Tak ada lagi padi di lahan Wayan Mawan.
Sejak sekitar tiga bulan lalu, sawah petani di Banjar Guling, Desa Abianbase, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali itu pun mengering. Maka, bapak empat anak ini pun harus mengubah pola bertaninya.
Jumat pekan lalu, ketika kami ngobrol di sawahnya, Mawan sedang mencangkul tanah. Dia sedang menyiapkan 3 are lahannya untuk ditanami kacang. Padahal, selama lebih dari 50 tahun jadi petani, dia selalu menanam padi di sawahnya.
Sawah Mawan berjarak sekitar 100 meter dari Jalan Raya Sading, penghubung antara Jalan Ahmad Yani Denpasar dan Jalan Raya Kapal, Mengwi. Kawasan di sebelah utara jalan ini termasuk kawasan hijau kota. Karena itu, sawah-sawah biasanya masih terjaga. Tiap kali saya lewat, biasanya selalu ada budidaya padi.
Tapi tidak saat ini. Sepanjang mata memandang di kawasan ini tak lagi ada padi. Budidaya di sana beragam. Ada kacang-kacangan. Ada bunga. Tak sedikit pula yang dibiarkan menganggur.
Di kawasan tersebutlah Mawan bertani di tanahnya yang kering kecoklatan. Tekstur tanahnya kasar. “Baru kali ini saya mengalami kekeringan,” kata Mawan sambil duduk di tanah kering miliknya saat kami ngobrol.
Karena tanah yang mengering tersebutlah maka Mawan tak bisa lagi menanam padi. Tak hanya di tiga are lahan yang sekarang dia kerjakan tapi juga 250 are lahan yang terpisah di beberapa tempat.
Mawan mengaku sedang menyiapkan lajan untuk kacang-kacangan. Di bagian lain lahannya, ada kacang panjang yang usai dipanen.
Menganggur
Tak cuma Mawan yang kini mengalami kekeringan dan harus mengubah pola tanam. Berjarak sekitar 10 km dari tempatnya, petani lain pun megalami hal serupa.
Petani-petani di dekat rumah saya di Desa Peguyangan, Denpasar Utara pun kini tak lagi menanam padi. Di bagian utara jalan Subak Dalem di mana saya tinggal, sawah-sawah kini mengering. Lahan tersebut dibiarkan menganggur di antara kepungan rumah dan bangunan baru di sekitarnya.
Begitu pula di persawahan seberang sungai dekat rumah kami. Persawahan ini tempat saya dan anak-anak gang biasanya jalan-jalan. Salah satu kegiatan favorit kami adalah menyusuri saluran air.
Namun, sekitar sebulan lalu, ketika saya ke kawasan persawahan padi tersebut, air tak lagi mengalir. Padi pun tak ada lagi.
Sebagai gantinya, sebagian petani kini menanam sayur. Dua di antara mereka adalah Wayan Siram dan Nengah Sari.
Ketika saya ke lahan mereka sambil jalan-jalan pagi sekitar sebulan lalu, Siram sedang menyiram kebun sayurnya. Dia menanam sayur bayam di sekitar 3 are lahan miliknya sekarang. Padahal, sebelumnya juga dia menanam padi, bukan sayur-sayuran.
Adapun Nengah Sari kini memanen daun kemangi yang dia panen 40 hari sekali.
Alasan Siram dan Sari sama seperti juga Mawan. Mereka tak lagi mendapat air dengan mudah seperti sebelumnya. Sejak April lalu, mereka harus menimba air dari saluran utama yang masih menyisakan air hujan.
Ditutup
Semua petani yang saya tanya tentang penyebab keringnya lahan mereka punya jawaban seragam, Dam Air Putih ditutup.
Dam ini berada di Desa Mambal, Kecamatan Mengwi. Jaraknya sekitar 2 km dari Jalan Raya Sading. Dam ini membagi saluran irigasi dalam dua jalur. Jalur barat mengairi wilayah di sisi barat Mambal, misalnya, Penarungan dan sekitarnya. Adapun jalur timur antara lain ke Darmasaba dan Peguyangan.
Tidak ada petugas satu pun di dam ini ketika saya ke sana. Hanya satu dua petani lewat yang menjawab serupa, saluran irigasi di sisi timur sudah ditutup sejak delapan bulan lalu.
