Hari kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan suka-cita.
Tiap banjar di Bali mengadakan berbagai lomba seperti panjat pinang. Pada 17 Agustus 2016 lalu di sebuah rumah di Jalan Gunung Sanghyang Denpasar ada “perayaan” sederhana namun mengharukan.
Wayan Sumartana, 34 tahun, memasang bendera pada tiang bambu rautan bapaknya. Kemudian dengan semangat berdiri menyanyikan Lagu Indonesia Raya “…Bangunlah Jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya…”.
Terdengar suaranya sengau berat menahan rasa haru.
Perayaan ini mungkin sederhana namun dibalik itu mengandung makna mendalam. Ayah Wayan, I Nyoman Genji, menuturkan Wayan sejak usia 17 tahun mengalami perubahan perilaku. Dia sering bicara sendiri dengan kata-kata yang sulit dipahami. Kadang-kadang mengamuk karena merasa ada yang ingin menyakitinya.
Sejak sakit, Wayan sudah dibawa berobat secara niskala ke banyak balian dan opname ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli lebih dari empat kali. Namun hanya mau ada perbaikan sedikit. Tak berapa lama kumat kembali.
“Hampir tiap dua minggu kami harus bolak balik ke RSJ Bangli untuk mengambil obat untuk Wayan,” ujarnya.
Bapak yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga Sekolah Dasar dan sorenya nyambi sebagai juru parkir ini menuturkan, hingga 4,5 tahun lalu keluarga kelelahan dan putus asa menangani Wayan. Ia menunjukkan rumahnya yang rusak akibat perilaku Wayan saat kumat.
Mengikat dengan Rantai
“Saat putus asa itu akhirnya keluarga merasa tak ada pilihan selain mengikat Wayan dengan rantai di kamarnya. Seandainya ada pilihan lain tentu saya ingin sekali mengubah hal itu,” ujarnya.
Saat bercerita tampak air mata meleleh di mata Pak Nyoman.
dr. I Gusti Rai Putra Wiguna SpKJ dokter spesialis kedokteran jiwa yang turut merawat Wayan Sumartana. Dia menuturkan bahwa atas peran aktif Puskesmas Denpasar Barat I, yang mengetahui pertama kali keberadaan Wayan, dimulailah pendekatan tim kesehatan jiwa terpadu Kota Denpasar. Mereka menangani Wayan sejak awal tahun ini.
Karena keluarga menolak untuk dirujuk ke RS, maka kami berusaha merawatnya di rumah atau homecare.
Psikiater yang berdinas di RSUD Wangaya kota Denpasar ini menuturkan awalnya perbaikan agak lambat. Ini karena kronisnya gangguan skizofrenia yang dialami Wayan .
Baru setelah sepuluh minggu tampak perubahan. Namun mengobati Wayan juga diimbangi dengan edukasi keluarganya. Gangguan skizofrenia adalah gangguan zat kimia di otak yang sebenarnya dengan pengobatan yang tekun bisa kembali pulih dan aktif.
“Sampai akhirnya setelah empat bulan perawatan keluarga merasa aman dan nyaman untuk melepas rantai yang mengikat kedua tangan Wayan,” pungkasnya.
Dokter Rai menambahkan setelah bebas dari pasungan masih ada tantangan lain. Karena lamanya jongkok saat terpasung, maka kaki Wayan menjadi bengkok dan mengecil. Wayan tak mampu berdiri ataupun berjalan.
Bantuan
Psikiater yang juga inisiator terbentuknya Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali ini mengatakan bersyukur mendapat bantuan kursi roda dari Ibu Wali Kota Denpasar, Selly Mantra untuk Wayan. Sehingga lebih mudah bagi Puskesmas Denpasar Barat I di Monang-Maning untuk membawa Wayan melakukan fisioterapi di RSUD Wangaya.
Tiap minggu Wayan mulai ikut berkegiatan di Ketemu Space Project di Batubulan, Gianyar. Kegiatan ini mengadakan rehabilitasi sosial dengan cara berkesenian. Akhirnya kini Wayan bisa mulai berjalan tanpa kursi roda.
Nyoman Genji, ayah Wayan menuturkan betapa senangnya ia melihat perkembang anaknya, seakan anak saya yang hilang kini datang lagi. Tentu sebagai orang tua kami punya harapan lebih besar supaya Wayan bisa lebih banyak melakukan kegiatan.
“Andai pemerintah Kota Denpasar bisa membantu Wayan dan teman-temannya berkesenian setiap hari tentu sangat menyenangkan. Daripada melihat Wayan bengong seharian,” katanya.
Wayan Sumartana yang mulai lancar bicara juga mengutarakan keinginannya untuk bisa menyanyi seperti Widi Widiana pujaannya. Dia berharap bisa mengembalikan kursi roda bantuannya kepada Walikota karena kini sudah bisa berjalan.
dr. Rai juga menambahkan, pekerjaan rumah elanjutnya adalah pemberdayaan Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Andaikan pemerintah bisa meminjamkan bangunan pemerintah yang tak terpakai di Denpasar tentu bisa kita pakai pemberdayaan setiap hari bukan setiap minggu.
“Kawan-kawan ODS bisa diantar pagi dan dijemput pada siang hari. Selama di rumah pemberdayaan bisa dikaryakan dan berkesenian yang membantu pemulihan,” katanya.
Saat ini team Keswa Denpasar menangani 100 lebih penderita gangguan jiwa berat dengan cara homecare ke rumah. Adapun total penderita gangguan jiwa berat di Denpasar diestimasikan ada 900 orang.
“Perlu sistem yang baik sehingga Wayan-wayan yang lain bisa juga turut merdeka,” katanya. [b]