tupai Villa Ubud Bali.
Sedangkan Gabriella, warga negara Italia yang kini tinggal di Indonesia sejak 1965, adalah pengarang buku tentang sejarah kopi di Jawa, A Cup of Java. Dia mendirikan Losari Coffee Plantation Resort and Spa di Jawa Tengah. Dia juga pendiri dan bekas pemilik Amandari Resort di Ubud.
Adapun Subagio Wirjoatmodjo adalah pendiri PT Citra Sari Makmur (CSM), perusahaan telekomunikasi di Jakarta. Pada Mei 1993, PT CSM mengubah statusnya menjadi joint venture antara Subagio Wirjoatmodjo (51,05 persen) dan Bell Atlantic Indonesia, sebuah perusahaan Amerika (48,95 persen). Lalu, pada 8 November 1996, PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. ikut bergabung sebagai pemegang saham PT CSM. Sehingga total saham di PT CSM adalah Subagio 75 persen (melalui PT Tigatra Media dan Media Trio (L) Inc Malaysia) dan Telkom 25 persen.
Selain di bidang telekomunikasi, Subagio juga punya beberapa perusahaan di bidang pertambangan. Antara lain PT Dutaputra Tanaratan (sahamnya sebanyak 75 persen), PT Ramdany Coal Mining (74 persen), PT Trimata Benua (96 persen), serta beberapa perusahaan pertambangan lain di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur. Total luas lahan yang dimiliki Subagio di dua daerah ini lebih dari 300.000 hektar.
Suyasa mengaku tidak tahu banyak hubungan antara Pincky, Gabriella, dan Subagio. “Saya tahunya mereka sebagai investor. Itu saja,” kata Suyasa.
Namun meski sudah mengontrak tanah sejak tahun 1990, PT Sanggraha Bias Putih belum membangun lapangan golf tersebut sampai saat ini. Menurut Suyasa hal tersebut karena adanya Perang Teluk pada 1991 antara Irak dan Amerika Serikat. PT Sanggraha Bias Putih mengontrak tanah selama 30 tahun. Saat ini masih ada sisa 12 tahun.
Ketika rencana pembangunan oleh investor lama belum jelas kelanjutannya, muncul investor baru, PT Bali Bias Putih, yang juga mengontrak tanah selama 30 tahun. Dua belas tahun milik konsorsium lama akan di-over contract ke perusahaan baru. Sehingga, total tanah di sana akan dikontrak selama 42 tahun oleh PT Bali Bias Putih.
Harga kontrak tersebut, menurut Mas Suyasa, adalah Rp 600 juta per tahun per hektar. Tanah tersebut terdiri dari tanah pribadi, tanah desa, maupun tanah adat yang terletak di dua desa yaitu Desa Bugbug dan Desa Perasi.
Pembangunan ini sudah dipresentasikan ke dua desa tersebut juga Pemerintah Kabupaten Karangasem. Menurut Suyasa, desanya sudah menerima proposal kerjasama ini dua bulan lalu. Bahkan sudah ada Memorandum of Understanding (MoU) antara investor dan dua desa tersebut. “Kami sudah menerima uang tanda keseriusan sebesar satu milyar,” kata Suyasa.
Uang tersebut dibagi sesuai luas tanah yang dikontrak. Rp 650 juta untuk Desa Bugbug. Rp 350 juta untuk desa Perasi. “Karena tanah desa Bugbug yang dikontrak lebih luas,” tambah Suyasa, juga anggota DPR Karangasem dari Partai Golkar.
Meskpun sudah ada investor baru, pembangunan proyek prestisius ini sendiri belum dimulai sama sekali. Menurut Mas Suyasa, hal ini karena masalah over kontrak di antara investor baru dengan investor lama belum selesai.
Padahal, kata Suyasa, pemerintah sudah menyetujui semua rencana pembangunan tersebut. Investor baru tidak perlu mengajukan izin baru, tinggal melanjutkan rencana investor lama. Menurut Suyasa, tidak ada satu pun pihak yang mempersoalkan rencana pembangunan ini.
