Karena seksualitas penting untuk diketahui remaja semakin dini.
Isu seksualitas sering kali masih tabu dibahas di Indonesia. Apalagi jika membahasnya dengan anak remaja, usia 10-15 tahun. Padahal, pada usia itulah puncak masa ingin tahu seorang anak. Terlebih tentang perubahan biologis dalam dirinya.
Eka Purni, program manajer pendidikan Setara mengatakan ada beberapa asumsi yang mengatakan kalau remaja dikasi tahu tentang seks, malah melakukan seks. Padahal dengan diberikan pendidikan tentang kesehatan reproduksi, remaja justru mendukung untuk menunda rencana berhubungan seksual di usai remaja, mengurangi jumlah pasangan seksual, dan meningkatkan perilaku seks yang aman/tidak beresiko.
“Hal ini sudah dijawab oleh penelitian,” papar Eka.
Melihat kondisi ini, Yayasan Kisara mencetuskan sebuah kurikulum pendidikan tentang kesehatan reproduksi yang didistribusikan ke remaja-remaja SMP. Kurikulum pendidikan ini bertujuan untuk mengembalikan kesadaran bahwa seksualitas penting untuk diketahui remaja semakin dini.
Kurikulum pendidikan yang diselipkan sebagai kelas BK di sekolah tingkat pertama ini sudah diimplementasikan sejak tahun 2017. Pendidikan yang diberi sebutan Semangat Dunia Remaja (SETARA) diterapkan di lima SMP di Denpasar.
Pendidikan SETARA berfokus pada lima domain utama yaitu pubertas,ketertarikan dan pacaran, perundungan atau bullying, gender dan kepercayaan guru. Pendidikan ini diimplementasikan ke anak-anak SMP kelas 7 dan 8.
Setelah berjalan selama tiga tahun, keberhasilan implementasi pendidikan SETARA diteliti oleh Rutgers, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berpusat pada kesehatan reproduksi dan seksualitas. Melalui pendekatan penelitian kualitatif, kuantitatif dan implementatif, ditemukan bahwa beberapa domain yang memberikan dampak pada remaja SMP. Adapun tiga domain itu yakni siswa merasa lebih nyaman bercerita tentang pubertas, bullying, ketertarikan dan pacaran.
Dari sisi domain pubertas, siswa memahami dampak pendidikan SETARA bahwa fenomena biologis seperti menstruasi dan mimpi basah adalah hal normal. Melalui diskusi terbuka, menyadarkan siswa bahwa pubertas bukanlah hal tabu atau pembicaraan kotor untuk dibahas. Kelas SETARA menjadi ruang yang aman untuk siswa berdiskusi dan berlatih keluar dari zona nyaman tradisional tentang pubertas.
Tantangan
Melihat tingkat keberhasilan implementasi pendidikan SETARA ini, bukan berarti berjalan mulus. Ada beragam tantangan yang ditemukan. Salah satunya dari sisi penyampaian pesan oleh guru pada domain ketertarikan dan pacaran. Bervariasinya pandangan guru terhadap isu ini, menyebabkan pesan yang diterima siswa beragam pula.
Seperti temuan Rutgers, banyak siswa tidak tahu apa yang selanjutnya dilakukan ketika sudah tertarik dengan seseorang. Bahkan ada yang menerima pesan bahwa pacaran itu sama dengan melakukan hal terlarang.
Pendidikan SETARA memberikan dampak pada siswa tentang bagaimana mendefinisikan pacaran hingga definisi pacaran sehat dengan batasan yang tidak boleh dilampaui remaja.
Pada domain perundungan (bullying), pendidikan SETARA mampu membangkitkan kesadaran tentang apa itu bullying dan dampaknya terhadap psikis, serta menumbuhkan kepedulian siswa terhadap korban. Meskipun demikian, masih ada siswa yang merasa takut melaporkan bullying.
Domain gender dianggap lapisan yang paling sulit diajarkan oleh petugas pengajar. Pendidikan SETARA pada domain gender ini belum berdampak serius, meskipun siswa memiliki opini masing-masing tentang gender.
Beragamnya respon yang didapatkan dari implementasi pendidikan SETARA seakan menjadi jawaban dari fenomena yang kerap terjadi. Fenomena yang sering kali terjadi ketika ada kasus seksualitas, misal pemerkosaan. Isu yang dibahas itu adalah bagaimana pakaian korban, perempuan yang tidak menjaga dirinya untuk tidak berpakaian terbuka. Namun, mereka lupa untuk mendidik bagaimana agar tidak memperkosa.
Melalui pendidikan SETARA, Kisara mengharapkan manfaat bahwa bagaimana membentuk tidak melakukan pemaksaan. [b]