Sumber Dasar Bali
Penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 adalah yang ke-21 kalinya diberikan kepada para sasterawan yang menulis dalam bahasa-bahasa ibu. Pertama kali pada tahun 1989, diberikan hanya kepada sasterawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Tetapi sejak 1994 para sasterawan yang menulis dalam bahasa Jawa juga mendapat hadiah sastera “Rancagé”. Dan sejak 1997, para sasterawan yang menulis dalam bahasa Bali juga mendapat hadiah “Rancagé”.
Pada tahun pertama, hadiah “Rancagé” hanya diberikan kepada sasterawan yang menerbitkan buku unggulan. Tetapi sejak tahun kedua, hadiah untuk karya itu didampingi oléh hadiah untuk jasa, yang diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap besar jasanya dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibunya. Dengan demikian setiap tahun Yayasan Kebudayaan “Rancagé” mengeluarkan 6 hadiah untuk tiga bahasa ibu, yaitu Bali, Jawa dan Sunda. Di samping itu kadang-kadang memberikan Hadiah “Samsudi” buat pengarang yang menerbitkan buku bacaan anak-anak unggulan dalam bahasa Sunda.
Alhamdulillah dengan ridho Allah dan uluran tangan para dermawan yang menyadari pentingnya bahasa ibu dan sasteranya dalam kehidupan bangsa, tahun ini juga, Hadiah Sastera “Rancagé” akan disampaikan kepada para sasterawan yang menulis dalam bahasa ibu.
Tahun yang lalu, Hadiah Sastera “Rancagé” juga diberikan kepada sasterawan yang menerbitkan buku dalam bahasa Lampung. Ternyata seperti yang kami khawatirkan, usaha penerbitan dalam bahasa Lampung itu tidak dapat dilaksanakan secara kontinyu. Dalam tahun 2008, tak ada buku yang terbit dalam bahasa Lampung, sehingga untuk Hadiah Sastera “Rancagé” 2009, hadiah untuk bahasa Lampung tidak dapat diberikan.
Kekuatiran seperti itu sebenarnya wajar, karena penerbitan buku bahasa ibu dalam bahasa Sunda, Jawa dan Bali juga – walaupun ada saja yang terbit setiap tahun — bukanlah usaha yang menjanjikan haridepan secara bisnis. Karena itu ketika beberapa waktu yang lalu kami diberitahu bahwa ada buku yang terbit dalam bahasa Madura, kami tidak segera menyambutnya dengan menyediakan Hadiah Sastera “Rancagé” buat pengarang dalam bahasa Madura. Kami khawatir terjadi lagi apa yang sudah kejadian dengan bahasa Lampung.
Di samping itu kami juga harus sadar bahwa kian bertambahnya Hadiah “Rancagé” yang diberikan, maka beban yang kami tanggung juga kian berat. Sampai sekarang seperti pernah kami katakan, kami masih “koréh-koréh cok” (mengais-ngais dulu mencari rémah sebelum mencotok). Alhamdulillah sampai sekarang setiap tahun ada saja dermawan yang sadar akan pentingnya memelihara bahasa ibu yang sebenarnya merupakan kekayaan budaya bangsa kita, sehingga Hadiah Sastera “Rancagé” masih dapat diberikan.
Setelah selama 20 tahun pemberian Hadiah “Rancagé” selalu mendapat tempat dalam pérs, namun tidak pernah mendapat perhatian pemerintah baik pusat maupun daérah. Pada akhir tahun 2008, Yayasan Kebudayaan “Rancagé” bersama-sama dengan beberapa seniman dan organisasi kesenian lain, mendapat “panyecep” dari Gubernur Jawa Barat (Rp. 10 juta dipotong pajak 15%).
Berikut adalah hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk sastera Bali.
