Makna kata radikal kian melenceng dan disalahpahami.
Akhir-akhir ini, radikal atau radikalisme menjadi kata yang kerap diperbincangkan. Mungkin, jika ada pemilihan kata tahun ini, kata radikal bisa masuk nominasi sebagai yang paling banyak dibicarakan.
Radikal merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia atau kkbi.web.id berarti, 1 secara mendasar. 2 amat keras menuntut perubahan (undang-undang pemerintah). 3 maju dalam berpikir atau bertindak.
Beberapa artikel yang mengulas ihwal kata radikal di Internet juga menyebutkan hal serupa. Rasanya agak aneh jika kata radikal ini dikaitkan dengan tindakan atau perilaku brutal yang menjurus pada kriminal.
Paling baru dari perkembangan kata radikal, presiden Joko Widodo menyebutkan pengganti istilah radikal dengan manipulator agama. Entah bagaimana maksudnya, masing-masing bisa menafsirkan sendiri.
Pengalaman menggelitik sempat saya alami ketika membahas soal kata radikal pada sebuah grup WhatsApp.
Saat itu, saya melemparkan sebuah artikel dari berdikarionline dengan judul menyelamatkan istilah radikal dan mendapatkan respon yang antusias bahkan cenderung melenceng. Melenceng seperti nasib kata radikal saat ini.
Saya hanya ingin membuka sebuah ruang diskusi. Karena ada yang membuat talkshow tentang kata radikal dan pemberitahuannya dibagikan dalam grup WhatsApp ini, dengan judul upaya generasi muda (milenial) dalam menghadapi radikalisme.
Jujur, saya tidak ada maksud apa, hanya ingin diskusi dari dua hal yang memiliki sudut pandang berbeda.
Penentang Raja
Selanjutnya, dalam obrolan WhatsApp tersebut ada yang mempertanyakan kualitas artikel berdikarionline. Saya menyatakan, artikel ini cukup kredibel.
Pertama, saya menilai berdikarionline bisa dipercaya sebagai media. Kedua, apa yang disampaikan cukup masuk akal. Ada perbedaan mendasar, pengertian kata radikal saat ini (yang ramai dibicarakan) jika dibandingkan dengan kamus besar bahasa Indonesia.
Ketiga, dalam artikel berdikarionline yang mengulas soal istilah radikal, juga dijelaskan asal istilah kiri yang bermula saat Revolusi Prancis. Saat itu kelompok penentang Raja menyebut diri sebagai kelompok radikal, salah satunya adalah gerakan Jacobin.
Ketika parlemen Perancis terbelah menjadi dua kubu, semua penentang Raja duduk di sebelah kiri. Pendukung Raja duduk di sebelah kanan. Pembahasan ini juga saya temukan di buku Epstimologi Kiri oleh Listiyono Santoso dkk.
Jadi, mengacu pada tiga hal tadi saya menilai artikel dari berdikarionline patut dijadikan rujukan untuk memulai sebuah diskusi sederhana mengantarkan kita tidur.
Cuman, apa yang saya inginkan dari obrolan sambil menunggu tayangan pertandingan antara klub sepak bola Liverpool dan Mancester United di Liga Inggris ternyata tidak berjalan lancar.
Saya tidak mendapatkan feedback yang bagus. Malah ada yang mengajak untuk membuat semacam seminar tentang apa yang saya bahas. Ini konyol.
Kenapa konyol, pertama saya bukan siapa-siapa. Saya juga tidak memiliki kepentingan soal istilah radikal ini. Saya hanya ingin belajar dan berdiskusi sehingga mendapatkan pandangan baru dari lawan bicara yang berkompeten. Ternyata keliru.
Kedua, saya memiliki urusan yang lebih penting. Yakni memastikan susu anak bisa tetap terbeli setiap bulannya. Alih-alih ingin mengubah pandangan masyarakat terhadap kata radikal, saya lebih senang jika memiliki pemahaman yang beragam dan benar lebih dahulu.
Ketiga, pola langsung menghantam dengan mengajak membuat seminar, seolah-olah menunjukkan minim pengetahuan dan tidak berani memberikan pandangan. Saya tidak suka sesuatu yang seremonial. Yang santuy saja.
Harapan saya sebenarnya, generasi yang beruntung dan bisa mengecap pendidikan lebih dari orang kebanyakan, bisa memelihara sikap kritis.
Meski dengan kritis kadang membuat kita berbeda dengan orang lain, jangan takut menjadi berbeda. Bagi saya itu bukan persoalan. Karena saya (kita) bukan generasi pengekor.
Kritis dalam arti tidak begitu saja percaya dengan wacana yang sedang ramai. Karena sebagai manusia yang terdidik, kita bisa menakar sesuatu, apakah itu baik untuk masyarakat secara umum, atau hanya bagi segelintir orang. Selalu berusaha mengumpulkan keping-keping informasi dan merangkainya sehingga memiliki sudut pandang sendiri.
Entah, sudut pandang itu bisa diterima oleh orang kebanyakan atau tidak, yang jelas kita sudah berusaha menemukan apa yang menurut kita paling benar.
Pada era post-truth ini, musuh kebenaran bukan lagi ketidakbenaran, melainkan kebenaran yang berbeda kepentingan. [b]