Sudah begitu banyak sampah plastik terakumulasi di lautan.
Apakah ini akibat aktivitas warga yang tinggal di area sekitar pesisir atau pengunjung yang berplesir ke pantai? Apakah semua sampah plastik yang membahayakan ekosistem laut hanya berasal dari aktivitas manusia di sekitar pantai?
Tentu jawabannya tidak.
Semua manusia di manapun ia berada, bahkan yang di pegunungan pun patut bertanggung jawab terhadap sampah plastik yang terakumulasi di lautan. Mengapa? Karena semua sampah plastik yang turun ke laut, bisa terbawa melalu sungai dari hulu ke hilir.
Daerah yang merupakan puncak atau awal aliran sungai disebut sebagai hulu, sedangkan akhir dari aliran sungai disebut dengan hilir. Hilir akan bermuara ke lautan dimana aliran air sungai bertemu dengan air lautan yang luas.
Kita semua saling terhubung. Tidak hanya melalui aliran sungai, tetapi juga berpijak di planet yang sama. Daratan di Bumi hanya 29,2 persen sedangkan luas perairan 70,8 persen. Sampah plastik tidak hanya terakumulasi di daratan saja tetapi sudah tersebar di perairan.
Mamalia laut besar yang terdampar ke daratan pun sudah terbukti menjadi korban karena tidak mampu membedakan mana makanan dan yang mana sampah plastik. Sudah terkuak bahwa mereka menelan berbagai sampah plastik sehingga terakumulasi sampah di perutnya. Sampah plastik tersebut menyebabkan mamalia seperti paus merasa kenyang padahal mereka tidak dapat mencerna plastik.
Apa yang dapat saya perbuat? Tidak banyak.
Saya tidak mampu menolong paus-paus tersebut agar habitatnya bersih dari sampah plastik saat ini. Yang bisa saya lakukan adalah mengurangi agar sampah tersebut tidak menambah keadaan yang sudah memprihatinkan ini bertambah menjadi lebih buruk.
Saya tinggal di sebuah desa yang terletak di antara gunung Batukaru dan pesisir pulau Bali di sebelah barat daya. Desa saya berkontur perbukitan, dilalui sebuah sungai dan memiliki sebuah air terjun yang indah. Desa tempat tinggal saya ini bernama Desa Angkah.
Sungai yang mengalir di desa saya bernama Tukad Balian. Airnya cukup deras. Bahkan kami memiliki Bendungan Balian. Desa saya tidak memiliki lahan yang merupakan tempat pembuangan sampah akhir. Tidak ada tempat pembuangan akhir (TPA). Tidak ada tukang sampah.
Di desa, setiap rumah tangga bertanggung jawab terhadap sampah masing-masing. Hal ini yang membuat saya tertegun saat pindah domisili ke desa ini karena menikah dengan suami saya.
Tidak Mudah
Saya seorang wanita dan tentu saja setiap datang bulan akan menghasilkan sampah pembalut sekali pakai. Ini tidak mudah apalagi membuang sampah tersebut secara sembarangan bisa diacak-acak oleh anjing hingga tercecer ke jalan.
Dari sanalah saya mulai berpikir mengenai permasalahan sampah plastik. Masalah sampah pembalut, sampah popok sekali pakai anak saya, hingga ke masalah sampah plastik lain yang terus dihasilkan selama kegiatan konsumsi saya. Saya mulai berpikir bahwa sampah ini bisa dikurangi dengan penggunan alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Maka saya pun menggunakan pembalut dari kain yang bisa dicuci lalu dipakai kembali. Anak-anak saya saat bayi saya pakaikan popok kain yang memiliki kemampuan antibocor yang saya sebut clodi, singkatan dari cloth diaper. Perlahan-lahan saya terus memikirkan apa-apa saja yang tersedia alternatifnya agar tidak banyak sampah yang bisa dihasilkan di rumah.
Saya juga mendapat kesempatan untuk bisa mengajar bahasa Inggris di sebuah yayasan sosial di desa saya. Namanya Yayasan Eka Chita Pradnyan. Di sanalah saya belajar mendidik anak-anak di desa agar mendapatkan akses tambahan ilmu bahasa asing, olah raga, budaya, komputer dan ilmu tentang lingkungan yang berkelanjutan.
Saya pergunakan kesempatan ini sebagai tenaga pengajar untuk memperkenalkan kesadaran lingkungan kepada anak-anak mengenai keadaan lingkungan yang tercemar sampah plastik. Bagaimana plastik itu dapat mempermudah kehidupan kita untuk sesaat namun setelah tidak kita pergunakan, untuk jangka panjang dampaknya bisa sangat merugikan.
