I Nengah Kisid, warga eks transmigran ke TimTim ini bercerita pengalamannya hidup di TimTim sebelum referendum (kini Timor Leste) dan dikembalikan ke Bali dengan status pengungsi.
Saya menunggu lama, 1985 akhirnya diberangkatkan ke Timor-Timur. Menurut saya kawasan itu masih baru. Kalau Barat sudah banyak pemberangkatan. Jauh sekali perbedaan di Bali, di Timtim saat itu belum ada warung. Membeli makan tidak ada tempat, tujuan hanya Polsek dan Koramil hanya untuk minta makan. Pulang pergi tidak mungkin dari lokasi transmigran ke kabupaten, karena harus jalan kaki 25 km.
Berbekal surat jalan, selama 2 tahun. Hampir gak ada enaknya karena masih darurat militer. Keterbatasan keamanan, sampai melewati krisisi moneter. Puncaknya 1998, situasi sangat mengerikan.
Referendum 30 Agustus 1999, belum bisa keluar karena menunggu penjemputan pemerintah. Pada 10 September baru dijemput, balik ke Buleleng, karantina 7 hari di gedung kesenian. Tidak ada tempat di kampung, ditempatkan di transito, sekarang kantor imigrasi selama satu tahun. Tahun 2000, setelah berjuang dipindahkan ke Sumberklampok dengan status tidak jelas. Sampai sekarang tidak sepenuhnya jelas, baru lahan pekarangan, sedang berjuang lahan garapan.
Ketika ditempatkan di TimTim sudah memiliki lahan 2 Ha. Pemerintah masih setengah hati menyelesaikan. Dari transito saya dipindahkan ke Banjar Sumberbatok, Sumberklampok, menerabas lahan untuk tempat tinggal. Ada bapak yang bantu memberikan daun kelapa, pondok seperti kandang kambing. Berusaha mengolah lahan untuk menafkahi.
Seolah dibiarkan, kita mengikuti program transmigrasi pemerintah. Kita sudah berhasil di TimTim, dikembalikan ke tanah kelahiran tak disediakan lahan garapan dan tempat tinggal.
Tidak bisa dengan pedoman yang ada, penyelesaian harus dengan kebijakan. Kenapa tidak pulang kampung? Kami keluarga miskin, tidak punya tanah. Kami tidak punya tempat lagi di Bali. Di TimTim dapat 2 Ha, pekarangan 25 are, sisanya garapan.
Sekarang baru dapat pekarangan 4 are. Untuk lahan garapan 50 are/KK. Permohonan kita keseluruhan 136,94 Ha. Yang membantu pendamapingan dan kepastian hukum adalah KPA. Selalu dihadapkan peraturan, seperti aturan kehutanan. Luas hutan di Bali kurang dari 3%.
Komunikasi dengan warga TimTim harmonis. Kalau cerita nyambung. Leluhurnya sama dengan kita. Kalau kita punya Ngusabha di sawah, mereka juga punya tradisi seperti itu. Untuk isu politik, mereka gampang diprovokasi.
Kekuatan kami adalah tekad, kami berpikir mungkin tidak mengenal lagi Bali. Bekerja di ladang, lahan, mau menaikkan air, harus komunikasi dengan tentara. Saya dijaga tentara 4 pos, pertama keluar masuk, pusat kampung balai desa, bebukitan.
Sungai mengalir sepanjang tahun, musim hujan malah susah. Bendungan cepat rusak, susah menaikkan air. Yang menguatkan, pemasaran hasil gampang, apa yang kami jual laku karena gaji tentara double. Pembangunan jalan mendukung. Ketika saya pulang ke Bali semua sudah jadi sawah. Kehidupan di sana sulit dilupakan.
Demikian cerita Nengah Kisid mengawali Kelas Analisis Sosial sesi 1 yang dimulai 27 Juli 2024 secara daring. Jumlah peserta terdaftar hampir 40 orang. Sebelum sesi, mereka harus membuat ulasan dari referensi buku Bali Tikam Bali karya Gde Aryantha Soetama.
I Ngurah Suryawan, antropolog memberi penajaman. Menurutnya kelas didesain dengan baik dimulai review buku, mempertajam berbagai pisau analisis.
Sebagai manusia, terkait kedaulatan tanah, natah ruang hidup kita menurutnya sudah digadaikan ke orang lain, kita sudah kehilangan kedaulatan dan martabat kita.