Saluran air di sisi timur tersebut memang ditutup. Pembukanya digembok. Maka, air sama sekali tak mengalir di saluran selebar sekitar 3 meter itu. Airnya sampai berwarna hitam karena hanya menggenang. Baunya agak busuk menyengat.
Padahal air di saluran sisi barat mengalir deras dan lancar. Menggelegak malah.
Sekitar 200 meter dari dam tersebut, ada terowongan yang sedang diperbaiki. Di ujung utara pembangunannya sudah selesai. Tak ada lagi pekerja sama sekali di sana.
Perbaikan terowongan irigasi masih dilakukan di sisi selatan. Ada sepuluh buruh sedang bekerja di sana. Terowongan irigasi ini panjangnya 400 meter. Bagian yang sudah selesai sekitar 300 meter. “Sisanya lagi 100 meter mungkin selesai dua bulan lagi,” kata Bagus Yasa, salah satu buruh di sana.
Jadi, inilah sumber kekeringan itu, perbaikan terowongan irigasi dari Dam Tanah Putih ke sawah di daerah Sading, Darmasaba, Peguyangan, dan bisa jadi di lahan-lahan di bagian selatan lagi.
Menurut Bagus, terowongan ini semula hanya berdinding batu padas. Lebarnya 70 cm. Kini, saluran tersebut diperlebar jadi 1,2 meter. Dindingnya diperkuat lagi dengan beton berisi rangka besi. “Biar tidak jebol,” tambahnya.
Berubah
Sementara terowongan irigasi sedang diperbaiki, mari kembali melihat dampak penutupan tersebut terhadap petani. Tak hanya kekeringan, meskipun untuk semetara, tapi juga itu tadi perubahan pola tanam. Dari semula seragam tanam padi, kini petani harus mengubah tanamannya menjadi sayur, kacang panjang, kedelai, bunga, dan sebagian menganggur.
Ihwal petani yang menganggur ini, Mawan memberikan alasan. “Petani di sini tak biasa menanam selain padi. Mau tanam yang lain tidak tahu caranya. Jadi dibiarkan menganggur saja,” akunya.
Perubahan lainnya tentu pendapatan. Menurut Mawan, Sari, ataupun Siram, pendapatan dari menanam sayur memang lebih banyak. Mawan, misalnya, mengaku bisa mendapatkan rata-rata Rp 700 ribu tiap kali panen sayur. Tapi, pengeluaran untuk itu lebih banyak, seperti bibit, pupuk, dan buruh tani.
Kalau tanaman padi rata-rata memang dapat Rp 250 ribu per are tiap panen. Tapi, menurutnya, tak terlalu banyak tenaga yang dibutuhkan karena mereka sudah terbiasa mengerjakan sendiri.
Perubahan lainnya adalah soal ritual-ritual terkait pertanian. Mawan memberi contoh. Kalau bercocok tanam padi, petani setempat mempraktikkan ritual mulai dari pemilihan musim tanam, penanaman bibit, penanaman pertama kali, sampai nanti panen.
“Sekarang kami tidak pernah pakai upacara sama sekali setelah menanam sayur dan kacang,” ujarnya.
Saya membayangkan ritual-ritual terkait budidaya pertanian tersebut bisa saja kemudian hilang pelan-pelan. Apalagi karena dampak kekeringan ini termasuk massal.
Kepala Dinas Pertanian Denasar I Gede Ambara ketika diwawancarai Luh De Suriyani, wartawan Bali Daily The Jakarta Post, mengatakan bahwa ada sekitar 400 petani yang terkena dampak penutupan dam Tanah Putih tersebut. Itu baru petani di Denpasar. Belum lagi yang di Badung.
Ambara mengatakan rencana perbaikan terowongan Dam Tanah Putih tersebut sebelumnya tak pernah didiskusikan pihak Dinas Pekerjaan Umum dengan Dinas Pertanian Denpasar.
Jadi ya begitulah. Sesama lembaga pemerintah pun kurang berkoordinasi. Lalu petani jadi korban, setidaknya hingga dua bulan ke depan. Setelah itu, mungkin mereka harus berubah tanaman lagi. [b]
ijin copy fotonya ya mas