Teks dan Foto Luh De Suriyani
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Bali menyatakan kasus kekerasan seksual dengan pelaku dan korban anak-anak makin meresahkan. Sepanjang Februari ini saja, ada enam kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak. Sementara pada 2009, KPAI mencatat ada 214 kasus kekerasan terkait anak.
“Jumlah itu baru yang melaporkan dan kasusnya sedang disidik saja,” ujar Luh Putu Anggreni, Wakil Ketua KPAI Bali, Senin. Selama 2009, sebanyak 73 kasus itu ditangani Poltabes Denpasar, 47 kasus di Buleleng, 29 kasus di Karangasem, dan kabupaten lainnya.
Dari 214 kasus itu, sebanyak 25 kasus pemerkosaan anak-anak, dan 58 kasus penganiayaan anak. Sementara anak sebagai pelaku kekerasan sebanyak 29 orang.
Meningkatnya kasus kekerasan anak, terutama seksual dan bagaimana cara penanganannya ini didiskusikan dalam kunjungan Terry M. Kinney, Residen Legal Advisor di Indonesia dari US Departement of Justice Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance, and Trainning (OPDAT). Terry mendiskusikan hal ini bersama pimpinan lembaga anak dan perempuan lainnya seperti LBH Bali dan LBH APIK Bali.
Menurut Anggreni, kekerasan yang melibatkan anak di Bali kerap terjadi dalam ranah keluarga dan di jalanan. Dalam ruang keluarga misalnya seperti penganiayaan, pemerkosaan oleh kerabatnya, eksploitasi anak menjadi pekerja rumah tangga, pencari nafkah, dan lainnya. Sementara di jalanan, anak-anak dipaksa menjadi pengemis, pelacur anak, pekerja malam, dan lainnya.
“Kami harap, ada pelaku yang diseret ke pengadilan jika mengeksploitasi anak-anak walau oleh keluarganya sendiri,” katanya. Namun, pengadilan di Bali belum pernah menghukum pelaku trafficking yang menurutnya marak terjadi. Padahal, Bali sudah mempunyai Perda tentang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang. Dalam Perda ini, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, dan sebagainya untuk tujuan eksploitasi.
Kasus trafficking yang dilaporkan ke LBH Bali sepuluh tahun terkahir ini hanya satu yakni perdagangan perempuan remaja ke Jepang dengan modus pengiriman duta kesenian. Ini terjadi pada Ida Ayu Wedawati dan sejumlah remaja perempuan lain di tahun 2002. Hanya Wedawati yang mau melapor, itu pun karena gaji tak sesuai dengan yang dijanjikan agen. Wedawati di Jepang dijadikan sebagai perempuan penghibur kelab malam, berbeda dengan janji agen yang mengirimkannya sebagai penari Bali di restoran.
Terry M. Kinney mengatakan kekerasan pada anak seperti global nightmare karena terjadi di hampir seluruh negara. “Kami berharap polisi, hakim, dan jaksa punya persepsi yang sama soal UU Perlindungan Anak yang ada di Indonesia. Mereka butuh pelatihan agar pelaku bisa mendapat hukuman yang setimpal,” ujar mantan Jaksa di Chicago, Amerika Serikat ini.
Terry juga menekankan pentingnya shelter atau tempat penampungan anak-anak korban kekerasan. Menurutnya anak-anak butuh penyembuhan dari trauma kekerasan dan pendampingan di pengadilan.
Sementara Anggreni mengatakan Bali belum punya sistem yang jelas bagaimana prosedur pemulihan dalam shelter secara terintegrasi. “Pemerintah tidak punya shelter khusus, hanya tempat penampungan sementara yang dibuat yayasan-yayasan,” katanya.
Ia mencatat setidaknya ada 155 negara yang memiliki UU Perlindungan Anak, namun tak cukup berat memberikan sanksi pidana bagi pelakunya. Sementara sekitar 90 negara belum punya UU sejenis.
Terry mengharapkan lembaga perlindungan anak dan perempuan di Bali mau melaporkan dengan cepat jika ada indikasi warga Amerika melakukan tindak kekerasan. “Kami akan menindaklanjuti dengan cepat, bahkan mengirimkan agen khusus ke sini,” ujar Terry yang kini berkantor di US Embassy di Jakarta. [b]
Published on http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/24/sexual-abuse-children-bali-alarming-level039.html
terlalu pahit ngeliat anak2 yg bahkan lebih muda dari anak saya…”menjual diri” untuk dikasihani orang dengan meminta2 di traffic light.
janji wakil rakyat untuk penyediaan pendidikan dan peningkatan kesejahteraan tinggal janji…waktu kampanye
padahal tanpa adanya kepastian masa depan untuk generasi usia dini, masa depan Bali apalagi Indonesia patut dipertanyakan…
Phenomena sosial yang selamanya akan ada !