Sumber : Jurnal Nasional/7 April 2008
(Rubrik : Gelanggang)
Dalam menggerakkan proses kreatifnya, Wayan Sunarta sengaja menjelajahi berbagai pemikiran dan mengakrabi aneka karya kreatif dari para sastrawan ternama, nasional maupun mancanegara. Namun, lingkungan terdekatnya, Bali, tak pernah melepaskannya dari kebijakan hidup seorang pemikir lokal yang memilih hidup sederhana dan senang bertualang. Berikut obrolannya bersama Jurnal Nasional.
Apa kabar?
Agak baik dan agak sehat. Cuaca di dalam diri dan di luar diri semakin tidak menentu akhir-akhir ini.
Bisa digambarkan proses kreatif Anda sejak awal?
Saya mulai jatuh hati dengan puisi ketika duduk di kelas 2 SMP. Di perpustakaan sekolah saya menemukan buku tipis berjudul “Hari-hari Akhir Si Penyair” yang disusun Nasjah Djamin. Buku itu menceritakan kehidupan penyair legendaris Chairil Anwar. Buku itu pula yang menjadi salah satu penuntun saya mengarungi lautan puisi.
Kemudian pergaulan kreatif di Sanggar Minum Kopi di Denpasar, dan pertemuan-pertemuan tak terduga dengan Umbu Landu Paranggi dan para penyair senior di Bali semakin mematangkan wawasan dan proses kreatif saya.
Bagi saya, puisi merupakan suatu wilayah sublim, dari mana saya bisa belajar banyak hal, terutama kehidupan dan keindahan dalam maknanya yang tak terbatas. Mencipta puisi merupakan usaha menyusun mosaik kaca menjadi cermin, dari mana saya mencoba mengenali kembali kepingan-kepingan jiwa dan kenangan yang hilang, juga jejak-jejak perjalanan hidup yang tidak akan pernah saya tahu akhirnya. Di dalam puisi, saya mengalami proses, yang saya yakini mengarah pada penemuan jati diri.
Ada penyair lain yang secara khusus mempengaruhi Anda?
Yang mengesankan saya selain puisi-puisi Chairil Anwar, adalah puisi-puisi Kirjomulyo yang terkumpul dalam buku “Romansa Perjalanan” terbitan Pustaka Jaya. Saya menyukai buku itu mungkin karena saya hobi berpetualang. Namun pada saat yang sama saya juga membaca secara intens puisi-puisi Goenawan Mohamad, Rendra, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, Frans Nadjira, Umbu Landu Paranggi dan puisi-puisi penyair Bali angkatan terdahulu saya yang dimuat di Bali Post setiap minggu.
Kemudian, wawasan dan pengetahuan puisi saya diperluas melalui pertemuan dengan para penyair dunia dalam buku “Puisi Dunia” (Balai Pustaka, cet.II, 1967) yang disusun M.Taslim Ali. Kemudian, saya tertarik dengan terjemahan puisi-puisi Perancis modern, terutama keliaran puisi Arthur Rimbaud. Beberapa waktu, saya juga sempat menyerap teknik puisi dari penyair Mexiko, Octavio Paz. Saya juga menyukai buku “Tukang Kebun” karya Rabindranath Tagore. Saat yang sama saya juga membaca “Sang Nabi” karya Kahlil Gibran dan “Musyawarah Burung” karya penyair sufi Faridudin Attar.
Saat awal proses kreatif saya sebagai penyair, boleh dikatakan saya seperti kesurupan membaca puisi-puisi karya penyair ternama itu. Pada akhirnya saya tidak tahu jejak-jejak penyair siapa yang kuat mempengaruhi puisi-puisi awal saya.
Pemikir tertentu yang Anda kagumi?
Pada masa-masa SMA dan ketika kuliah, saya menyerap sejumlah pemikiran filsafat Barat dan Timur. Saya pernah tergila-gila membaca ajaran-ajaran berbagai agama dan juga kebatinan, meski tidak semuanya bisa saya serap. Saat itu kebetulan juga saya sedang menekuni ajaran kebatinan, sejenis Yoga Kundalini, dengan menghidupkan dasa (sepuluh) aksara dalam tubuh.
Namun sampai sekarang saya masih mengagumi pemikiran Ida Pedanda Made Sidemen, seorang pendeta Hindu, pemikir dan seniman serba bisa dari Sanur, Bali. Beliau ahli bangunan tradisional Bali, sastrawan yang banyak menulis kakawin, kidung dan geguritan di atas daun lontar, pemahat patung dan topeng, pembuat perlengkapan upacara dan kulkul (kentongan) sakral. Laku hidup beliau sangat sederhana dan sangat dekat dengan kehidupan rakyat jelata. Pada masa mudanya beliau gemar mengembara ke desa-desa terpencil dan belajar ilmu pengetahuan. Beliau memilih sendiri waktu meninggalnya, yakni ketika purnama bercahaya sempurna pada 10 September 1984, pada usia sekitar 126 tahun.
