Teks Luh De Suriyani, Foto Anton Muhajir
Sekitar 60 persen kasus kejahatan di dunia maya di Bali melibatkan anak-anak dan remaja sebagai pelaku dan korban. Kasusnya meliputi penyalahgunaan account jejaring social, pelecehan, dan pencemaran nama baik.
Demikian disebutkan AM. Afa, Assistant Investigator Unit Transnational Crime Coordination Team (TNCT) Direktorat Reserse Kriminal Polda Bali pada diskusi tentang internet sehat pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional yang dilaksanakan Dinas Informasi dan Informatika Pemerintah Kota Denpasar, Sabtu, di Denpasar. Penyebab dilaporkannya sekitar 30 kasus terbanyak itu menurut Afa karena mereka tak sadar status di jejaring social bisa dianggap pencemaran nama baik.
“Ada banyak Undang-undang yang bisa menjerat pengguna internet di Indonesia,” ujar Afa. Misalnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pornografi, dan KUHP. Pelaku dan korban dalam kasus itu, kata Afa adalah orang-orang terdekat sendiri seperti teman, mantan pacara, mantan suami, dan lainnya.
Selain kasus penyalahgunaan account jejaring social itu, beberapa kelompok kasus terbesar cyber crime lainnya di Bali adalah penipuan short message service (SMS) sekitar 20%, dan pembobolan ATM sekitar 20%. Sepanjang Januari-Juni 2010 ini tercatat dilaporkan sedikitnya 50 kasus di unit TNCT Polda Bali ini.
Kasus yang paling banyak menarik perhatian adalah kasus dugaan pelecehan agama yang terjadi pada seorang remaja, Ibnu Rachal Farhansyah pada Maret 2010 lalu. Ibnu, remaja non Hindu yang baru dua bulan tinggal di Bali menuliskan kalimat yang dinilai menghina Nyepi saat hari raya itu.
“Ibnu saya tangkap di Jakarta dan saya dampingi selama 9 hari di Bali karena risiko keamanannya. Kasus ini berakhir damai karena akan menimbulkan dampak yang lebih besar jika dilanjutkan di pengadilan,” kata Afa soal hasil kasus ini.
Afa menganggap kasus Ibnu adalah kasus besar dimana ungkapan spontan di internet bisa menjadi masalah besar di dunia nyata. “Ibnu adalah remaja tidak memiliki motif tertentu untuk melakukan penodaaan agama. Ini hanya ungkapan spontan karena dia sedang kesal pada masalah yang menimpa dirinya,” jelas Afa yang menjadi salah satu penyidik dalam kasus ini.
Kasus dihentikan karena motif yang tak bisa dibuktikan dan pertimbangan dampak kasus ini pada publik. “Saya sarankan pengguna jaringan sosial tak menuliskan komentar yang berkaitan dengan SARA dan kebencian pada seseorang,” tambahnya.
Mudahnya para pengguna internet diancam pidana, Menurut Sandy Kusuma, praktisi teknologi informasi di Bali, sebagai peringatan dini. Terlebih bagi remaja yang tak mengetahui bisa dipidana hanya karena status atau komunikasi di dunia maya.
Ancaman hukumannya juga dinilai berat, yakni pidana maksimal 6 tahun dan denda Rp 1 milyar terkait kasus pelanggaran pencemaran nama baik dalam UU ITE. “Lindungi identitas pribadi di internet, jangan terlalu over menceritakan masalah diri sendiri,” ujarnya pada puluhan anak sekolah yang mengikuti diskusi.
Beberapa remaja mengatakan peluang penyalahgunaan jejaring sosial dan porografi juga diakibatkan oleh lemahnya penegakan regulasi. “Warnet menarik perhatian remaja dengan sengaja menampilkan video porno di layarnya. Bagaimana ini ditangani pengusaha warnet dan polisi?” tanya Putu Dwipayana, siswa SMKN 1 Denpasar.
Menurutnya hampir semua warung internet menyimpan video-video atau foto porno untuk menarik perhatian pengguna terutama remaja. Sementara pendidikan self sencorship juga sangat sedikit termasuk dari guru.
Anom Prasetya, petugas bidang piranti lunak Dinas Kominfo Denpasar mengakui pemblokiran konten pornografi yang gencar oleh pemerintah pusat saat ini juga tak langsung bisa menyelamatkan remaja dari kejahatan pornografi. “Konten porno seperti jamur di musim hujan. Kalau UU Pornografi benar-benar ditegakkan, semua orang bisa kena. Ini sulit sekali,” keluhnya. [b]
http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/06/teenagers-prone-cyber-crime.html