Oleh Luh De Suriyani
Ekosistem Bali seperti lingkungan pesisir, hutan, dan lingkungan urban dinilai sudah tidak seimbang dan dalam situasi lampu merah. Salah satunya karena dampak industri pariwisata yang tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah. Hal ini didiskusikan dalam diskusi tentang Mengurai Kerusakan Lingkungan Bali di Denpasar, Jumat lalu. Diskusi yang digagas Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali ini dihadiri oleh aktivis lingkungan, institusi pemerintah dan mahasiswa.
Agung Wardana, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bali memaparkan sekitar 47 persen dari 430 km panjang garis pantai Bali rusak. Hanya pesisir Pantai Kuta dan Sanur yang laku. “Pantai yang tidak laku seperti Pantai Geger, Kabupaten Gianyar diambil pasirnya untuk menambah sempadan pantai di Kuta saat ini,” ujar Wardana. Ironisnya menurut Agung, pemerintah Badung tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat Gianyar dan Denpasar dalam penambangan pasir. Padahal mereka kena imbas penambangan pasirnya seperti abrasi.
Karena hotel menggunakan lahan sempadan, Agung menambahkan pesisir pantai telah terkapling dan menyulitkan warga sekitar memfungsikannya sebagai tempat publik. Menurut peraturan daerah, jarak sempadan pantai dan bangunan sekitarnya dalah 100 meter. “Namun aturan ini terus dilanggar dan membuat pengelolaan kawasan pesisir tak terintegrasi.”
Ia mencontohkan pengerukan pasir dari Proyek pengelolaan Pulau Serangan, Denpasar untuk kawasan wisata membuat arus air berubah. 0isalnya menggerus pantai Lebih, Gianyar. “ Kondisi pantai sangat curam, nelayan harus menambatkan perahu di atas dan bayar jasa penurunan jukung Rp 20 ribu.
Kasus lainnya sebut Agung adalah proyek pembangunan villa di Pantai Kelating, Tabanan yang memakan sempadan pantai. Juga proyek villa yang mengorbankan Pantai dreamland, Badung. “Perselingkuhan lingkungan terjadi dengan telanjang antara investor dan pemerintah dengan dalih proyek pengaman pantai. Warga dibohongi dengan menyebut jika ada bangunan di pantai maka aman dari abrasi dan tsunami. Ini kelucuan.”
Perusakan di kawasan urban juga, menurut analisa Walhi Bali tak tereelakkan. “Tiap tiga warga Bali punya satu kendaraan bermotor. Ini karena ketiadaan transportasi publik. Karena membludaknya kendaraan, polusi dan kemacetan tak terhindari. Pemerintah dilematis karena pajak pendapatan daerah Bali tertinggi dari kendaraan bermotor,” sebut Agung.
Ekosistem sungai juga disebut bermasalah karena hanya 162 sungai yang masih mengalir dari 400 sungai di Bali.
Sementara di kawasan hutan, terdapat alih fungsi lahan 600 hektar per tahun. Kawasan terbuka hilang. Agung memaparkan hutan di Bali hanya 22 persen dari daratan padahal idealnya 30 persen.
“Trend ecotourism wisata dunia yang tidak mengubah bentang alam dan corak produksi, diterapkan berbeda di Bali. Disini kita merubah hutan dan danau menjadi wisata ecotourism termasuk merusakan ekosistem aslinya,” kata pria muda Sarjana Hukum ini.
Kasus terakhir yang tengah ramai adalah keluarnya izin dari Menteri Kehutanan dan rekomendasi Bupati Buleleng soal proyek ekowisata di Danau Buyan dan Tamblingan, daerah perbatasan Tabanan dan Buleleng. Karena aksi penolakan warga dan aktivis lingkungan proyek ini ditolak Gubernur Bali Mangku Pastika baru-baru ini.
Akibat sejumlah masalah lingkungan itu, dampaknya adalah keterasingan masyarakat lokal dan penguasaan sumber daya alam seperti air. Walhi menyebut kebutuhan air untuk tiap kamar hotel saja sekitar 3000 liter per hari. Sementara untuk satu lapangan golf 18 hole memerlukan air tiga juta liter per hari.
Peguasaan sumber daya ini terbukti membuat penutupan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya alam dan fasilitas publik. “ Ini sangat rentan konflik karena ruang hidup warga menjadi terbatas. Kini, sejumlah masyarakat adat harus minta ijin investor untuk melasti (upacara penyucian di sumber air) di pantai,” lanjut Agung.
Belum lagi tantangan luar seperti pemanasan global. Akumulasi dampaknya akan berlipat ganda. Diprediksi pada tahun 2030 air laut naik 6 meter, lalu Kuta dan Sanur tenggelam.
Agung mengajak masyarakat mulai bergerak menolak penghancuran lingkungan ini.
Ketua Badan Pemusyawarahan Desa (BPD) Gobleg Ketut Artika yang mewilayahi Danau Buyan dan Tamblingan mengatakan telah memperingatkan pemerintah untuk menolak Taman Wisata Danau Buyan dan Tamblingan yang akan dibangun PT Anantara. Kawasan ini dianggap sebagai daerah suci yang menjaga keseimbangan kawasan.
