“Aku bersedia membayar tumbal untuk anak-anakku agar menjadi anak ayahku untuk seluruh masa depan demi masa kini – Zarathustra”
Beberapa waktu sebelum hari ini (atau mungkin masih?), yang kita pahami sebagai sejarah adalah kejadian-kejadian besar masa lalu yang memiliki pengaruh besar pada hidup hari ini. Masa lalu dipaparkan, diuji, dipertanyakan, dianalisa, lalu dicari pola cause and effect-nya, sekiranya dianggap penting untuk memberikan perspektif pada masalah-masalah masa kini.
Pada gilirannya, yang kita temukan adalah kejadian-kejadian besar yang dilakukan oleh orang-orang besar. Dalam pandangan Marx konsepsi tersebut hanyalah sekumpulan drama yang terdengar megah. Suara-suara kemegahan itulah yang menyeruak ke genderang telinga setiap dari kita hari ini, tidak ingatkah kau kita pernah besar? Tidak inginkah kau mencipta kebesaran serupa masa lalu?
Menurut St. Sunardi (mengikuti Nietzsche) hal semacam ini mendorong orang menciptakan hal besar tapi juga mengancam apa saja dari jaman sekarang, sejauh itu tidak termasuk dalam model kebesaran yang mereka bayangkan.
Membicarakan masa lalu, hari ini, dan masa depan, sejatinya kita sedang membicarakan waktu. Sebagai manusia, kita sedang bertarung dengan waktu yang mana kekalahan berarti kita tidak hidup di masa kini. “Ledakan dari Masa Lalu” judul pameran tunggal Ardee aka Sangut ini secara benderang membawa pergumulan masa lalu ke masa kini.
Letupan (pengalaman-pengalaman) kecil yang berakumulasi membuat ledakan (karya) di masa kini. Ardee secara tersirat memvisualkan dimensi waktu dari pengalaman personalnya. Lihat misalnya pada judul “TPA Suwung”, dimensi waktu tervisualkan dengan baik, tanpa ragu kita akan langsung menangkap nuansanya.
Gerombolan awan kemerahan menutup hampir setengah bidang karya, memantulkan bias warnanya dan mendominasi hampir keseluruhan bidang. Semburat matahari senja yang digambarkan membuat seakan-akan mata saja tak cukup untuk mencecap keindahannya, seluruh indera terpuaskan dan terasa menyenangkan, ada setitik kebahagiaan muncul ketika menikmatinya.
Beautifikasi diterapkan secukupnya, tidak berlebihan. Justru kesederhaannya yang membuat seluruh indera kita terpuaskan oleh keindahan yang melenakan. Keindahan majestik yang hadir menghindarkan beragam efek menggelisahkan, mengesampingkan amburadulnya TPA, dan polusi udara yang brengsek.
Benar kata Gramsci bahwa “Belezza e non basta – Keindahan saja tidak cukup”. Benar demikian, namun karya ini memberi jeda antar realitas (gerombolan awan) dan realitas bikinan (TPA yang amburadul). Jeda ini kemudian yang akan menentukan kearah mana kesadaran akan membawa kita.
Apakah karya ini hanya sekedar duplilkasi keindahan? Apakah ia berkisah tentang sesuatu yang melampaui keindahan itu sendiri? Apakah ia memberikan informasi tertentu dibalik keindahan yang ditampilakannya? Efek seperti apa yang akan ditimbulkan disesuaikan dengan pengalaman kita masing-masing.
Barthes dalam Camera Lucida menawarkan waktu ketiga, satori yang merupakan tahap kontemplasi. Sebuah citra (image) tidak lagi diperlukan, saat inilah subyektifitas waktu hadir. Ia tidak lagi terikat kode-kode, subyektifitas mengambil alih cara kita memandang sebuah citra berdasarkan pada pengalaman kita.
Suatu waktu, pengalaman-pengalaman subyektif ini akan menjadi kode-kode baru dan tahapan satori akan kembali menafikannya. Bukankah kebudayaan merupakan proses peremajaan kode-kode? Yang perlu dikhawatirkan adalah: ketika kita tidak memiliki kisah kita sendiri.
Dalam pameran ini, Ardee membagikan pengalaman personalnya beberapa waktu kebelakang. Sekiranya bisa dipertimbangkan sebagai salah satu usaha produksi kode-kode baru. Pengalaman yang ia bagikan dalam pameran ini dinarasikan dalam dua sudut pandang utama. Pertama bagaimana ia melihat (ke)diri(an)nya dan selanjutnya bagaimana ia melihat keluar (Yang Lain).
Sembari membagikan pengalaman memandangnya, ia juga membagikan kisah pencarian artistiknya. Dari “sekadar” drawing menuju karya grafis yang sepenuhnya memanfaatkan sampah plastik. Keterbatasan warna dari sampah-sampah plastik yang ia kumpulkan, menonjolkan kesederhanaan yang justru menjadi nilai lebihnya.
Beberapa karya, walaupun sedikit, masih menampilkan goresan ballpoint untuk menegaskan subyek visual, sementara lainnya murni memanfaatkan sampah plastik yang ia kumpulkan. Yang menarik dari proses pemanfaatan sampah plastik yang ia lakukan adalah: zero waste. Tidak ada sampah yang terbuang lagi, semua termanfaatkan dengan maksimal. Akhirul kalam, selamat menikmati kesederhanan nan majestik dari karya-karya Ardee dan selamat berpameran untuk Ardee.