Oleh Pande Baik
Menjalani proses kuliah tingkat pascasarjana memiliki banyak sudut pandang jika dilihat dari beragamnya motivasi dan tujuan masing-masing mahasiswa untuk melanjutkan studi.
Ada yang memang ingin serius menjajal kemampuan apalagi jika sudah masuk dalam satu perguruan tinggi negeri yang memiliki pengajar kebanyakan full teori. Ada juga yang ingin sekadar lewat. Ada pula yang ingin mendapatkan gelar hanya karena tuntutan pekerjaan. Ini didominasi oleh para pegawai negeri sipil yang sudah menjabat atau pun dosen yang sudah harus mengantongi gelar di akhir tahun 2010 nanti.
Tak sedikit pula yang melanjutkan studi karena mendapat sokongan penuh dari sang orang tua sehingga tugas pribadinya hanyalah belajar dan berusaha menyelesaikannya secepat mungkin.
Jika dilihat lagi dari sumber dana yang dipakai, ada yang mendapatkan beasiswa dari perguruan tinggi yang menaunginya. Tentu saja sebagian besar penerima beasiswa ini ya dari kalangan dosen pengajar tingkat sarjana. Namun ada juga yang pakai uang tabungan bertahun-tahun hasil simpanannya selama bekerja sampingan. Terakhir adalah golongan yang mengutang pada bank dan dicicil setiap bulan potong gaji. Aduh!
Namun tak semua merasakan enjoy menjalani hari-hari kuliah maupun mengerjakan tugas. Sebab lantaran rata-rata sudah bekerja dengan jam kerja padat. Tapi ada juga yang tipikal murid sekolahan, meski dia itu dosen tingkat sarjana lho. Tipikal murid sekolahan maksudnya, lebih berandai-andai dosen pengajar tidak datang dan tidak ngajar tapi ngasi nilai A, juga pengennya libur terus. Hehe…
Tidak sedikit pula yang nyontek tugas mahasiswa lain pas hari pengumpulan. Hmmm, budaya sekolah. Hehe…
Hari gini punya gelar pascasarjana tak selalu membuat dada membusung. Ada tipe mahasiswa yang merendah, bahwa gelar sarjana saja masih ngerasa malu untuk disandang lantaran pengalaman praktik tak seoke yang dibayangkan orang, eh malah ini mau nyandang gelas pasca. Wah, apa kata dunia?
Bukan apa-apa sih, tapi karena masyarakat sudah tau dan memaklumi bahwa gelar itu bukan lagi menjadi tolok ukur tingkat intelektualitas seseorang, namun lebih dilihat dari kemampuan finansial dan juga kedudukan seseorang.
Ini diperkuat dengan banyaknya pejabat yang berlomba-lomba memasang gelar pascasarjana mereka padahal mungkin gelar itu tak sepenuhnya ditempuh alias dibeli Rp 20 sampai Rp 30 juta per gelar. Mau gelar apa saja juga ada.
Unsur politis juga tak kalah banyak, dengan membeli gelar yang biasanya dianugerahkan kepada politisi sukses dalam bidangnya. Gelar doktor Honoris Causa ramai diberikan biasanya menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau pun kampanye. Nama nongol di koran dengan kesuksesannya di bidang ini itu.
Tak sedikit pula para pejabat tinggi negeri ini maupun orkay alias orang kaya lokal dan nasional yang menyandang gelas Doktor hingga Profesor.
Pengalaman menarik dialami ketika mengenal sosok famili yang dahulunya begitu sederhana, bahkan SMA pun tak diselesaikan karena faktor biaya, eh saat anaknya yang ke-2 mantu, mendadak nama sang famili berisi embel-embel Prof. DR. Wah, kapan sekolahnya nih?
Kembali ke famili tadi, pemasangan embel-embel itu tidak lama kok. Saat anak ke-3 sekaligus terakhir mantu, embel-embel gelar tadi tak dipampang lagi di kartu undangan.
Entah karena merasa malu diketahui banyak orang gelar itu dari membeli atau malah baru menyadari kalau gelar bukan sesuatu yang harus dibanggakan dan dipampang pada selebaran, kartu undangan maupun stiker kampanye- mengingatkan pada seorang tokoh membagi-bagikan stiker pada yang mudik untuk milih sang bakal calon. Huh!
Tapi jangan berharap banyak kalau yang namanya gelar di belakang nama itu kemampuannya bakalan sama dengan gelar zaman presiden Indonesia pertama masih mimpin. Ya itu dah, gelar masih bisa dibeli biar sedikit lebih keren kalau namanya terpampang di koran pas lagi ngomong.
