Ketika rumah ibadah kian penuh sesak, korupsi terus meninggi. Kenapa?
Indonesia adalah bangsa yang sangat religius karena kegiatan ritual dan aktivitas keagamaan dilakukan penuh semangat. Tempat-tempat ibadah selalu dipenuhi oleh umatnya yang melakukan ibadah. Namun, ironisnya, religiusitas bangsa tidak berimplikasi pada prilaku sosial manusia Indonesia.
Terlalu banyak prilaku mulai dari rakyat biasa sampai para elite yang memberikan kita gambaran bahwa ada persoalan pada moralitas bangsa. Pejabat yang korupsi, pegawai bank yang bobol banknya sendiri, anggota DPR yang menonton video porno saat sidang sampai kekerasan atas nama Tuhan. Mengapa bangsa yang religius harus terperosok prilaku-prilaku tak bermoral?
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan setidak-tidaknya ada 155 kepala daerah di Indonesia yang terlibat pada tindak pidana korupsi. Ini berarti hampir setiap minggu ada saja kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Jumlah ini belum termasuk tersangka korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD, DPRRI dan mantan-mantan menteri. Jika dijumlahkan dengan pejabat bawahan semua instansi pemeirntahan di Indonesia, maka bisa saja terdapat ratusan bahkan ribuan koruptor di Indonesia.
Tidak hanya elite kekuasaan dan pegawai pemerintahan yang dicap sebagai koruptor. Pegawai swasta juga melakukan tindakan serupa. Banyak pegawai bank membobol bank tempatnya bekerja. Atau karyawan menggelapkan uang milik perusahaannya tempatnya bekerja.
Moralitas elite politik tidak hanya bisa dilihat dari tindakan korupsi yang dilakukannya, tetapi juga dari prilaku tak senonoh seperti menonton video porno saat sidang paripurna. Sebelumnya kita juga sudah banyak di sajikan berita bagaimana oknum anggota DPR video mesumnya tersebar luas di masyarakat.
Perilaku yang kurang lebih sama juga dialami anggota DPRD di daerah. Tidak sedikit yang terlibat tindakan pidana mulai dari kekerasan dalam rumah tangga sampai dengan menjadi beking judi.
Yang paling membuat kita miris sebagai bangsa adalah maraknya prilaku tak bermoral dari mereka yang tampil secara fisik sangatlah beragama. Kekerasan atas nama agama adalah contoh nyata. Sangat layak untuk dipertanyakan bagaimana sekelompok orang dengan berteriak-teriak menyebut nama Tuhan sambil mengacung-acungkan senjata tajam dan membakar rumah orang lain.
Di mana moralitas ketika kekerasan demikian marak dan dibiarkan saja oleh Negara?
Tindakan demi tindakan tak bermoral terus saja muncul di tengah-tengah masyarakat. Seakan-akan tidak ada tindakan berarti yang bisa dilakukan untuk melakukan menghambat laju kemerosotan moralitas bangsa. Para elite politik sibuk dengan urusan kekuasaannya. Sementara elit agama juga terlibat dalam kepentingan politik.
Masyarakat Indonesia hampir pasti telah kehilangan keteladanan, kehilangan panutan. Padahal masyarakat Indonesia adalah masyrakat yang paternalistic, masyarakat yang banyak berharap dari tokoh panutan mereka.
Di mana Agama?
Bicara tentang soal agama, maka kita bisa pastikan bahwa dari tampilan permukaan, kita adalah bangsa yang religius. Simak saja televisi kita yang hampir setiap pagi menyiarkan acara-acara penuntun rohani. Sinteron-sinteron yang marak belakangan juga semakin jamak yang begenre religi. Simak pula bagaimana tampilan fisik elite politik kita di pusat kekuasaan, semuanya menunjukkan bahwa mereka adalah sosok yang religius.
Di tingkat akar rumput kesemarakan prilku religius juga tidak kalah. Tidak ada tempat ibadah di negeri ini yang tidak dibanjiri umat agama masing-masing. Ritual keagamaan adalah momen yang dirayakan penuh dengan semangat oleh para umatnya. Pembangunan tempat-tempat ibadah tidak pernah berhenti di negeri ini.
Semuanya menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang religius jika ditinjau dari prilaku ritual yang dilakukan rakyat dan para elitenya.
Namun, sayangnya, prilaku ritual ini hanya berhenti sebagai laku ritual belaka dan tidak mewujud dalam prilaku sosial. Padahal dalam kehidupan sehari-hari yang dibutuhkan adalan bagaimana laku ritual bisa diterapka dalam laku sosial. Jika perilaku ritual dilakukan atas dasar rasa bakti yang tulus kepada Tuhan, seharusnya prilaku sosialnya akan menempatkan kejujuran dan penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan di tempat teratas acuan tindakan dan prilaku manusia Indonesia.
Ini berarti manusia Indonesia adalah manusia yang tidak akan melakukan tindakan korupsi dan manusia Indonesia adalah manusia-manusia yang cinta damai.
Realitas yang menjelma di hari-hari ini adalah realitas di mana ada keterputusan antara perilaku ritual dan prilaku sosial. Dalam pandangan teologis, keterputusan ini akibat dari adanya pembedaan yang sangat tajam antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat. Surga dan neraka dianggap sebagai sesuatu yang ada nun jauh disana, dialami manusia setelah memasuki kematiannya. Sementara pandangan agama yang memungkinkanmanusia melakukan penebusan dosa-dosa menjadikan ketakutan akan neraka menjadi sangat berkurang.
Hal paling membahayakan tentu saja adanya keyakinan bahwa dengan tindakan kekerasan justru sorga lah yang bisa akan digapai.
Dalam pandangan antroposentris, teori Koenjaraningrat tentang mentalitas manusia Indonesia masih relevan untuk dikemukakan. Menurut Antropolog Indonesia tersebut, mentalitas manusia Indonesia adalah mentalitas yang meremehkan mutu, suka menerabas, tak percaya diri sendiri, tak berdisiplin murni dan suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh.
Mentalitas tersebut terbentuk karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya kita sejak beberapa generasi yang lalu, terkondisi sedemikian rupa sehingga bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Sedangkan setelah revolusi kemerdekaan, mentalitas bangsa Indonesia bersumber pada kehidupan ketidakpastian, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas. Hal ini karena keberantakan ekonomi dan kemunduran-kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial budaya.
Pandangan teologis dan antroposentris ini akan menjadi tidak berarti jika bangsa Indonesia memiliki kepemimpinan nasional yang berwatak dan bermoral mulia. Kelamahan bangsa Indonesia yang sangat paternalistik justru bisa menjadi keunggulan karena hanya dengan sosok pemimpin bermoral dan konsisten dengan perjuangan membela kepentingan rakyat, akan lahir inspirasi kuat dikalangan masyrakat akar rumput untuk jadi manusia bermoral.
Sayangnya kita belum bisa mendapatkan pemimpin bermoral dan berakhlak mulia. Sistem pemilihan langsung hanya melahirkan pemimpin korup yang haus kekuasaan politik dan materi. Pemimpin yang hanya religius pada prilaku ritual dan penampilan fisik, belum religius dalam prilaku sosialnya. Masalah bangsa ini ada pada ketiadaan kepemimpinan nasional yang menginspirasi. Kemerosotan moral terjadi karena pemimpin bangsa Indonesia hari ini adalah pemimpin yang tak bermoral. [b]