Oleh Anton Muhajir
Senin pagi ini saya pikir sudah tidak ada masalah akibat hujan yang mengguyur Denpasar empat hari terakhir. Sebab, di Jalan Subak Dalem, di mana saya tinggal sudah tidak ada lagi banjir. Air sungai kecil di dekat rumah memang masih tinggi dan deras arusnya, padahal biasanya kecil dan relatif tenang, namun tidak sampai masuk ke gang.
Maka, pagi ini saya berangkat ke kantor dengan perasaan santai saja. Maksudnya tidak berpikir bahwa harus mempersiapkan mental untuk menghadapi banjir. Eh, ternyata salah. Banjir masih terjadi di beberapa titik di Denpasar.
Hujan deras yang mengguyur Denpasar, bahkan menurut koran terjadi di sebagian besar wilayah Bali, ternyata masih menyisakan banjir.
Minggu pagi kemarin, Catur Hariani, teman di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Sanur kirim pesan pendek (SMS). Tempat tinggalnya kebanjiran. “Banjir di Jalan Hangtuah. Rumah masyarakat Banjar Belong terendam, termasuk kantor PPLH ikut terendam,” begitu isi SMS Catur.
“Air di subak meluap. Got pinggir jalan mampet. Jadilah meluap merusak tembok-tembok rumah. Masuklah air dalam rumah. Posisi masyarakat Banjar Belong landai, jadi air gampang masuk rumah. Sekolah SD 2 di Sanur terendam selutu. Untung hari Minggu. Belakang sekolah air setinggi pinggang. Hadiah awal tahun,” tambah Catur.
Sekitar pukul 11.30 Wita, ketika cuaca sudah agak terang tanpa rintik hujan, saya dan anak istri main-main ke kantor PPLH Sanur di Jalan Hangtuah. Air sudah tidak meluap sampai masuk rumah. Namun, masih terlihat bekas-bekasnya. Seorang ibu sibuk mengepel lantai. Buku-buku dijemur karena basah terkena air.
Di depan kantor PPLH beberapa barang dipakai untuk menghalang air masuk: papan, vas bunga, sampai batu ditaruh di depan pintu gerbang persis di samping aspal.
Kalau di kantor PPLH sudah mendingan, di sekitarnya masih jelas terlihat. Di salah satu jalan di timur kantor PPLH, gang-gang di sana masih terendam hingga setinggi lutut.
Ketika kami sedang asik melihat dan memfoto sisa banjir di Sanur, Pande ArtaWibawa, teman sesama blogger yang juga Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten Badung juga kirim SMS. Teman yang lebih senang dipanggil dengan nama Pande Baik itu mengabarkan kalau banjir juga terjadi di Jalan Dewi Sri, Kuta.
“Live report. Jalan Dewi Sri – Sunset Road Kuta terendam banjir. Tidak bisa dilewati. Saya jamin besok naik di halaman 1 Radar Bali,” tulisnya lewat SMS.
Sorenya, Pande sudah menulis panjang di blognya tentang suasana banjir di jalan tersebut lengkap dengan analisis penyebab dan foto-fotonya.
Lalu, pagi ini saya melihat sendiri bahkan terkena dampak banjir tersebut.
Ketika melewati bagian timur Jalan Waturenggong Denpasar Selatan, air ternyata masih mengalir deras sampai jalan. Tingginya di bawah lutut. Tidak terlalu tinggi memang, namun lumayan bikin repot. Hampir semua pengendara motor harus angkat kakinya tinggi-tinggi biar tidak basah. Maklum, rata-rata sudah berpakaian rapi jali untuk ke kampus, kantor, atau sekolah.
Sebagian orang mencoba menghindari banjir di Waturenggong ini dengan lewat Jalan Tukad Irawadi tembus Jalan Tukad Sanghyang. Tapi justru ini bikin macet jalan karena jalan ini memang relatif lebih sempit.
Kemacetan panjang tak terhindarkan mulai dari Jalan Tukad Pakerisan. Panjangnya hampir sampai Jalan Bedugul. Kurang lebih 2 km. Lucunya tidak ada polisi sama sekali yang mengatur kemacetan ini.
Banjir lebih besar juga terjadi di Jalan Tukad Petanu. Ini lebih parah. Hampir sepanjang jalan yang menghubungkan Jalan Tukad Pakerisan dan Jalan Kerta Dalem ini airnya masuk ke jalan sampai setinggi lutut. Saking tingginya air, motor saya sempat mati ketika di tengah jalan.
Air yang meluber itu juga bikin sekolah playgroup dan TK di Jalan Tukad Petanu libur. Beberapa orang yang sudah mengantar anaknya terpaksa kembali. Seorang bapak di depan sekolah itu terendam sampai pinggang.
Perumahan di sekitar Jalan Kerta Dalem juga mengalami hal yang sami mawon. Beberapa orang berjalan di air dengan tubuh terendam sampai dada. “Kemarin malah sampai leher,” kata Kadek Sulastama, penjaga di kantor.
Minggu kemarin, kata Kadek, memang ada banjir lebih besar. Makanya sampai ada tenda darurat untuk tempat warga mengungsi. Beberapa calon anggota legislatif juga nyumbang bantuan pada korban banjir. Mumpung ada kesempatan.
Sungai di sepanjang jalan yang biasanya miskin air juga kebanjiran sampai meluap. Dalamnya mungkin sampai 2 meter.
Sawah-sawah juga tergenang. Padahal padinya baru saja ditanam. Kasihan juga petaninya.
Melihat air di sungai yang meluap dan sawah yang tergenang, saya jadi mikir, “Kok serasa tinggal di Amsterdam ya.” Soale Denpasar kan tingginya sekitar 75 meter di atas permukaan laut, tapi kok sama saja dengan kota di bawah permukaan air laut.
Apalagi ketika saya lihat di sawah yang tergenang. Sawah luas itu jadi mirip danau dengan bayangan Gunung Agung nun jauh di sana juga terlihat. Asik juga pemandangannya.
Mungkin kini saatnya Denpasar, atau Bali, melirik pariwisata banjir. Biar banjir juga bisa jadi berkah. Hehe.. [b]
yang mirip amsterdam itu lebih pas di perumahan sidoarjo deket lumpur lapindo. Perumahan kan dikelilingi tanggul, kaya di londo sono. Tapi bedanya, tanggul di londo jadi tempat foto2 pre wedding.
kalau denpasar bukan 75 di atas permukaan laut, tapi 75 m di bawah permukaan sungai, yang terus meluap karena SAMPAH.
wah, judulnya provokatif…hahhaa..salut! ironis memang!
waktu ini sempet ngeliati orang2 pada dateng ke kali waktu banjir dateng beberapa hari yang lalu, sampek2 ada yang mendulang rejeki waktu ikan2 di kali gampang ditangkap ..
kayaknya sudah bisa di jadikan wisata banjir deh mas..he