Satu lagi. Tidak menjamin pula kalau gelar yang panjang bakalan bikin orang yang menyandangnya berpikir untuk realistis dan down to earth. Malah kecenderungan orang-orang kayak gini, malah full teori tanpa ada praktiknya. NATO-No Action Talk Only.
Terus yang namanya pergaulan sudah tidak bisa gabung lagi dengan rakyat kelas bawah, dan kalau lagi diganggu waktunya, golongan ini malah lebih sayang membuang waktu hanya untuk ngobrol panjang lebar lepas kangen.
Anyway terakhir ada juga gelar yang asik disandang tanpa perlu mikirin beban. Gelar tiker trus bobo. Huehehe.. [b]
wah sebegitu parahkah?, atau terlalu pesimis atau sedikit sample sajah atau apa saja lah………kuliah ga saja mengejar gelar tapi wawasan dan koneksi hihiks maaf kalo saya salah……
Wah masih mending begitu bagaimana kalau yang menjual tanah warisannya, that even worse.
Diluar negeri sana ketika sebuah gelar pendidikan diraih menjadi kebanggaan dan orang benar-benar kagum dengan pencapaian mereka, sedangkan disini…??? Level intelektual orang yang kagum (NGON)pun… Duh you can imagine it.
Tapi tidak bisa dipungkiri “kesan/gengsi” sangat berperan penting di culture masyarakat Bali. Jangankan gelar, mau ngantor berpakaian rapi/berkostum membuatnya napak “lebih”. Dari rumah pakai kemeja, celana bahan, sepatu pantopel padahal di bagasi motornya bawa “cetok”…iya mau nukang hahahaha
Mungkin kalau saya menyandang salah satu gelar akademis mungkin saya tidak akan berkomentar negatif tentang issue ini. But thanks god I don’t have a degree tittle hahaha
hoahemmm…..bazziiiiiii
hehehe… Sori Pak Made Rotten
Wah…wahhh….
Segitu parahkah.
Tapi benar juga, banyak sarjana yang tidak mampu menunjukkan kesarjanaannya.
Memang memprihatinkan fenomena ini. Universitas di Indonesia punya dosa karena dengan sadar atau tidak, dengan alasan mencari tambahan dana, menawarkan program pendidikan cepat. Dan di situ gelar lebih penting daripada ilmu.
Pemerintah dosa karena melaksanakan usulan IMF dengan terlalu bernafsu. Dunia pendidikan yang harusnya boleh tidak dijadikan komoditas dagang, eh.. didagangkan. Dicabut subsidinya, sehingga SPP di kampus negeri di Indonesia 10 kali lipat harganya, dibanding SPP di Jerman. Emang orang Indonesia lebih kaya kok dibanding orang jerman.
Akibatnya, hanya yang punya uang yang bisa kuliah, dan kini bukan lagi ilmu yang dikejar, tapi gelar. Tak akan pernah ada lagi, anak tukang becak bisa jadi dokter.
Kita juga salah, kalau fenomena ini hanya kita jadikan bahan olok2…
Salam
Faried
Tulisan Abang bikin Saya, senyum dikulum…bener yang Abang bilang, Sarjana sekarang bukan gelar yang berbobot yang menandakan si empunya adalah orang berilmu dan berwawasan luas, sekarang gelar sarjana lebih karena buat keren-kerenan aja…
Saya, masih mahasiswa angkatan menjelang fosil dari Fakultas ilmu komunikasi di salah satu perguruan swasta di kawasan elite Jakarta Selatan, sekarang kerja diperusahaan swasta dimana kerjaan saya cuma jadi resepsionis…tapi saya punya sampingan “Jasa konsultasi skripsi”…pemasukan saya dari jasa ini lebih gede dibanding gaji saya diperusahaan.
Kadang, saya miris juga liat mahasiswa sekarang, sekaligus dosen-dosennya…para dosen lebih seneng bikin program cuci gudang gede-gedean baiar kapastitas untuk mahasiswa baru lebih banyak, maka mereka tutup mata laiat mahasiswa bikin skripsi dipojokan rental-rental kampus atau jasa konsultasi skripsi lainnya, lebih miris lagi para dosen itu ilmunya ternyata “cuma seupil” bahkan ada dosen yang bimbing klien saya itu “enggak tau apa-apa”…saya sampe mikir “si dosen pembimbing itu, ngeraih gelarnya dimana? koq enggak ngerti teori komunikasi sedikit juga, ngasih bimbingan ngawur?….
Saya jadi berpikir, jangan-jangan dosen-dosen jaman sekarang dulunya juga para mafia yang bikin skripsi di pojokan rental-rental kampus atau pengguna jasa konsultasi seperti saya,heeheee. Jadi, sekarang bukan hanya indomie atau makanan lainnya aja yang instant, sarjana juga instant.