Perkembangan sastera Bali tahun 2008 sangat menggembirakan, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Buku yang terbit tahun 2008, ada sembilan judul (tahun 2007 hanya lima judul), yaitu 3 judul kumpulan puisi, 2 judul roman, 2 judul drama dan 2 judul kumpulan cerita péndék dengan téma beragam dan penggunaan bahasa yang kian kréatif.
Ada tiga pengarang wanita yang menerbitkan buku dalam bahasa Bali modéren, hal yang tak pernah ada sebelumnya. Sejak kemunculan sastera Bali modéren tahun 1910, belum pernah ada pengarang wanita yang menerbitkan buku. Ketiga pengarang itu adalah Anak Agung Sagung Mas Ruscitadéwi (l. 1965) dengan kumpulan cerita péndék Luh Jalir (Perempuan Nakal), I Gusti Ayu Putu Mahindu Déwi Purbarini (l. 1977) dengan kumpulan puisi Taji (Taji) dan Ni Kadék Widiasih (l. 1984) dengan kumpulan puisi Gurit Pangawit (Syair Pemula). Ketiganya berpendidikan universitas dan menuls juga dalam bahasa Indonésia.
Karya meréka memberikan pérspéktif baru dalam perkembangan téma sastera Bali modéren. Masalah kesetaraan génder dan pengalaman hidup manusia dari pérspéktif perempuan mulai muncul. Sayangnya kemampuan ketiganya dalam menggarap téma dan mengembangkan éstétika belum mantap.
Buku-buku lain adalah karya I Nyoman Manda (dua drama Nembang Girang di Bukit Gersang dan Saput Poléng, dua buah novelét yaitu Ngabih Kasih ring Pesisi Lebih dan Sawang-sawang Gamang), kumpulan cerita péndék Merta Matemahan Wisia karya Madé Suarsa, dan kumpulan puisi Somah karya Nyoman Tusthi Éddy.
Karya-karya Nyoman Manda yang pernah mendapat Hadiah “Rancage” 3 kali (satu untuk jasa), selalu memperlihatkan gaya bertutur yang lancar dan mudah dimengerti. Kisah-kisahnya selalu dikemas dengan percintaan yang digunakannya untuk menyampaikan pesan-pesan moral. Drama Saput Poléng (Sarung Poléng) mengisahkan perang penaklukan kerajaan Bali oléh pasukan Gajah Mada dari Majapahit yang diisi dengan kisah cinta Gajah Mada dengan seorang puteri Bali.
Novelét Ngabih Kasih ring Pesisi Lebih (Kasih Bersemi di Pantai Lebih) berkisah tentang percintaan remaja siswa SMA diselingi dengan pesan-pesan adat, tradisi dan agama agar menjadi bekal untuk menghadapi masa depan. Karya-karya Nyoman Manda sangat tepat untuk menanamkan kegemaran anak-anak muda Bali terhadap sastera dalam bahasa ibunya, karena bahasanya mudah dicerna, alur ceritanya tidak begitu kompléks, sehingga anak-anak remaja tidak menghadapi kesulitan membaca dan menikmatinya.
Dalam kumpulan cerita péndék Merta Matemahan Wisia (Kabaikan Mengakibatkan Kematian), Madé Suarsa menggarap berbagai téma seperti masalah ketimpangan sosial (kasta), kemiskinan, matérialisme, dan hukum karma. Kemampuan membangun gaya bahasa yang penuh irama, merupakan salah satu ciri utama cerita karya Madé Suarsa. Hanya saja konséntrasi yang begitu besar yang diberikan terhadap gaya bahasa, perulangan dan permainan kata yang agak berlebihan, membuat penggarapan struktur cerita terabaikan.