“Saya sering lihat dan rasakan saat penelitian di Papua. Ribuan orang tidak dilihat dari rezim kapital ini. Relasi pada tanah dan alam, bukan hanya hubungan yang bisa divaluasi dalam bentuk uang,” urainya.
Ia menunjukkan foto, kasus BPG di Pecatu yang merampas tanah, ada warga yang bertahan rumahnya ditutup lapangan golf.
Sulit berhadapan dengan kapitalisme. Perusahaan dengan CSR banyak kamuflase, karena eksploitasi besar-besaran diganti program CSR yang seolah peduli. Terjualnya tanah Bali, hilangnya relasi historis dengan tanah.
Investasi yang datang motif ekonomi bukan sustainability. Dalam investasi selalu yang berkolaborasi adalah kelompok modal dan kuasa.
Kesalahan fatal, jika merasa orang Bali menulis dan punya otoritas menulis Bali, pasti lebih bagus. Siapa orang Bali juga problematik. Karakter manusia dan intelektual Bali selalu justifikasi sebagai orang Bali.
Harus belajar kritik dari orang luar, punya kritik berguna. Kajian pasca kolonial, mewarisi sifat keotentitakan, seolah yang diwarisi adalah keaslian padahal sudah didekontruksi kepentingan politik kolonial.
Tanah bukan benda fisik yang mudah diperjualbelikan. James Scott meneliti masyarakat dataran tinggi Asia Tenggara, memiliki mekanisme untuk menjaga properti yang tak bisa diintervensi untuk kepentingan negara.
Daerah Bali Aga, mereka memiliki strategi melawan pengaruh kerajaan di dataran. Namun warga yang dominan di pegunungan ini dianggap tidak merepresentasikan Bali. Seolah hanya Ubud, Kuta, Nusa Dua.
Manusia Bali, antah berantah. Bukan hanya di Bali, juga terjadi di wilayah dan negara lain. Situasi komparatif penting, pelajaran dari negara lain. Perlu studi perbandingan.
Manusia Bali dalam friksi (Ana Tsing, 2005), interkoneksi global yang aneh, tidak ada ujung pangkal. Memanfaatka peluang, resistensi, akhirnya ada komodifikasi. Semua jadi barang dagangan. Perlu ada tanggapan dan berkontribusi.
Sesi diskusi
Sandi: relasi pada tanah apa maksudnya?
Suryawan: Ketika mengolah kebun meminta izin leluhur dan dewa dengan berbagai ritual. Melindungi hutan. Melibatkan semua sumber daya manusia. Misal di Papua kebudayaan kaya dari hasil tanah seperti ubi dan sagu.
Erma: untuk pak Nengah, apakah menggarap sawah di TimTim dengan sistem irigasi subak? Mungkin yang menjadikan Bali bukan hanya tanah tapi pulau.
Nengah: Kemana pun pergi tidak meninggalkan budaya, saat itu Gubernur IB Mantra dibekali satu barung gong. Sekalipun di daerah terpencil, selalu merasa orang Bali. Membangun pura, menghaturkan tarian, orang lokal antusias menonton saat pujawali. Bali identik dengan subak, tapi penempatan kita membaur dengan warga lokal, lahan garapan tidak ngomplek sesama orang Bali. Tapi kita terapkan sistem subak, cara membagi air agar merata, memperkenalkan ke orang lokal. Awalnya susah. Jika orang lokal berada di hulu, hanya dibagi dua, lahan mereka tidak merata airnya. Tidak bisa membentuk organisasi subak dulu. Meratakan dengan sapi. Ternak tidak diikat, sapi dilepas.
Gia: mendapat dan memberi, teori gift manusia dalam prinsip selalu memberi dan menerima, hubungan imbal balik. Mengkritisi fenomena kemiskinan, tak mengenal konsep memberi tapi menghaturkan ke orang yang posisinya lebih atas, seperti dewa. Kemiskinan terjadi karena komunitasnya lebih senang menghaturkan pada dewa yang mengatur nasib. Kalau memberi sesama dianggap kurang sakral, terlalu banyak sibuk menghaturkan dibanding memberi pada sesama. Hilangnya konsep memberi mungkin karena ada perubahan kebudayaan yang dulunya masyarakat agraris, setelah pariwisata mulai hilang. Hilangnya historis pada tanah berdampak pada kehidupan sosial.