Pergantian tampuk kekuasaan tidak lama lagi akan diselenggarakan.
Seperti lima tahun lalu sebelum tonggak kekuasaan digantikan, para calon legisiatif bertarung untuk mendapatkan hati publik untuk memilihnya. Tidak beda dengan tahun ini, berbagai cara dilakukan oleh para calon untuk mendapatkan hati publik demi sebuah gelar anggota Dewan Perwakilan Rakyat, walaupun dengan cara mendobrak etika dan estetika yang sudah ditetapkan.
Komisi Pemilihan Umun (KPU) sebagai pihak penyelenggara kian disibukan dengan menujunya pesta demokrasi di Negara ini. Berbagai pesiapan sudah dilakukan, mulai dari verifikasi parpol, menyusun dan mengoreksi daftar pemilihan tetap. Begitu juga dengan aturan masa kampanye dan atribut kampanye yang diatur dalam Peraturan KPU.
Masing-masing kandidat dari berbagai daerah siap bersaing dalam memperebutkan jatah kursi untuk mewakili rakyat sebagai anggota dewan. Di Pulau Bali salah satunya. Pulau yang terkenal akan adat, budaya dan keindahan di setiap sudut pandang kita memandang, kini sudah dihiasi akan berbagai foto wajah orang yang bisa saja dikenal ataupun tidak dikenal publik.
Alih Fungsi
Hiruk pikuk kota Denpasar selain disesaki asap kendaraan, menjelang perhelatan pesta demokrasi ini, mata kita juga disesaki pemandangan Baliho calon legisiatif (caleg). Di setiap mata memandang, maka sudut –sudut jalan, ruang publik dan bahkan pepohonan menjadi alih fungsi sebagai penyangga pemilik baliho yang kian “narsis” tanpa memerhatikan lingkungan sekitarnya.
Hampir di setiap ruang publik terdapat banyaknya baliho para caleg. Tidak hanya para caleg, organisasi massa (ormas) juga ikut. Mereka semua seakan beradu banyak-banyakan baliho yang dipasang untuk mengenalkan mereka terhadap publik. Mereka mungkin beranggapan ini penting untuk ajang eksistensi terhadap publik, dan bahwa sebenarnya tidak dapat disalahkan juga karena memang ada aturan yang mengatur untuk menggunakan ruang publik.
Baliho memang menjadi bahan dasar dalam pertarungan mereka, para caleg. Maka tak heran jika kita melihat baliho mereka saling beradu untuk mengenalkan diri mereka sebagai kandidat yang “memaksakan” rakyat untuk memercayai dan memilihnya. Bahkan bisa saja bagi mereka, semakin banyak baliho yang mereka pasang, semakin besar peluang mereka untuk terkenal sehingga rakyat akan memilihnya.
Namun, sayangnya, beberapa caleg ini sengaja ataupun tidak sengaja melupakan aturan pemasangan baliho mereka. Padahal KPU dalam aturan pemilu sudah secara jelas mengatur pemasangan baliho bagi para kandidat sesuai dengan Peraturan KPU No. 15 tahun 2013. Bagaimana kita bisa memercayai mereka mewakili rakyat ketika belum menjadi wakil kita saja mereka sudah melanggar aturan?
Salah satu pelanggarannya adalah menggunakan paku untuk memasang wajah mereka di pepohonan jalan raya. Hal ini telah melanggar Peraturan KPU No. 15 tahun 2013 pasal 17 ayat 1 (a) berbunyi, ”Alat peraga kampanye tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan”.
Seakan tak ada yang menindak termasuk pengawas pemilu yang sibuk “mengangkang” tanpa ketegasan ataupun menegur para kandidat nakal ini. Bila hal ini dibiarkan terus maka panggung politik yang citranya sudah buruk akan menjadi semakin buruk lagi bagi masyarakat. Ruang publik seharusnya menjadi milik public yang diatur untuk kenyamanan bersama, bukan milik private untuk kepentingan golongan dengan menghidahkan peraturan.
Laksana Halilintar
Bila saya mengulang cerita 5 tahun lalu, maka saya akan mengingat ketika masing-masing kandidat sedang berkampanye. Berbagai cara dilakukan oleh para kandidat untuk mengenalkan diri dan kebaikannya kepada masyarakat calon pemilihnya. Janji perbaikan untuk menyejahterakan masyarakat adalah hal utama yang mereka tidak akan lupa ucapkan. Namun hal yang menarik adalah cara mereka menggunakan ruang publik untuk berkampanye.
Ada berbagai cara yang dilakukan oleh para kandidat, di antaranya pawai dengan massa pendukungnya. Ketika melihat cara mereka pawai, maka layaknya sang penguasa jalanan tanpa memikirkan warga lainya yang juga sebagai pengguna jalan raya sedang melintas. Hal ini sebenarnya dapat mengurangi citra si kandidat dalam berkampanye.
Mobil besar dengan asap kendaraan yang besar pula, serta motor dengan kenalpot dibedel sehingga mengeluarkan suara laksana halintar dengan berugal-ugalan membawa motornya yang berharap menjadi perhatian masyarakat dan mengenalkan calonnyalah adalah orang yang paling tepat untuk dipilih. Logika sederhananya, apa iya? Kalau bagi saya ini jelas TIDAK. Bagaimana mengatur puluhan ribu rakyat, mengatur massanya yang ratusan saja tidak tertib.
Ada juga berkampanye dengan menggunakan media sebagai alat perpanjangan politiknya. Dalam buku sosiologi politik, Michael Rush & Phillip Althof mengatakan selain organisasi yang bersifat formal dan kontak antara individu-kelompok individu sebagai alat komunikasi politik, peranan media juga sangat penting dalam komunikasi politik seperti halnya dalam acara-acara yang padat dengan masalah politik. Ruang publik ini yang digunakan untuk mendapatkan perhatian lebih. Sehingga publik membutuhkan cerdas media untuk melihatnya.
Bilamana nantinya media dengan gelombang frekuensi yang ada digunakanan sebagai alat pencitraan para kandidat untuk mendapatkan kekuasaan maka publik sebagai konsumsi media hanyalah akan memakan sampah-sampah bertaburan visi dan misi palsu yang terbungkus rapi di sebuah tayangan bergambar.
Ruang publik dalam public menuju perhelatan di tahun 2014 harus cerdas kita amati. Pilihlah kandidat yang peduli akan lingkungan dan dapat serta kita yakini membawa kita ke pintu gerbang kesejahteraan dengan juga melihat latar belakang para kandidat. Untuk itu saya tutup tulisan ini dengan sebuah ungkapan Glenn Fredly, “Apa artinya menjadi manusia merdeka jika tidak bisa memerdekaan orang lain?”
Semoga pesta demokrasi melahirkan orang yang bisa memerdekaan kita. [b]
ini akibat dri aturan KPU yg masih lemah. banyak caleg memasang baliho di LAHAN rumah/tembok milik PRIBADI tetapi berada/terlihat di pinggir jalan. nah sejauh ini belum ada regulasi KPU yg mengatur tentang itu.