“Jangankan buat proyek, jaman dulu, warga yang hamil dan melahirkan saja harus keluar dari desa. Hal ini yang membuat banyak warga eksodus, semata untuk menjaga kesucian wilayah danau dan hutan.” Kata Artika.
“Dua danau ini adalah kawasan sumber air. Belum dibangun saja sudah terjadi alih fungsi dari sawah jadi tegalan (kebun) karena supply air menyusut. Ini berbeda dengan 10 tahun lalu. Mohon pemerintah harus memperhatikan kasus ini. Amdal hanya di atas kertas, bersifat ekonomis bukan linkungan,” protes Artika.
Sementara Luh Kartini, akademisi dan praktisi lingkungan menjelaskan soal dampak kerusakan lingkungan Bali pada pertanian. “Pariwisata kita lahir dari budaya pertanian di Bali. Namun sekarang makin meluas perebutan air antara subak (sistem pengaturan air tradisional di sawah) dan pariwisata. Semua petani harus jadi pengusaha, kalau punya uang baru beli bibit, pestisida, pupuk. Ini pertanian konvensional yang tidak mendukung pelestarian lingkungan,” ujarnya.
Ia mengingatkan untuk meninggalkan sistem konvensional menjadi pertanian organik. “Hampir 90% petani Bali miskin. Petani dilepas dan tidak ada komisi teknologi yang menyaring bahan yang dipakai petani, jadi distributor pestisida dan pupuk langsung mendatangi petani. Subsidi bagi petani sebaiknya dengan memberikan sapi karena kotoran sapi sangat baik untuk pupuk organik dibantu mikroorganisme tanah seperti cacing,” jelas insinyur perempuan yang juga pendiri Bali Organic Ascociation (BOA) ini.
Kartini mengatakan masyarakt terus mendorong dan mengawasi pemerintah dalam kebijakan tata ruang khususnya peruntukkan wisata dan pertanian.
Hal senada dikatakan Ida Pedanda Tianyar Arimbawa, pemimpin ritual agama dan tokoh masyarakat yang aktif dalam penyelamatan lingkungan di Bali. Pedanda Tianyar mengatakan Bali sudah tidak ramah pada lingkungan dan budaya. “Kearifan lokal dalam penyelamatan lingkungan perlu didorong sebagai pengontrol kebijakan pemerintah yang pro industri pariwisata.”
I Nyoman Silanawa, Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Bali mengatakan investor memang punya kekuasaan dalam mendesakkan proyek-proyek wisata di Bali. “Kalau menolak investor siap-siap dimutasi ke daerah lain,” ujar Silanawa yang mengakui pernah “ditendang” untuk bertugas di luar Bali.
Saat ini Dinas Kehutanan berupaya menyelamatkan hutan di Bali dengan program pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. “Usulan ini telah disetujui dan akan diujicobakan. Warga sekitar hutan dapat menglola hutan dengan memanfaatkan hasil non kayu serta dan mengelola kelestariannya secara swadaya,” jelasnya.
Berdasarkan datanya, selama ini pengusaha wisata yang memanfaatkan hutan tidak memberi keuntungan bagi provinsi maupun warga sekitar. “Dua investor di Taman Nasional Bali Barat saja selama 10 tahun ini mengaku merugi. Ini bukti kita tidak bisa mengelola hutan dengan cara seperti itu,” tambah Silanawa. [b]
ayoo…. selamatkan tanah bali
stop eksploitasi untuk pariwisata, perumahan en superblok
say no to investor,
Om Swastiastu,
Halon teman – teman, gaungkan setiap saat bahwa Bali perlu perhatian serius untuk mengatasi kerusakan alam di Bali.
Stop dulu investasi Pariwisata yang hanya merugikan masyarakat banyak.
Dorong pertanian organik, berdayakan petani kita.
Kalo ada yang mau rembug tentang pertanian organik, mohon kirim email ke saya. terima kasih.
Kita cari solusinya bareng – bareng.
Tiadakan pajak bagi tanah pertanian.
Perlu pemetaan kawasan hutan lindung dan kawasan konervasi alam yang jelas serta ajak masyarakat kita untuk ikut mejaganya.
Ayoo, kapan lagi. jangan sampai terlambat
Berita tentang kerusakan alam Bali sudah sangat sering terdengar. Semua sepakat dan tidak ada yang membantah. Benar bahwa alam Bali sudah rusak dan semakin rusak. Tetapi soal bertindak nyata untuk mencegah terutama dari pemerintah masih belum terihat sama sekali. Begitu juga dari masyarakat Bali sendiri, nampaknya tidak benar-benar peduli. sulit memang, karena pikiran dan perbuatan kita lebih sering tidak sinkron. Pikiran kemana, omongan kemana dan pikiran kemana.. arahnya beda-beda
Mohon kepedulian bersama
hutan yg dulu masih alami sekarang sudah banyak alih fungsi
tanaman bunga kembang sador (biru)yg semarak,pohon kopiyg hektaran tanpa tuan,rumput gajah yg luas menjadikan kian bebasnya.HARAPAN perlu adanya peninjauan kembali dri semua pihak,
hutan habis sekitaran pura pucak manik (utara danau buyan & tamblingan).
Kami khawatir adanya SUNAMI kecil di bali bila hutan sekitaran trus di babat,
mohon perhatian sekali lagi dri pihak terkait semua. suksma
MARI JAGA HUTAN DI BALI,,,,