Saat datang di waktu menjelang mentari terbenam, banyak kendaraan sudah parkir di depan halaman ruang pameran. Di ruang terbuka berumput sebelah timur, kursi dan meja tertata untuk acara pemutaran film dan diskusi. Acara yang diadakan bertema Make Plastik History yang diselenggarakan pada bulan Januari tahun 2020, Minggu kedua di Kulidan Kitchen and Space dibuka oleh I Dewa Gede Palguna. Acara berupa nonton bareng film Pulau Plastik dan diskusi.
Pameran seni tersebut menampilkan berbagai karya dengan keunikan masing masing. Ada yang dilukis dengan akrilik, cat air, dibuat di atas karton, digabungkan antara lukisan dua dimensi dengan figuran tiga dimensi hingga suatu figur dari plastik berbentuk mahluk hidup.
Berjalan di ruang galeri sambil mengamati, terdapat satu karya seni tiga dimensi yang istimewa. Karya tersebut dibuat dengan plastik bekas yang dibentuk sebagai burung hantu dan gabus yang menjadi pohon tempat tinggalnya. Saat malam hari, dua mata burung mengeluarkan cahaya putih dari lampu yang terpasang. Karya itu dibuat oleh I Putu Eni Astiarini.
Where is My Heaven dipajang dengan ukuran 200cm x 160 cm. Jika diterjemahkan, arti dari judulnya seperti ini: Di mana Surgaku. Di acara tersebut juga ada seorang pembicara Putu Bawa Negara yang membawakan topik Seni dan Pelestarian Hutan. Karya seni ini berkaitan dengan hal tersebut. Ia merepresentasikan kelangkaan burung hantu dan habitat hutan yang rusak.
Salah seorang warga guwang menyebutkan di tahun 1970-an burung hantu umum dijumpai di sana. Sejak revolusi hijau menyusut terus hingga tidak ada karena pertanian monokultur dengan bahan kimia serta perubahan bentang alam dimana “hutan kecil” di antara sawah menghilang.
Burung hantu memerlukan pohon untuk bersarang dan berteduh. Ketiadaan “hutan kecil” membuat burung hantu menjauh dari sawah. Bagi pemelihara burung hantu, mereka harus buat rumah buatan. Saat ini di Bali hanya satu desa yang menerapkan sawah ramah burung hantu.
Selain burung hantu celepuk berbulu putih yang dibudidayakan ada tiga spesies burung hantu liar yang jarang dijumpai di Bali. Tidak ada riwayat populasi yang jelas dari ketiga spesies ini oleh karena itu pemerintah Bali perlu merekrut ilmuwan untuk meneliti populasi yang masih tersisa di Taman Nasional Bali Barat. Ketiga spesies burung hantu ini juga hidup di Jawa dan Sumatera.
Beluk Ketupa (Ketupa ketupu)
Burung ini paling menyukai tepi hutan tempat terdapat lahan terbuka untuk berburu mangsa dan kumpulan pepohonan untuk membangun sarang. Sering berburu di kawasan berair untuk menangkap ikan , katak dan udang udang kecil. Oleh karena itu sungai, rawa dan sawah menjadi tempat untuk mendapat makanan. Selain hewan air, juga memangsa mamalia kecil dan burung(1)
Beluk Jampuk (Bubo sumatranus)
Spesies ini cukup adaptatif di berbagai habitat tetapi lebih mengutamakan hutan primer yang lebat dan hutan sekunder. Bersarang juga di antara mosaic hutan dan ruang terbuka seperti rawa dan sawah. Paruhnya berwarna kuning dan bulunya abu abu(2).
Serak Bukit (Phodilus badius)
Burung hantu yang suka berada di antara hutan dan ladang pertanian. Paling aktif saat awal malam. Mangsa yang sering ditangkap adalah jangkrik, kecoak dan kadal kecil(3).
Dari ulasan singkat mengenai tiga spesies burung hantu tersebut, semuanya membutuhkan habitat hutan, ekosistem air dan sawah yang jernih, bebas pestisida dan pupuk kimia serta ruang terbuka untuk mencari makanan.