Salah satu petikan syair beliau dari geguritan “Salampah Laku” yang senantiasa menyala dalam jiwa saya adalah berbunyi “…tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin..”. Terjemahan bebasnya kira-kira begini: kalau tidak punya tanah sawah, tanah dalam dirimu tanami (dengan aksara dan pengetahuan) .
Dalam kehidupan sehari-hari saya menerapkan ajaran beliau dengan menyemai benih-benih pengetahuan pada hamparan jiwa saya, sebanyak yang saya mampu. Ketika benih-benih pengetahuan tumbuh dan berbuah, maka sudah kewajiban saya membagikan buah itu kepada orang-orang yang memerlukannya. Inilah Jnana Yoga, dan menulis puisi merupakan salah satu langkahnya. Pada hakikatnya hidup adalah memberi dan menerima.
Oya, apa buku Anda terbaru? Puisi? Cerpen? Tentang apa?
“Impian Usai” dan “Malam Cinta”. Keduanya buku kumpulan puisi yang terbit tahun 2007. Pada Agustus 2007 saya menerbitkan “Impian Usai”. Saya terbitkan sendiri di bawah naungan Kubu Sastra. Ongkos cetaknya saya kumpulkan dari bantuan teman-teman donatur dan sponsor. Kebetulan 50% dananya dibantu oleh Gubernur Bali bekerjasama dengan Perpustakaan Daerah Bali, dalam rangka program Anugerah “Widya Pataka”, anugerah untuk para penulis Bali yang produktif namun susah menerbitkan buku.
Sebelumnya manuskrip “Impian usai” telah ditolak lebih dari 10 penerbit besar maupun kecil dengan alasan pemasaran buku puisi sulit. Rata-rata penerbit tidak melirik buku puisi karena dianggap susah laku dan lama mendapatkan untung. Namun saya tidak patah semangat memperjuangkan kelahiran buku puisi ini. Dan syukur ada program “Widya Pataka” itu. Buku “Impian Usai” merangkum 99 puisi yang saya pilih dari tahun 1992 sampai 2006, selama 15 tahun karier saya sebagai penyair.
Sedangkan “Malam Cinta” diterbitkan Bukupop pada Desember 2007. Buku ini merangkum puisi-puisi saya yang tercecer. Oya, kumpulan puisi pertama saya yang berjudul “Pada Lingkar Putingmu” juga diterbitkan oleh Bukupop pada bulan Juli 2005.
Apa perbedaan signifikan dengan karya-karya sebelumnya?
Secara umum perkembangan proses kreatif saya lebih terlihat di buku “Impian Usai”, sebab urutan puisi disusun berdasarkan tahun penciptaan dan terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan pembagian waktu lima tahunan.
Buku “Pada Lingkar Putingmu” dan “Malam Cinta”, oleh penerbitnya tidak dicantumkan angka tahun penciptaan karya. Pemilihan dan penyeleksian puisi juga dilakukan oleh penerbitnya sendiri. Di dua buku ini agak susah mendapatkan kronologi proses kreatif saya. Puisi-puisi yang dimuat cenderung tidak berurutan, baik secara tahun maupun tema garapan.
Tanpa mengurangi terima kasih saya pada penerbit Bukupop, secara umum saya menganggap “Impian Usai” merupakan buku puisi saya yang paling utuh dan komprehensif ditinjau dari proses kreatif saya selama 15 tahun menjadi penyair.
Anda terlibat langsung dengan perkembangan sastra di Bali sekarang. Apa saja kegiatannya?
Perkembangan dan pertumbuhan sastra di Bali sangat menggairahkan. Hal ini tentu tidak terlepas dari peranan Umbu Landu Paranggi yang mengasuh rubrik puisi di koran Bali Post sejak tahun 1980-an. Dari ruang sastra yang diasuh Umbu itulah kemudian bermunculan penyair-penyair Bali yang kini dikenal tidak hanya di kancah nasional, namun juga internasional.
Nama-nama seperti Oka Rusmini, Cok Sawitri, Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Sindu Putra, Suwati Sidemen, Tan Lioe Ie, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan Putra, Putu Vivi Lestari, Komang Ira Puspitaningsih, Pranita Dewi, dan sejumlah nama lainnya tidak bisa dilepaskan dari peranan Umbu yang terus menerus menyalakan api kreativitas bersastra dalam jiwa mereka.
