Oleh Luh De Suriyani
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali dan Yayasan Bali Sruti, lembaga perlindungan perempuan di Bali meminta media menghentikan eksploitasi pada perempuan dan anak akibat cara penulisan berita yang diskriminatif.
Hal ini terangkum pada workshop soal pemberdayaan perempuan dan anak yang dilaksanakan oleh Koran Tokoh dan Rotary Club Bali di Gedung Bali Post, Rabu kemarin. Acara ini dihadiri sekitar 30 orang dari jurnalis, penulis, dan seniman.
Tahun ini, KPAI dan Bali Sruti mencatat media makin agresif memberitakan kekerasan pada anak dan perempuan namun tidak berpihak pada korban. “Media malah melakukan pemerkosaan baru pada korban karena pemberitaan yang diskriminatif. Media harusnya menjadi alat yang digunakan untuk memperjuangkan keadilan gender dan perlindungan anak,” ujar Luh Riniti Rahayu, Ketua Bali Sruti.
Ia mencontohkan pemberitaan sejumlah media lokal tentang berita pemerkosaan, pornnografi, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Terakhir, pada kasus pidana pornografi yang menjerat dua siswa di Kabupaten Buleleng, media malah memberi tekanan agar tersangka dikeluarkan dari sekolah. “Dalam UU Perlindungan Anak, setiap institusi harus memberi perlindungan hukum dan mengutamakan kepentingan anak ketika terjerat kasus pidana. Ini termasuk memastikan bisa bersekolah dan pemenuhan hak anak lainnya,” tutur Luh Anggreni, Wakil Ketua KPAI.
“Posisi media sangat strategis dalam mengarahkan persepsi pembacanya. Pemberitaan yang tidak berempati pada korban akan menyulitkan pemberdayaan kelompok marjinal seperti perempuan dan anak,” tambah Anggreni.
Luh Riniti mengatakan media harus bekerja keras untuk memperhatikan prinsip dasar keberpihakan pada perempuan dan anak ini. Dari pemberitaan media di Bali ia melihat perspektif pelaku media massa pada permasalahan gender sangat rendah. Hal ini mengakibatkan hasil publikasi belum mampu mengangkat permasalahan perempuan pada arus utama.
Media saat ini menurutnya masih dikuasi oleh budaya patriarkhi dan kapitalisme yang didomoinasi laki-laki. “Media seharusnya meningkatkan jumlah praktisi perempuan serta berperan aktif dalam pemutusan materi berita,” katanya.
Pencitraan perempuan di media massa saat ini juga cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan, dan tidak berdaya dalam ruang publik.
Zinda Ruud, pelajar SMA Negeri 7 Denpasar mengatakan media sangat tidak berpihak pada perempuan, khususnya ketika pelajar perempuan menjadi korban perkosaan atau mengalami kehamilan tak diingankan. “Media sangat patriarkhi, sulit sekali mengubah budaya ini di Bali. Siapa yang memberikan sanksi pada media jika terus menerus melakukan hal ini?” tanyanya.
Sumber ketidakadilan pada perempuan dan anak menurut Riniti dan Anggreni juga adalah kebijakan pemerintah yang bias gender dan diskriminatif. Misalnya UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang sangat patriarkhis, Perda Pemberantasan Pelacuran, dan terakhir UU tentang Pornografi yang baru saja ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“UU Pornografi ini telah memidanakan anak-anak yang sebenarnya adalah korban, misalnya kasus pirnografi di Buleleng. UU ini malah menguatkan polisi untuk melakukan penangkapan pada anak yang sebenarnya menjadi korban,” tukas Anggreni.
Padahal di UU Perlindungan Anak, disebutkan bahwa prinsip perlindungan anak adalah non diskriminasi, mengutamakan kepentingan anak yang terbaik, dan perlindungan dari eksploitasi media. “Penahanan adalah upaya terakhir, namun banyak aparat hukum tidak paham soal ini,” keluhnya.
Untuk mengimbangi media dan kebijakan pemerintah, aktivis perlindungan anak dan perempuan di Bali sepakat untuk terlibat aktif dalam pembentukan isu soal anak dan perempuan ini. “Kampanye untuk menolak calon legislatif yang melakukan praktik kekerasan pada perempuan dan anak mungkin menarik,” ujar Anggreni. [b]
Apabila aparat hukum juga tidak tahu,
bagaimana dengan kita ?
salam kenal dari : http:/myrazano.com
ditunggu kunjungannya
terimakasih
Apabila aparat hukum juga tidak tahu,
bagaimana dengan kita ?
salam kenal dari : http://myrazano.com
ditunggu kunjungannya
terimakasih