Sebagai desa dengan mayoritas masyarakat sebagai petani, kami bisa mendapat dampak dari pencemaran sampah plastik ini.
Berkurangnya kesuburan tanah akibat pencemaran plastik di tanah adalah salah satunya. Plastik susah terurai, jika dibiarkan di tanah akan tetap bertahan bentuknya dan mengganggu daya resap tanah terhadap air. Jika air tanah berkurang sama dengan cadangan air di tanah menipis, maka sumber air yang mengalir dari mata air bisa semakin menurun.
Selain itu keberadaan plastik di tanah yang merupakan materi anorganik akan terurai dalam rentang puluhan hingga ratusan tahun, setelah itu plastik akan menyerpih menjadi mikroplastik. Mikroplastik dapat mengganggu keseimbangan mikroorganisme pengurai di tanah, inilah yang menyebabkan kesuburan tanah dapat berkurang. Alhasil panen petani tentu dapat mengalami penurunan.
Apa yang dapat saya tawarkan kepada anak-anak pada saat itu adalah berjalan-jalan keliling sawah dan perkebunan di Banjar Samsaman tempat pusat belajar yayasan berada. Sambil berjalan-jalan, saya ajak anak-anak untuk membawa kampil atau kantong kresek besar sebagai wadah sampah plastik yang dapat dipungut di sepanjang perjalanan.
Perlu Pembiasaan
Anak-anak memang senang melakukan jalan-jalan, tetapi tidak semua mau memungut sampah plastik. Mereka sudah tahu sampah plastik itu buruk bagi keindahan desa mereka. Mereka akan belajar bahwa dampak jangka panjang dari pencemaran sampah plastik akan berpengaruh besar pula pada keberlangsungan masa depan mereka kelak.
Beberapa relawan asing yang pernah datang di pusat belajar yayasan di desa saya sudah mengerti betul mengenai dampak pencemaran plastik. Mereka bahkan ikut senang melakukan jalan-jalan keliling seputar banjar Samsaman untuk menikmati alam sambil memungut sampah plastik.
Beberapa relawan juga mengajak anak-anak untuk membuat kerajinan dari sedotan plastik bekas dan tutup botol bekas menjadi tirai, membuat botol kemasan air mineral menjadi dekorasi, pot gantung, dan tempat pensil.
Selain itu saya juga mengundang sebuah komunitas di Denpasar yang digagas oleh anak-anak muda peduli lingkungan untuk menjadi relawan membawakan kegiatan berkaitan dengan lingkungan dan mengajarkan cara membuat eco-brick untuk membuat tempat duduk.
Anak-anak di yayasan pun saya berikan contoh bahwa menangani pencemaran sampah plastik bukan hanya dengan membersihkan sampah yang sudah ada, tetapi juga dengan mengurangi timbulnya sampah plastik dari awal.
Saya selalu datang mengajar dengan membawa botol minum. Saya katakan kepada mereka bahwa dengan membawa botol minum kita dapat mengurangi sampah air minum kemasan dan lebih hemat uang jajan juga.
Selain itu saya menjadwalkan grup anak didik saya di yayasan agar masing-masing anak membawa buah dan kami dapat makan buah bersama di kelas. Makan buah potong bersama selain sehat juga bisa mengurangi timbulan sampah plastik akibat jajan makanan ringan.
Banyak hal dapat dilakukan untuk mengurangi timbulan sampah plastik dari awal. Semua itu perlu pembiasaan dan jika sudah terbiasa semua akan terasa mudah dan berjalan otomatis. Saya rasa di mana pun kita berada, kita perlu memiliki kesadaran akan ke mana sampah yang kita hasilkan ini berada. Baik kita berada di gunung, di pesisir ataupun di antaranya, umumnya sampah bisa hanyut terbawa oleh aliran sungai.
Untuk itu diperlukan pula pengelolaan sampah yang baik, pemisahan sampah organik dan anorganik juga diperlukan. Saya telah membuat lubang kompos di rumah untuk menampung sampah organik rumah tangga.
Selanjutnya pengelola yayasan pun setuju dan membuat lubang kompos juga di pusat belajar. Saya harap ke depannya desa saya akan bisa menjadi desa komposter dan memiliki bank sampah untuk menampung sampah-sampah anorganik terpilah yang bisa didaur ulang kembali. Di mana setiap warga desa yang sudah bertanggung jawab atas sampah rumah tangga masing-masing mengelola sampahnya dengan baik dan lebih baik lagi dengan mengurangi timbulnya sampahnya dari awal, dari hulu. [b]
Comments 2