Omongan Suyasa tak sepenuhnya benar. Buktinya Cakra, salah satu warga Desa Perasi yang membangun kafe di pantai tersebut pun mengaku terancam oleh pembangunan tersebut.
Bukan hanya soal pekerjaan yang membuat Cakra keberatan terhadap rencana pembangunan lapangan golf dan hotel di tanah tersebut. “Kalau di sini dibangun fasilitas pariwisata juga, saya takut atmosfir Balinya akan hilang,” kata Cakra.
“Saya tidak ingin desa saya seperti Kuta yang sudah tidak kelihatan Balinya,” tambah Cakra.
Selain Cakra, warga lain yang keberatan terhadap rencana pembangunan tersebut adalah I Ketut Pono, 76 tahun, warga Banjar Baruna, Desa Bugbug. Sampai saat ini Pono belum bersedia mengontrakkan tanahnya pada investor. Nelayan yang juga pengusaha pemindangan ikan ini punya tanah 80 are persis di depan pantai Bias Putih.
Pono tinggal di rumahnya di Desa Bugbug. Tapi tiap hari dia ke lokasi tanahnya di Pantai Bias Putih, berjarak sekitar 2 km. Di tanah ini ada rumah kecil untuk tempat mengolah ikan. Pono dulunya nelayan tapi sudah berhenti sejak 15 tahun lalu. Saat ini dia fokus pada usaha pengolahan ikan miliknya.
Sejak kawasan Bugbug dan Perasi ditawar investor pertama, Pincky Sudarman melalui PT Lupita Pusaka pada 1990, Pono sudah tidak bersedia menyewakan tanahnya. Alasan Pono karena harga yang ditawaran investor terlalu murah, Rp 100 juta per 30 tahun per are. Pono memberikan harga Rp 650 juta per 30 tahun untuk harga sewa 80 are tanahnya.
Menurut Pono, saat itu Gabriella Teggia yang punya saham di PT Lupita Pusaka ikut menawar. Warga negara Italia ini sudah setuju dengan harga Rp 650 juta. Namun, pengurus desa kemudian memprotes harga untuk Pono yang terlalu tinggi dibanding warga lain.
“Kalau dia diberi harga yang mahal, maka semua pemilik tanah lain juga akan minta harga tinggi,” kata Mas Suyasa, yang saat itu sudah jadi Bendesa Adat.
Karena ada keberatan dari pengurus desa, maka PT Lupita Pusaka tidak jadi bayar seharga tersebut. Tanah milik Pono tetap tidak disewa ketika tanah lain di sekitar milik Pono sudah disewa PT Lupita Pusaka.
Sebelum ada investor baru PT Bali Bias Putih, ada orang lain yang juga mau menyewa tanah Pono. Namanya Hendrick S. Blom. Pono menawarkan harga Rp 7,2 milyar untuk tanah 80 are selama 30 tahun. Hendrick S Blom, warga Belanda, itu sepakat dengan harga tersebut. Namun, sampai saat ini belum ada pembayaran.
Henk sebenarnya adalah pemilik Bali Top Property, agen jual beli tanah di Kuta. Tapi setahu Pono, Henk adalah investor. Karena itu dia memberikan tanahnya untuk disewa Henk. Ketut Pono mengaku sudah menandatangani Letter of Intent dengan Henk beberapa bulan lalu.
“Saya sudah cap jempol tapi belum dapat uang sama sekali,” kata Pono.
Maka, lahan milik Pono masih menganggur sampai saat ini. Di lapangan belum ada banyak tanda. Hanya beberapa coretan di pohon kelapa sebagai pertanda di mana hotel akan dibangun. Selebihnya tidak ada apa-apa.. [b]
Baguslah jika ada investor yang melai melirik kawasan timur Bali. Hal ini bisa menjadi awal positif dalam pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Bali secara menyeluruh. Namun yang perlu diperhatikan adalah sistem kerjasama antara warga dengan investor agar kerjasama tersebut bisa optimal bagi kedua belah pihak. Perlu SDM yang mengerti dan berpihak pada kepentingan bersama dalam mengawal perjanjian kerjasama tersebut. Jangan sampai warga menjadi korban tipu-tipu investor nakal. Dan meminimalkan kerusakan lingkungan/alam dalam proses pembangunan, karena kerusakan alam merupakan bumerang bagi investasi itu sendiri.