Kumpulan puisi Somah (Suami/Isteri) karya Nyoman Tusthi Éddy tampil memikat karena keterpaduan yang kuat antara téma, pengucapan dan gaya bahasa. Téma yang diangkat sangat beragam, mulai dari hubungan suami isteri, toko serba ada, korupsi, uang, jam, kulinér, taksi dan pesisir Bali dalam kontéks perkembangan pariwisata. Hampir separo berupa sajak péndék, hanya terdiri dari satu bait, mengambil bentuk syair dan pantun. Dengan puisi péndék itu Nyoman Tusthi Éddy mampu membentangkan gagasan yang cukup luas, memikat dan menyentuh serta utuh.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka yang akan diberi Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk karya dalam bahasa Bali adalah Somah, Kumpulan sajak I Nyoman Tusthi Éddy (terbitan Sanggar Buratwangi). I Nyoman Tusthi Éddy sebagai penyairnya berhak untuk menerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2009, berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan yang terpilih untuk diberi Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk jasa dalam bahasa dan sastera Bali adalah I Nengah Tinggen (lahir di Buléléng tahun 1931).
Pada tahun 1961, Nengah Tingen terpilih sebagai sékertaris Panitia Penyelenggara Buku-buku Pelajaran bahasa Bali bersama 11 orang utusan daérah dari seluruh Bali. Tahun 1971, ia menyusun buku pedoman pemakaian aksara Bali. Sejak itu dia menulis berbagai buku tentang Bali, sebagian besar dalam bahasa Bali. Dia telah menerbitkan lebih dari 40 judul buku termasuk tentang éjaan bahasa Bali, buku kidung dan gaguritan dan buku-buku cerita.
Karyanya banyak digunakan sebagai penunjang pelajaran bahasa dan sastera Bali di sekolah-sekolah. Di antaranya berjudul Satua-satua Bali (Cerita-cerita Bali) yang memuat dongéng-dongéng yang dikenal dalam masyarakat Bali terbit dalam 15 jilid, Sor Singgih Bahasa Bali (Gaya bahasa halus dan biasa dalam bahasa Bali), Dasar-dasar Pelajaran Kakawin dan Diktat Bahasa Bali
Dia bekerja sebagai guru bahasa dan sastera Bali di SPGN Singaraja dan menjadi dosén luar biasa di STKIP Agama Hindu Singaraja. Dia juga mengisi siaran bahasa Bali di RRI Stasiun Singaraja, aktif dalam berbagai séminar serta selalu mendorong masyarakat agar mencintai bahasa dan sastera Bali. Dia pernah menerima anugerah seni budaya Dharma Kusuma dari pemerintah Provinsi Bali.
Maka kepada I Nengah Tinggen akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk jasa dalam bahasa dan sastera Bali berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Upacara penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé’ 2009 akan dilaksanakan dalam suatu upacara khusus yang akan diselenggarakan di Jakarta. Tempat dan waktunya akan ditetapkan kemudian.
Pabélan, 31 Januari, 2009
Yayasan Kebudayaan “Rancagé”
Ajip Rosidi – Ketua Déwan Pembina
Bahasa Ibu memang sebaiknya jangan dilupakan. Sayangnya banyak ortu yang mulai meninggalkan bahasa ibu saat bercakap cakap dengan anak mereka.
Sastrawan, Penyair daerah membuat karyanya hanya karena memang ingin menuliskannya bukan karena kehendak mendapat hadiah, namun syukur di negara ini masih ada yang mau menghargai karya – karya itu dengan mengumpulkan karyanya, menerbitkan bukunya dan memberinya penghargaan. Banyak ada seniman dan penyair yang karyanya berceceran di sana-sini namun tak ada yang hirau karena yang bersangkutan juga tak berfikir mengumpulkan karyanya walaupun diantara para seniman dia lebih senior dibanding yang lainnya. Rupanya ini persoalan yang tercecer yang perlu mendapat perhatian.
Waah Eling Salut nich ama sastrawan kita,,
tapi ” RANCAGE ” 2010 kurang nyaman di baca tuch beritanya di harian Bali Post??? Kayaknya ada sabotase dech,,,
Nah yang baca Bali Post pasti tau dimana salahnya, koreksi yaaaaa !!!!!