Saya tidak bisa membayangkan seperti apa dunia sastra di Bali tanpa sosok Umbu. Umbu tak kenal lelah mengembalakan anak-anak asuhnya ke padang-padang sabana sastra yang lebih luas, bahkan hingga detik ini. Umbu tidak mengajar puisi secara langsung, melainkan menyediakan ruang bagi perkembangan kepenyairan mereka dan terus menerus menyalakan semangat mereka untuk menulis puisi.
Namun Umbu tidak bermaksud mencetak barisan penyair, melainkan manusia yang berwawasan puisi dalam arti seluas-luasnya. Bahkan kini anak-anak muda yang pernah menulis puisi di rubriknya banyak yang telah menjadi dokter, hakim, insinyur, dosen, guru, pejabat, pentolan LSM, pejabat swasta, namun semua masih menyimpan kegelisahan untuk berpuisi.
Selain Umbu?
Selain Umbu, pada tahun 1990-an kegairahan berpuisi juga dinyalakan oleh Sanggar Minum Kopi (SMK) yang setiap tahun mengadakan lomba cipta puisi tingkat nasional dan lomba baca puisi se-Bali. Penggerak SMK waktu itu antara lain Tan Lioe Ie, Putu Fajar Arcana (kini wartawan Kompas), K. Landras Syalendra, GM Sukawidana, Warih Wisatsana. Saya pernah terlibat di SMK pada tahun 1993 sampai bubarnya SMK tahun 1995. Beberapa penyair nasional dari luar Bali pernah bersentuhan langsung dengan SMK. Bahkan di SMK juga sebagian proses kreatif saya digodok lewat berbagai macam diskusi dan belajar bersama. Umbu dan Frans Nadjira juga sering nongkrong di SMK dan tidak bosan menyemangati kami untuk menggauli sastra.
Selain SMK, pada periode 1990-an itu pertumbuhan sanggar dan komunitas sastra juga semarak. Hampir semua kabupaten di Bali ramai dengan kegiatan sastra. Ada yang digelar oleh sekolah dengan mengundang bintang tamu sastrawan daerah. Ada yang digerakkan oleh para aktivis kampus. Bahkan diramaikan oleh banjar/dusun dengan pagelaran lomba baca puisi setiap 17 Agustus. Saya rasa puncak pertumbuhan aktivitas sanggar dan komunitas sastra di Bali ada pada periode ini.
Tetapi, yang jelas, pengalaman dan pergaulan di SMK terus membekas dan menjadi semangat kreatif dalam diri saya untuk membangun pergaulan-pergauala n kreatif berikutnya. Misalnya, akhir 1995, saya bersama sejumlah kawan mendirikan Sanggar Purbacaraka di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Pada tahap awal, kami menggunakan tradisi, pola pergaulan dan kegiatan ala SMK, seperti menggelar lomba cipta dan baca puisi nasional, diskusi sastra, jalan-jalan kreatif mencari hawa puisi, dan sebagainya.
Peran komunitas, pemerintah, perguruan tinggi, pergaulan internasional, dll?
Pada tahun 2000 saya mendirikan Komunitas Kembang Lalang bersama kawan-kawan sastrawan muda di Denpasar, Bali. Ruang lingkup kegiatannya lebih pada belajar bersama, diskusi karya, meramaikan kegiatan sastra, dan menerbitkan Jurnal Kebudayaan Sundih.
Sekarang ini secara umum kegiatan-kegiatan kesusastraan di Bali diramaikan oleh sanggar-sanggar yang dibentuk di tingkat sekolah dan biasanya berkolaborasi dengan kegiatan teater sekolah. Kini, Warih Wisatsana mengikuti jejak Umbu untuk mengembalakan anak-anak asuhnya ke padang sabana sastra yang lebih luas. Dan hasilnya bermunculan sejumlah nama yang mulai dikenal di tingkat nasional.
Pergaulan internasional, dalam arti turisme, tidak membawa pengaruh langsung pada kegairahan bersastra di Bali. Festival sastra internasional tahunan yang digelar di Ubud sejak 2004, juga tidak berdampak banyak pada perkembangan sastra di Bali. Malah kesan yang muncul festival itu lebih bersifat bisnis dan turistik dengan menjadikan Ubud sebagai maskot yang eksotis.
