Langsung maupun tidak langsung, media ikut serta menumbuhkan stigma pada kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseksual (LGBTI). Hal tersebut dilakukan melalui iklan, tayangan, maupun liputan yang bahkan cenderung mendiskriminasi kelompok LGBTI.
Demikian disampaikan Danny Yatim, Media Advisor Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP) dalam diskusi di JP’s Warung Seminyak, Kuta Kamis (6/9) lalu. Diskusi yang diadakan Sloka Institute, lembaga pengembangan media, jurnalisme, dan informasi di Denpasar Bali itu dalam rangka pelaksanaan Q! Film Festival di Bali.
Menurut Danny, selama ini media turut membangun citra bahwa dunia hanya terbagi dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Pada masing-masing jenis kelamin itu kemudian ada stereotipe yang dikonsktruksi secara sosial. Misalnya bahwa laki-laki haruslah agresif dan suka petualangan sementara perempuan cenderung penyabar dan bekerja di wilayah domestik, seperti rumah tangga.
Danny menyebut contoh iklan mie goreng di mana ibu yang memasak mie sementara ayah dan anak menikmati. Secara tidak langsung, lanjutnya, iklan ini menegaskan bahwa perempuanlah yang harus bekerja di dapur sedangkan laki-laki bekerja di kantor. Hal yang sama juga terjadi di sinetron-sinetron televisi saat ini. “Padahal faktanya sekitar 50 persen ibu juga bekerja di luar rumah. Iklan dan sinetron tidak menggambarkan fakta sesungguhnya,” kata Danny.
Stereotipe itu, menurutnya, memang dibangun secara sosial. “Namun media massa turut melegitimasinya,” ujar Danny.
Sebagian stereotipe yang terus dilakukan oleh media tersebut, di antaranya adalah bahwa 1) kaum queer, istilah lain bagi kelompok LGBTI, suka berganti pasangan seksual, 2) kaum queer adalah penyebar human immunodeficiency virus (HIV), 3) kaum queer sama dengan pedofilia, 4) homoseksualitas itu menular, 5) begitu melihat laki-laki, queer ingin berhubungan seksual, 6) queer identik dengan dunia barat, padahal sejak zaman dulu pun di berbagai kerajaan di Indonesia sudah mengenal LGBTI, 7) queer hanya suka hura-hura, serta 8) queer adalah hal yang lucu dan layak ditertawakan.
Danny memberikan contoh perlakuan diskriminatif tersebut tentang bagaimana Walter Spies, pelukis yang tinggal di Ubud, Bali pun pernah ditangkap pemerintah Belanda gara-gara berpacaran dengan laki-laki setempat. “Sejak dulu diskriminasi itu memang ada,” tegas sarjana psikologi ini.
Pernyataan Danny Yatim ini dibenarkan Didik Yudianto, Direktur Yayasan Gaya Dewata, kelompok dukungan bagi LGBTI di Denpasar Bali. Didik secara spesifik menyebut satu per satu berita yang menyudutkan kelompok LGBTI tersebut. “Sampai saat ini kelompok LGBTI masih belum diterima sepenuhnya baik secara agama, moral, maupun adat istiadat. Dan media ada di sana juga,” kata alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali ini.
Sebagai ujung tombak untuk mengurangi stigma dan diskriminasi, menurut Didik, media seharusnya mampu memberitakan persoalan LGBTI secara proporsional. “Sayangnya masih banyak media menulis masalah ini dari sudut pandang miring. Hal yang lebih banyak diekspose tentang kelompok kami adalah hal-hal negatif padahal kami juga melakukan banyak hal positif lain,” lanjutnya.
Selain dari sudut pandang yang miring itu, kata Didik, media juga menggunakan istilah-istilah yang tidak bersahabat dan tidak berempati pada kelompok LGBTI yang secara umum memang termarjinalkan. “Tidak usahlah menyebut kami sebagai bencong karena itu menyakitkan. Cukuplah sebut kami waria karena itu lebih manusiawi,” ujarnya.
Sudut pandang negatif dan penggunaan istilah tidak berempati, kadang ditambah dengan perilaku wartawan yang tidak meliput dengan terbuka. Misalnya dengan berpura-pura sebagai pelanggan tapi ternyata sebenarnya wartawan.
Meski demikian, lanjut Didik, tidak semua media juga begitu. Kadang-kadang ada juga media yang memberitakan sisi bagus kelompok LGBTI. “Namun, porsinya sangat kecil dibandingkan hal negatif pada kelompok kami,” kata Didik.
“Ya, wartawan kan memang sama juga dengan dokter. Ada yang baik ada juga yang buruk,” kata Danny.
Menanggapi pernyataan Danny dan Didik tersebut, Rita Widiadana, wartawan The Jakarta Post di Bali, menyatakan bahwa ketika melakukan pekerjaannya, wartawan sudah berusaha agar seimbang, tidak bias, dan menceritakan apa adanya. “Masalahnya kadang-kadang pengetahuan wartawan tentang isu tertentu juga terbatas. Kami akan tahu lebih banyak jika ada yang bisa menjelaskan lebih banyak tentang masalah tersebut,” kata Rita.
“Kita juga tidak bisa mengharapkan semua media punya perspektif yang sama terhadap masalah ini. Sebagai contoh baru-baru ini di Amerika Serikat ada senator yang semula heteroseksual ternyata kemudian sadar bahwa dia sesungguhnya gay. Media di sana pun menyerangnya. Pers di sana sangat kejam,” ujarnya.
Masih banyaknya perlakuaan berbeda dan cap buruk pada kelompok LGBTI, lanjut Rita, terjadi karena media mainstream (arus utama) belum tahu banyak masalah LGBTI itu sendiri. Sementara di sisi lain, kelompok LGBTI juga masih sedikit yang terbuka dengan identitasnya (coming out).
Coming out sendiri adalah istilah untuk kelompok LGBTI yang berani terbuka pada orang lain. Menurut Danny Yatim istilah ini diambil dari kalimat coming out of the closet dan dimulai oleh kelompok gay dan lesbian di Amerika Serikat yang merasa capek untuk terus bersembunyi. Sebab pada waktu itu, gay dan lesbian memang mendapat resistensi kuat dari kelompok konservatif.
“Sejalan dengan keterbukaan kelompok LGBTI, kelompok ini mulai mendapat pengakuan bahkan oleh aturan-aturan formal,” kata Danny. Sayangnya sih coming out di Indonesia termasuk terlambat meski juga mulai makin banyak yang melakukan.
Keterbukaan kelompok LGBTI di Indonesia juga masih jadi dilema. Sebab, tidak sedikit kelompok yang melakukan resistensi pada kelompok LGBTI ini. Ini yang membuat sebagian LGBTI pun merasa tidak perlu melakukan coming out.
Diskusi, seperti yang dilakukan sore itu di tengah hiruk pikuk lalu lintas Seminyak, adalah sebagian cara untuk memberikan tempat pada kelompok LGBTI di media sekaligus pendidikan media bagi mereka.
Selama dua jam itu, sekitar 30 LGBT dan wartawan turut serta di diskusi tersebut. Mereka duduk santai sambil menyeruput kopi, teh, jus, atau hanya air putih ditemani sandwich, stroberi, dan pisang coklat.
“Diskusi semacam ini perlu sering dilakukan untuk menghilangkan kesalahpahaman antara media dan kelompok LGBTI,” kata Rita. [b]
Comments 2