Oleh Luh De Suriyani
Dengan peluh membasahi badan, Ketut Bekri mengayunkan palu besar sekuat tenaga. Dug! Suranya bergema, memecah malam yang kian larut di gang kecil di Jl Subak Dalem Denpasar Utara. Lantai beton yang dipukulnya bergetar. Namun tidak banyak berarti. Beton itu tetap terlalu kuat untuk diruntuhkan. Maka dia kembali mengangkat palu besar itu tinggi-tinggi lalu memukulkannya sekuat tenaga. Dug!
Usai Ketut Bekri memukul, Ketut yang lain membantu. Satu bapak lagi menancapkan linggis ke ruang-ruang kecil di bawah beton yang terlihat agak longgar. Malam kian larut, sekitar pukul 11.30 malam. Namun sekitar 15 bapak itu masih bersemangat membongkar beton di depan rumah salah satu warga. Dingin malam juga tidak mengusik mereka. Sebagian malah tanpa baju, bertelanjang dada.
Jumat malam kemarin, warga di gang kami kerja bakti membongkar beton tersebut. Gang tempat kami tinggal akan diaspal. Gang selebar tiga meter, sepanjang sekitar 50 meter itu memang bentuknya tidak rata. Di bagian ujung, mulai di depan rumah saya, gang itu menurun. Di depan rumah saya dan rumah di sebelah saya, gang itu sudah dibeton. Masalahnya beton ini bentuknya tidak bagus sehingga terlihat terlalu curam dibanding di bawahnya.
Selain itu, petugas dari Dinas Pekerjaan Umum Denpasar juga tidak mau menguruknya dengan batu kapur karena bagian ini sudah dibeton. Struktur jalan di gang yang tidak rata dan bergelombang miring membuat truk pengangkut batu kapur dan bahan pengaspalan lain tidak bisa lewat untuk menguruk di bagian bawah.
Maka, jalan satu-satunya adalah membongkar bagian yang dibeton tersebut malam itu juga. “Kalau sekarang selesai kan besok pagi tukangnya tinggal ngurug,” kata Ketut Bekri yang rumahnya memang di bagian lebih rendah dibanding bagian yang sudah dibeton.
Bapak-bapak di gang kami bekerja beragam. Ada penjual beras, sopir, petugas travel agent, tukang parkir, pedagang, juga pegawai negeri. Sabtu pun sebagian besar masih bekerja. Karena Sabtu pagi itu pengaspalan akan dilakukan, dan bagian atas gang kami sudah diurug tanah kapur, maka bapak-bapak di gang kami sepakat bekerja malam itu. “Besok kan semua kerja,” lanjut Ketut Bekri.
Kerja bakti itu dimulai sekitar pukul 19.30 Wita. Diawali dengan membongkar beton di bagian bawah lalu pelan-pelan naik ke bagian atas beton tersebut. Mereka bergantian. Ada yang menghancurkan beton, ada yang mengeruk serpihan beton itu, ada yang mengambil batu di bawahnya, ada yang merapikan batu-batu itu ke samping, ada pula yang hanya tukang kompor untuk memberi semangat.
Peserta kerja bakti itu semua tinggal di gang tersebut. Namun tidak semua yang tinggal di gang itu ikut kerja bakti. Ada yang masih bekerja, ada yang memang tidak pernah ikut kerja bakti. “Biar saja, yang penting kan pekerjaan ini bisa selesai,” kata Sutir, penghuni gang yang ikut kerja bakti malam itu.
Dua ibu di gang itu menyediakan kopi dan nasi untuk makan malam. Di sela-sela kerja, bapak-bapak istirahat untuk minum kopi dan makan malam. Usai itu, mereka kembali berjibaku memukul beton.
Sekira pukul 12 malam, bagian terakhir dari beton yang diruntuhkan itu pun lepas. Semua lega. Kerja bakti melelahkan itu pun usai. [b]