Peranan pemerintah juga tidak terlalu menonjol dalam pertumbuhan sastra Indonesia di Bali. Sebab secara umum kesenian modern (termasuk kesusastraan) di Bali masih dianggap anak tiri dibandingkan dengan kesenian tradisional yang lebih menjanjikan dipakai mendulang dollar. Sebab turis datang ke Bali bukan untuk menonton teater modern atau orang baca puisi, melainkan melihat tari legong atau menonton kecak.
Anda sering “berjalan” ke daerah lain di Indonesia, apa yang Anda temukan? (dalam konteks sastra).
Pengalaman berkunjung ke daerah lain di Indonesia adalah berkat puisi. Biasanya saya diundang dalam suatu peristiwa sastra, diundang untuk baca puisi dan mengikuti diskusi sastra. Dalam konteks sastra, saya melihat gairah bersastra tumbuh subur di daerah-daerah yang pernah saya kunjungi. Misalnya Yogya sudah lama menjadi barometer perkembangan sastra di Indonesia, selain Jakarta, Bali, Lampung dan Bandung. Daerah-daerah tersebut terus menyala dengan kegiatan-kegiatan sastra, bahkan dalam skala nasional.
Yang saya salut dari daerah-daerah tersebut, kegiatan sastra di kampus justru lebih meriah ketimbang kegiatan sastra kampus di Bali sekarang ini. Dan sebenarnya dari kegiatan sastra di kampus itulah banyak bermunculan sastrawan-sastrawan mumpuni yang mampu mengharumkan nama daerahnya masing-masing. Hal itu telah terbukti di Lampung dan Yogya.
Tapi beberapa daerah sekarang ini terkesan “tidur”, bagaimana pendapat Anda? Apa kendalanya? Bagaimana cara membangunkannya?
Saya rasa kegairahan bersastra itu seperti virus. Kalau ingin sastra menjadi wabah, maka mesti ada agen pembawa dan penyebar virusnya, tentu dengan berbagai cara. Misalnya, bisa lewat tokoh sastra berpengaruh yang sudi turun dari menara gadingnya untuk tak kenal lelah menyebarkan virus sastra di tengah anak-anak muda yang haus akan pengetahuan sastra. Atau lewat perlombaan-perlomba an dan festival-festival sastra di daerah setempat.
Saya rasa di setiap daerah pasti ada banyak anak-anak muda atau remaja yang ingin menggauli sastra atau ingin jadi sastrawan. Namun terkadang mereka seperti anak-anak ayam yang kehilangan induk. Keadaan ini diperparah lagi dengan tidak adanya atau minimnya ruang media massa di daerah yang bisa mempublikasikan karya-karya mereka. Sebab publikasi penting untuk memotivasi mereka.
Anda mengikuti perkembangan sastra internasional? Bagaimana pendapat Anda? Siapa yang jadi perhatian Anda? Kenapa? Apa pula pendapat Anda tentang “jauhnya” Nobel dari Indonesia.
Secara khusus saya tidak terlalu mengikuti perkembangan sastra internasional. Namun ada beberapa karya penyair dunia yang saya kagumi, seperti beberapa karya Rimbaud, Oktavio Paz, Rabindranath Tagore. Saya kesengsem dengan puisi-puisi Rimbaud yang surealis dan penuh nuansa kelam. Tentu juga saya terpesona dengan jalan hidupnya yang dramatis. Saya menyukai karya Oktavio Paz karena metafora-metaforany a yang unik dan surealistik, terkadang membaurkan ikon-ikon Barat dan Timur ke dalam sebuah puisi utuh. Saya menyukai karya-karya Tagore karena sisi relegius dan perenungannya.
Jauhnya hadiah Nobel Sastra dari Indonesia, saya kira bukan persoalan kualitas karya, melainkan ada banyak faktor kepentingan politik yang dimainkan oleh panitia Nobel. Selain itu juga faktor dunia sastra di Indonesia yang semakin merosot kesehatannya.
Misalnya, Pramoedya Ananta Toer berkali-kali dicalonkan sebagai kandidat Hadiah Nobel, namun selalu gagal. Saya rasa ini bukan persoalan karya, namun lebih pada campur tangan politik sastra dalam negeri sendiri. Saya pernah mendiskusikan ini dengan seorang kawan penerjemah dan peneliti Sastra Indonesia dari Swedia. Kawan saya itu curiga kegagalan Pram meraih Nobel karena memang ada beberapa sastrawan senior kita yang pernah berseberangan ideologi dengan Pram yang masih belum ikhlas kalau Pram meraih Nobel Sastra. Saingan-saingan Pram ini mungkin melakukan manuver-manuver politik sastra dan ideologi untuk menjegal Pram dalam kancah Nobel Sastra. Ini hanya dugaan saja, belum tentu juga benar.
Arie MP Tamba