Teks dan Foto Anton Muhajir
Tiap kali lewat Desa Batuan saya selalu penasaran dengan turis-turis yang masuk di sejumlah rumah penduduk.
Jalan yang saya lewati ini jalan tembus dari Desa Celuk ke arah Lodtunduh. Setelah melewati jalan turun naik di sini, tiap pejalan akan melewati tempat di mana banyak penjual telur lukis atau layang-layang. Rumah yang dikunjungi turis ini ada di kanan jalan kalau ke arah utara atau ke Lodtunduh atau Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar dari Denpasar.
Karena itu, ketika kakak ipar saya mengajak mampir tempat ini setelah kami dari Besakih dan Bali Zoo, saya mengiyakan. Apalagi dia juga sedikit bercerita tentang keunikan rumah ini. Kami pun mengunjungi rumah ini kemarin.
Rumah milik Anak Agung Gede Ngurah ini rumah biasa. Maksudnya, ya, rumah ini dipakai untuk tinggal sehari-hari oleh keluarga Ngurah, termasuk anak, istri, dan menantunya. Rumah ini tidak dibuat khusus untuk objek wisata. Tapi, rumah ini mempunya keunikan yang belum pernah saya temukan di rumah lain. Karena itu dia layak menjadi tujuan wisata.
Hampir semua tembok rumah ini terbuat dari tanah liat, bukan batu bata atau semen. Atap rumah dari ilalang. Tapi, rumah ini sangat kuat. Umurnya sudah ratusan tahun. “Kakek saya dulu bilang rumah ini sudah ada sejak dia lahir,” kata Ngurah.
Seperti halnya rumah tradisional Bali lain, rumah ini pun memiliki ciri khas arsitektur Bali. Misalnya, pengaturan semua bale, semacam bangunan-bangunan kecil, di dalamnya. Rumah ini terbagi dalam beberapa bangunan, seperti bale dauh, bale daja, bale kangin, dapur, bale bengong, dan sanggah (pura keluarga). Tiap bale ini terpisah satu sama lain membentuk bujur sangkar.
Misalnya, bale dauh adalah di sisi barat, bale daja di sisi utara, bale dangin di sisi timur, dan dapur di sisi selatan. Bale bengong bisa di mana saja. Kalau sanggah, pasti di sisi timur laut.
Rumah Ngurah pun susunannya demikian. Bahkan, dia juga masih dilengkapi angkul-angkul (semacam pintu gerbang), dan tembok kecil di depannya untuk menolak energi buruk yang mau masuk rumah. Rumah ini juga masih dikelilingi pagar khas Bali.
Dan, sekali lagi, semua itu terbuat dari tanah liat, bukan dari batu bata, semen, apalagi beton. Padahal, rumah di sekitarnya hampir semua sudah menggunakan bahan-bahan modern. “Selarang makin jarang rumah yang seperti rumah kami,” kata Anak Agung Gede Puja, anak Ngurah.
Secara fisik, rumah Ngurah dan Puja ini memang terlihat sangat tua. Tembok dari tanah liat itu terlihat kusam kecoklatan. Di beberapa bagian tembok itu sudah ditambal, juga dengan tanah liat. Atap rumah yang terbuat dari ilalang juga terlihat memutih. “Itu sudah 15 tahun lalu. Yang sebelumnya malah sudah 26 tahun,” kata Puja sambil menunjuk atap rumahnya.
Bagian dapur pun terlihat ciri masa lalunya. Untuk memasak sehari-hari, keluarga ini pakai tungku dari tanah, bukan kompor. Bahan bakarnya kayu, bukan minyak tanah atau gas. Turis pun bisa melihat dapur dan peralatannya yang sebagian besar juga masih tradisional.
Menurut Puja, selain rumahnya, ada dua rumah lain di Batuan yang juga dikunjungi turis karena keunikannya ini. Sejak tahun 1985an, tiap hari mereka menerima kedatangan puluhan bahkan pernah sampai ratusan turis. Semuanya gratis. “Tidak ada karcis atau tiket masuk. Ini kan rumah, bukan objek wisata,” katanya.
Turis yang datang biasanya hanya menyumbang sesukanya. “Ya, paling hanya lima ribu satu rombongan,” tambahnya.
Karena itu, mereka tak bisa menggantungkan hidup dari turis yang datang ke rumah. Sehari-hari, Puja membuat ukiran. Bapaknya bertani.
Melihat rumahnya yang unik itu, saya pikir mereka memang sengaja membiarkan seperti itu untuk mendatangkan turis dan otomatis pendapatan mereka bertambah. Ternyata tidak juga.
“Kami tidak bisa merenovasinya karena tak punya uang,” kata Puja. [b]
Menarik,ketika dugaan saya banyak wisatawan asing yang datang kesana meninggalkan uang TIPS,ternyata justru di luar dugaan,tidak semua ujung2nya duit.
Salam Kenal dariku, nice artikel 😀 Sekalian mau bilang Met Puasa bagi yang puasa. Met sejahtera bagi yang gak njalanin. Semoga selamat & damai dimuka Bumi. Amin 😀
wah ini unik dan bernilai seni yang tinggi..ga salah kalo turis suka…saya aja suka ama yang tempo doeloe bgini…kayak dejavu gimanaaa gitu…salam kenal dari Nusa penida