Oleh Pande Baik
Kamis, 25 Oktober kemarin, bagi umat Hindu merupakan salah satu hari yang dianggap suci, yaitu Purnama. Saat bulan bulat sempurna ini, banyak umat Hindu memilih bersembahyang ke Pura maupun tempat lain yang disucikan.
Di pusat kota Denpasar, umat Hindu lebih terkonsentrasi di Pura Jagatnatha, sebelah timur lapangan Puputan, Denpasar. Pada saat jam belum menunjukkan angka sepuluh, konsentrasi tadi lebih didominasi usia remaja. Sebab pada jam itu merupakan waktu asyik buat izin dengan ortu di rumah untuk bersembahyang bersama teman-teman. Padahal…
Tapi, hei, yang dibicarakan disini bukan kebiasaan remaja yang usai sembahyang lantas asyik-asyik di tempat gelap seputaran lapangan Puputan. Kali ini lebih pada arus lalu lintas yang terlihat di perempatan patung Catur Muka. Krodit!
Jika pada aktivitas biasa di malam Purnama, kemacetan yang terjadi tak begitu panjang dan numplek. Sebab arus yang mengarah ke timur, dibatasi hanya untuk yang melakukan upacara persembahyangan ke areal Pura. Namun minggu ini aktivitas yang berlangsung makin bertambah dengan pengerjaan pemasangan paving plus beton sikat dengan motif pada areal perempatan pusat kota. Hal ini berimbas pada ditutupnya jalur jalan menuju Utara, ke areal Bali Hotel. Arus pun dialihkan ke arah timur bagi yang datang dari arah barat, sedang yang datang dari selatan, punya dua pilihan yaitu ke timur dan barat.
Lebih mengerucut lagi, hari itu tampaknya pengerjaan pemasangan paving tadi sudah mencapai areal salah satu lajur jalan yang dipakai oleh kendaraan yang datang dari arah barat, sehingga arus kendaraan dialihkan ke lajur satunya lagi yang notabene merupakan salah satu pilihan bagi kendaraan yang datang dari arah Selatan.
Bisa dibayangkan? Semoga bisa. Karena kalau tidak maka cerita ini bakalan jadi basi dan gak bermutu. Hehe.. Emang daging, dikatakan bermutu? He.he. Biar bisa bayangin, silakan cek langsung di lapangan ya.
Nah, diambil alihnya lajur kendaraan dari selatan ke arah barat, menyebabkan seluruh kendaraan yang melewati patung Catur Muka, dipaksakan menuju ke arah timur, yang hampir dua pertiga lebar jalan sudah dipenuhi oleh parkir sepeda motor. Jadi kendaraan yang bisa lewat hanya satu mobil plus dua sepeda motor dalam ukuran lebar. Bisa dibayangkan lagi, betapa krodit lalu lintas yang ada di sana?
Sialnya lagi arus lalu lintas hanya satu jalur. Jadi tidak bisa balik kanan untuk mencari alternatif jalan lain agar tidak kena macet.
Di sini baru terlihat kurangnya koordinasi antar pihak yang terlibat di dalamnya, baik Pelaksana kegiatan pemasangan paving yang setidaknya harus menempatkan personil untuk mengatur lalu lintas di sekitar areal pekerjaan plus pemasangan rambu ataupun lampu tambahan seperti halnya proyek DSDP di waktu lalu. Begitu pula pihak kepolisian yang bertugas di jalan raya. Hanya terlihat satu orang termangu di tengah kemacetan yang mungkin dirasakan tak mampu untuk ditangani. Begitu pula pihak LLAJ yang setidaknya harus lebih menyadari kondisi lalu lintas di titik ini. Di instansi ini kan ada tukang berpikir yang menguasai bidang Transportasi, bukan calo-calo KIR doang. He.he.
Namun semua yang di atas tadi terasa belum lengkap tanpa keteledoran rencana pihak Pelaksana pemasangan paving. Di mana menempatkan material paving setinggi 2 meteran, di tengah-tengah jalan raya, tepatnya pada areal lampu lalu lintas yang tak terpakai lagi.
Hal ini mengakibatkan jalur kendaraan baik yang datang dari arah barat maupun selatan, harus melewati sisi kanan Catur Muka untuk kemudian mengalihkan arah kembali ke kiri (istilah Baline ‘Nyeluk’) lantaran di sisi kanan udah full parkir sepeda motor.
Mungkin maksudnya baik. Tapi apakah tidak ada alternatif lain penempatan material di sekitar areal pekerjaan misalnya? Salah satu yang aman untuk dijadikan alternatif yaitu pada sisi timur bundaran Catur Muka yang bisa dijamin tidak bakalan pernah dipakai atau dilewati pengendara lalu lintas kecuali untuk tempat nongkrong Pak Polisi yang berpatroli. Pernah melihat mobil Patroli nyanggong di sisi timur bundaran kan?
Perasaan mangkel baru reda ketika sampai perempatan timur di sebelah utara Pura karena arus lalu lintas terbagi dua ke arah utara dan timur. Uaaahhhhh, leganya.. [b]
Pak Pande,
Baguslah kalau ada seperti anda mewacanakan masalah lalu lintas di kota Denpasar.
Sudah jelas sekali bahwa kota Denpasar memerlukan plan yang panjang, paling tidak 50 tahun ke depan. Kalau tidak maka seluruh Bali akan dipengaruhi oleh jeleknya kondisi kota. Dari apa yang saya pernah baca Bali ini untuk pengembangan lalu lintas dapat tantangan dari tokoh-tokoh Hindu yang kurang ber-visi. Alasan-alasan berikut ini merupakan cermin dari intuisi mereka yang menyimpang dengan arah perkembangan sosial:
1. Membangun tidak boleh lebih tinggi dari pohon kelapa,
2. Jalan layang menyebabkan ketidak-sucian.
Dua hal di atas ini mengandung paradoks yang begitu tajam dan menusuk balik arus perubahan sosial dan fisik masyakarat Bali. Seandainya Bali secara ekonomi tidak berkembang dan stagnan seperti saat ini untuk 50 tahun, maka kondisi ini mungkin masih bisa dilawan, akan tetapi jika ekonomi berkembang sekecil apapun, maka akan menghadapi dilema yang sangat sulit untuk dipecahkan mulai 10 tahun yang akan datang. Saya pernah mencoba menghitung luas kendaraan dibandingkan dengan luas jalan di kota Denpasar saja yang datanya diminta dari Fak Teknik UNUD, tapi datanya tidak begitu valid karena terlalu simplified samplenya. Mudah-mudahan nantinya ada wali kota dan pemimpin Bali yang punya visi jauh ke depan.
__________________________
http://www.balitouring.com
http://www.jakarta-cityhotels.com