Surat ini adalah surat terbuka untuk Gubernur Provinsi Bali dari masyarakat Tuli.
Apa aktivitas yang Anda dan pembaca lainnya pelajari di masa pembatasan sosial? Berkebun, memasak atau berolahraga?Tentu mudah mempelajari berbagai macam hal ketika komunikasi dan bahasa bukan lagi menjadi halangan. Namun, di bagian lain bumi yang kita tinggali ini, ada masyarakat tertentu yang untuk mendapatkan akses informasi mengenai kesehatan saja masih melalui jalan panjang perjuangan. Bagian tersebut juga terdapat di Provinsi yang Anda pimpin, Bali.
Pandemik Corona Virus Disease 2019 atau yang disingkat COVID-19 menguak berbagai persoalan mendasar yang selama ini tertutupi. Bagi teman Tuli seperti saya, salah satunya adalah aksesibilitas dalam tayangan perkembangan informasi COVID-19 baik di tingkat nasional, maupun di tingkat daerah yaitu Provinsi Bali, misalnya melalui TVRI sebagai stasiun televisi milik pemerintah.
Advokasi melalui pendekatan dan audiensi pun telah berulang kali coba dilaksanakan sejak bulan April 2020. Mulai dari melayangkan permohonan audiensi hingga pro aktif melakukan jajak pendapat daring bekerjasama dengan elemen masyarakat lainnya. Audiensi sendiri telah terlaksana pada 24 April 2020.
Namun,yang sungguh disayangkan, setelah audiensi berhasil dilaksanakan, Pemerintah Provinsi Bali hanya melibatkan Guru Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai Juru Sistem Isyarat (JSI). Poin utama tuntutan organisasi DPC Gerkatin Provinsi Bali dan organisasi pemuda Tuli di Bali, Bali Deaf Community yaitu dengan berpihak pada Bahasa Ibu masyarakat Tuli yakni Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo)Bali.
Hingga saat ini, minggu pertama bulan September 2020 momentum di mana 1 semester COVID-19 di Indonesia termasuk Bali, saya dan kawan-kawan Tuli lainnya didampingi JBI yang sejak awal aktif melakukan pendekatan pada stakeholder terkait belum mendapat informasi maupun konfirmasi dari pihak Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Provinsi Bali ataupun Pemprov Bali. Padahal, pada momen audiensi tersebut telah menuju kepada kesepakatan untuk menampilkan JBI yang artinya menampilkan Bisindo sebagai aksesibilitas komunikasi pada setiap konferensi pers maupun selanjutnya pada tayangan berita stasiun televisi lokal.
Hak-Hak Tuli adalah Hak Asasi Manusia
Saya ulangi sekali lagi, bahwa hak masyarakat Tuli adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Provinsi Bali sendiri telah memiliki regulasi daerah yaitu Peraturan Daerah Bali No. 9 Tahun 2015 tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Disabilitas. Iya, selangkah lebih maju satu tahun dibanding regulasi di tingkatan nasional yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Perlindungan Disabilitas.
Pasca Indonesia meratifikasi Convention on Rights Person with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang- undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD, maka produk hukum yang hadir di tahun-tahun selanjutnya termasuk kedua produk hukum ini (Perda Bali dan Undang-undang) telah menggunakan perspektif dan lensa HAM pada setiap isu yang dihadapi dan berkaitan dengan disabilitas dan Tuli di Indonesia. Poin dari lahirnya produk hukum ini adalah meminggirkan charity based concept menjadi human rights concept.
Selayaknya produk hukum dengan yang muatannya penuh perspektif HAM, Perda ini mengutamakan nothing about us without us juga prinsip non diskriminasi. Tahukah Bapak Gubernur, saat terlibat aktif dalam pembahasan regulasi di tingkatan daerah saya merasa menemukan oase di padang pasir.
2020 adalah tahun kelima sejak Bali dapat dengan bangga mengklaim memiliki regulasi progresif yang meletakkan penghormatan pada pemajuan HAM disabilitas. Ada beberapa momentum yang harus saya soroti dan apresiasi, di antaranya ketika lahirnya Peraturan-Peraturan Gubernur yang menjadi amanat dari Perda Bali No.9 Tahun 2015 tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Disabilitas, baik pada masa kepemimpinan Gubernur sebelumnya maupun pada pemimpin kini.
Apresiasi lain juga pada saat Pemerintah Provinsi Bali telah melantik Komite Daerah Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Provinsi Bali untuk periode 2020-2025 pada 18 Agustus 2020. Selain dari kerja-kerja yang bertumpu pada pemerintah daerah, tentu ada kerja-kerja masyarakat sipil yang begitu banyak untuk saya sebutkan satu persatu, mulai dari sektor ekonomi, ekonomi kreatif hingga pendidikan. Maka, sinergi maupun kolaborasi bukan lagi menjadi hal yang sulitdiwujudkan.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah perspektif aparatur daerah. Bila kita melihat kembali pada pasal 48 dalam Perda Bali No. 9 Tahun 2015 tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Disabilitas, pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat mengakui, menghormati dan mendukung pengembangan identitas bahasa isyarat, simbol braille dan budaya yang diperuntukkan untuk pengembangan kapasitas dan potensi penyandang disabilitas.”
Identitas bahasa isyarat bagi masyarakat Tuli di Bali adalah Bisindo Bali. Bagaimana dengan SIBI? Sesuai dengan kepanjangannya, SIBI adalah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang diciptakan oleh masyarakat dengar. Poin-poin di atas seharusnya sudah cukup membuat kita sama-sama memahami jika selama bertahun-tahun telah terjadi perampasan bahasa. Kami bukan robot yang harus menggunakan sistem, akses komunikasi kami sebagai Tuli tidak perlu dibuatkan oleh masyarakat dengar. Kunci inklusi adalah “nothing about us, without us”, maka sertakanlah kami masyarakat Tuli dalam setiap perbincangan atau hal yang berkaitan dengan kami.
Dalam Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2015 yang memuat mengenai rencana aksi HAM, pemenuhan HAM dengan Tindakan penayangan Bahasa isyarat di televisi dan program berita terdapat pada nomor 33 dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai penanggungjawab serta melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Sosial. Ukuran keberhasilan dari aksi ini adalah terlaksananya penayangan bahasa isyarat bukan saja di stasiun televisi nasional namun juga stasiun televisi lokal.
Bapak Gubernur yang saya hormati,
Jadi, kapankah kami, masyarakat Tuli Bali dapat mengakses informasi lewat Bisindo dalam layanan publik, kanal-kanal pemerintah daerah maupun stasiun TV lokal? Karena, kami juga berhak untuk tahu situasi kebencanaan maupun pandemic seperti COVID-19 yang sedang kita lalui dan seperti yang tertulis pada pasal 48 Perda Disabilitas Bali, kami juga berhak atas pengembangan kapasitas dan potensi. Hari ini maupun pada Bali era baru.
(Gede Ade Putra Wirawan, biasa disapa Ade Wirawan adalah Aktivis Tuli, bersama kawan- kawan mendirikan Bali Deaf Community, juga terlibat aktif sebagai Humas di DPD GERKATIN Bidang Kepemudaan dan Sekretaris DPD Gerkatin Provinsi Bali)