wah…
bahaya nie…
tmpt tinggsl kita semakin terancam….
gwat bgdss kyana.
gunk-degunk.blogspot.com
Sebagai salah satu warga Bugbug, It’s a good news, I guess. Paling tidak untuk sementara (1 generasi?) kita dapat memanfaatkan lahan kering sambil pikir2 apa yang nantinya bisa dilakukan oleh anak cucu atas tanah leluhur itu. Perlu dinego kepada operator, dengan surat perjanjian, prioritaskan tenaga kerja dari daerah sekitar (bugbug, perasi dan karangasem – bukan sentimen kedaerahan lho). Bagi desa adat dan masyarakat sekitar, perlu sistem imun untuk menangkis dampak negatif yang mungkin datang. Agama, upacara, lan susilaneki kudu den lakoni kanti setyo tuhu. Selanjutnya, nikmati hidup ini, jaga kesehatan, berfikir positif, agar umur panjang.
panca – jakarta
Sebagai orang terlahir di bugbug saya sangat mendukung rencana ini asalkan semua pihak terkait (pengurus desa Bugbug dan perasi) sebagai pemilik wilayah ini memperhatikan prospek jangka panjangnya dengan lebih jeli melihat poin-poin perjanjian kontrak yang ditandatangani sehingga dapat memihak warga secara keseluruhan (bukan warga yang dapat uang kontrak saja)!
Nyoman Suta – Jakarta
Sebenarnya ada baiknya itu kalau investor mau bangun lapangan golf di sana. Nt kan akan menyerap tenaga kerja di sana juga. Selain itu, lapangan golf yang menghijau itu akan membantu penghijauan lingkungan di sana kan. Hal yang penting adalah adanya respon dan responsibility dari pemerintah agar investor yang masuk bukan sembarang investor, tetapi investor yang memiliki nurani luhur dan tetap mementingkan kepentingan masyarakat.
Dan … bagi penduduk sekitar, ya kreatif saja, biar bisa menciptakan lahan baru yang mengikuti irama perkembangan di wilayah yang terus berubah 🙂
Salam
*****enk pemilik2 cafe di sana cuma mau untung-untungnya aja masak tanah negara dijadikan tempat usaha, tu namanya melanggar hukum, lo mau usaha donk lo mau buka usaha…..
begitu juga petugas pemungut karcis/tiket masuk ke pasir putih, saya rasa petugas2 tersebut korup. padahal para tamu yang datang kesana kepingin menikmati pantai pasir putih kok para tamu dikenakan biaya buat ke jalan pura dalem sih, apa kata dunia…???? setelah bertahun-tahun memunguti karcis jalan akses ke pantai masih saja RUSAK BERAT para pemungut gak mau tahu tentang kondisi jalan, yang dia mau cuma DO IT alias UANG………
ya saya mendukung adanya investor yg ad di bias putih ,apalagi akan di buka lapangan golf ,hotel ,maupun yang lainnya.jadinya banyak tenaga kerja yg ada di desa bugbug maupun perasi yg masih nganggur dapat pekerjaan.dan yang paling penting adalah jangan sampai membuat pura di sana jadi rusak ataupun kotor karena itu merupakan pura suci desa bugbug.so no problem …
Ngahpen Bugbug dukuh tengah
saya sangat mendukung dengan adanya pengembangan kawasan pariwisata di daerah bugbug- perasi(bugrasi). tapi, saya tekankan terhadap pemilik tanah, dan instansi terkait agar tidak melihat dan tergiur dengan uangnya saja, tapi ingat masa depan anak cucu kita dengan melihat isi dari perjanjian yang ada agar tidak manyesal di akhir.
Wah Bahaya Banget Harus Kita Jaga nih biar gak terjadi