Sebagai predator puncak, burung hantu dan burung pemangsa mengendalikan populasi hewan pengerat, kadal,dan hewan kecil lainnya. Juga dapat dijadikan indikator kualitas air dimana saat banyak burung pemangsa tinggal di tepi sungai atau rawa berarti di situ mangsanya mencukupi dan layak konsumsi. Jika terjadi gangguan serius pada ekosistem maka menurunya populasi burung pemangsa menjadi alarm untuk meningkatkan kualitas air dan hutan.
Saat ini sawah di Bali termasuk Guwang didominasi oleh monokultur. Dalam ekologi, monokultur rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Di beberapa daerah burung hantu dianggap penanda sumber air. Setiap burung pemangsa membutuhkan pepohonan dan “hutan kecil”. Maka memulihkan keanekaragaman dan populasi burung pemangsa di Bali berarti memulihkan sebagian besar keragaman hayati dan meningkatkan cadangan air tanah. Air sungai, danau dan sawah perlu dijernihkan supaya ikan, kodok, dan udang udangan (krustasea) berkembang biak agar burung hantu hidup layak. Ada juga potensi yang belum dilirik dan digali yaitu ekowisata pengamatan burung.
Pemulihan burung hantu dan burung pemangsa harus berjalan beriringan dengan usaha menerapkan kedaulatan pangan seperti di desa burung hantu Tabanan. Perlu diperluas jadi skala besar.
Pertanian yang memulihkan dan memperbaharui akan memperkaya keragaman hayati. Untuk mewujudkan ini perlu dilakukan reformasi agrarian dimana para komunitas dan petani kecil menjadi pemeran utama dalam pelestarian dan pemulihan. Pemerintah adalah fasilitator. Rakyat yang bergerak dengan kearifan. Agroekologi adalah upaya menyatukan pelestarian, pemulihan ekologi dengan kedaulatan pangan.
Hutan dan sawah adalah bagian integral ekologi Bali sejak ribuan tahun lalu. Oleh karena itu metode produksi di sawah dan hutan harus terus menerus diperbaharui untuk meningkatkan keragaman hayati. Pemulihan hutan tidak hanya sekedar penanaman pohon. Hutan harus menjadi habitat yang layak untuk burung pemangsa. Ekosistem yang tinggi keragaman hayati akan lebih stabil dan tangguh dalam menghadapi bencana.
Jadi di sini ada langkah teknis penerapan agroekologi serta pengolahan sumber daya pertanian termasuk sisa tanaman dan hewan serta langkah politik antara lain reforma agrarian dan regulasi untuk melindungi petani kecil. Tanah dikelola berbasis komunitas secara demokratis sehingga mereka bukan hanya buruh upahan tapi bagian dari lahan tempat mereka bermata pencaharian yang pada akhirnya muncul motivasi dari dalam diri mereka untuk memperkaya keragaman hayati dan meningkatkan kualitas lingkungan, dan peran pemerintah dalam memfasilitasi agroekologi.
Gerakan akar rumput petani agroekologi dan partisipasi dalam konservasi perlu dibangun. Gerakan tersebut harus saling terintegrasi bukan hanya sebagai pulau yang terisolir. Keberhasilan petani di desa burung hantu harusnya mendorong petani di desa lain melakukan langkah serupa dan berinovasi.
Untuk itu peran teknis dengan teknologi dan ilmu pengetahuan serta peran politik dari pemerintah dan perjuangan politik masyarakat akar rumput harus berjalan beriringan. Pemerintah dapat memfasilitasi distribusi beras ramah burung hantu.
Ini akan memberdayakan petani dan memperluas praktek agroekologi. Para sarjana teknik dapat merancang peralatan mesin untuk mengolah produksi sawah demi meningkatkan nilai ekonomi komunitas petani. Mungkin akan semakin banyak burung bersarang hingga sawah itu jadi surga untuk burung. Setelah itu terwujud komunitas desa dapat bangun penginapan yang dikelola komunitas untuk memperkenalkan keragaman hayati dan kearifan di situ dalam bentuk pariwisata berkelanjutan dan berkeadilan.
Sumber:
(1) Strange, Morten. 2012. A Photographic Guide to Birds of Indonesia Second Edition. Hong Kong. Turtle Publishing. Page 200. (2) Ibid. (3) Ibid. Page 198.